Sakralisasi Lebaran dan Mentalitas Koruptor
https://www.rumahliterasi.org/2019/06/sakralisasi-lebaran-dan-mentalitas.html?m=0
“Terik matahari kita kepanasan, hujan-hujan kita kebasahan. Idul Fitri kita maaf-maafan, bagi yang korupsi jangan dibiarkan”, demikian bunyi pantun kiriman teman melalui perpesan WhatssApp, pada saat hari-H Lebaran beberapa hari lalu. Dari nada pantun tersebut, terasa ada geliat yang menggelikan, yang barangkali dalam suasana lebaran ada sementara pihak menganggap tabu, karena dianggap melampaui batas etika.
Bahkan, dalam ceramah-ceramah selama Ramadlan, jarang ditemui pesan-pesan agama yang mengarah pada penilaian tentang perilaku dan perbuatan-perbuatan tindak korupsi, apalagi penyampaikannya ditengah-tengah kondisi yang disinyalir lahan lumbung-lumbung KKN.
Sakralisasi lebaran yang demikian agungnya sebagai media silaturrahmi dalam pengentalan rasa antar sesama, tampaknya demikian menguat di kalangan masyarakat. Saling memaafkan menjadi tujuan akhir, dan diharapkan nantinya akan terjadi perubahan-perubahan sikap saling memahami kondisi masing-masing. Maaf, dalam pemahaman nilai tentu bukan sekedar diucapkan lewat mulut serasa menjulurkan tangan dan bersalaman.
Namun implementasi maaf mempunyai makna multidimensional, yaitu pelepasan diri dari suatu ikatan yang selama waktu-waktu sebelum terjadi ganjalan komunikasi dan mungkin telah terjadi benturan hati, sehingga tidak mungkin lagi dipersatukan. Suasana lebaran tampaknya sedikit membantu “melegakan” persoalan, meski sepenuhnya kadang tidak punya jaminan.
Dalam masyarakat konsumtif, moment lebaran sangat besar jasanya untuk mengekspresikan diri. Rasanya kurang afdhol ketika pulang mudik tidak menunjukkan sikap berubah dalam penampilan. Ekspresi ini demikian menguat, ketika “para perantau” yang pulang kampung membangun image sebagai orang sukses, sebagai masyarakat pilihan dan “terpandang” dari lingkungan masyarakat kampungnya.
Dari kalangan masyarakat menengah, mobil merupakan simbol tingkat keberhasilan ekonomi, dari suatu proses di tanah tantau, maka tak heran bila sejumlah mobil-mobil mewah bersliweran dari kampung ke kampung dan tak ubahnya telah terjadi perlawanan yang selama ini sebagian besar masyarakat kita dibawah garis kemiskinan. Gelar “pertunjukan” ini dapat kita saksikan dalam sejumlah penumpang yang terdiri dari sebuah keluarga; nenek sampai cucu dan bahkan pembantu naik turun dari rumah ke rumah, meski hanya berjarak ratusan meter.
Fenomena ini tampaknya akan terus berlanjut dan berkembang sebagaimana tuntutan budaya masyarakat. Budaya konsumtif cenderung lebih kuat menggejala, sebagai produk moderinisasi. Dalam kondisi semacam tuntutan-tuntutan meraih “prestise”, merupakan lahan kemungkinan sebagai kebutuhan individu. Akibatnya, - juga menjadi kelaziman – moment hari raya atau lebaran, menjadi wahana eksploitasi dominan dari sebuah percaturan kehidupan material.
Lalu apa hubungannya dengan koruptor?. Dalam tataran struktur sosial masyarakat, kecenderungan yang terjadi pada penyimpangan-penyimpangan dalam kelompok, masyarakat atau lingkungan sosial itu biasanya menimbulkan bermacam-macam reaksi dan sikap. Semuanya tergantung pada derajat dan kualitas penyimpangan dan penampakannya; juga bergantung pada harapan dan tuntutan-tuntutan yang dikenakan lingkungan sosial.
Maka norma sosial itu antara lain; kekaguman, pujian, hormat, kagum, pesona, simpati, apatis, acuh tak acuh, cemburu, iri hati, kebencian, muak dan ragam nilai yang mengarah pada sikap penilaian baik dan buruk. Secara implicit, masyarakat punyai penilaian tersendiri terhadap individual dan korektif sebuah rumah tangga/keluarga ketika terjadi perubahan-perubahan terhadap sikap sehari-harinya.
Perubahan sikap yang dibangun oleh image masyarakat dalam tataran sosial cenderung lebih menguat bagi lingkungan dan keluarganya. Dari sinilah kredibilitas seseorang dipertaruhkan, mempertahankan image sebagai orang “sukses” tapi cela atau melakukan pembiaran bahwa pihak lain “masa bodoh” terhadap diri maupun keluarganya. (syaf anton)
Bahkan, dalam ceramah-ceramah selama Ramadlan, jarang ditemui pesan-pesan agama yang mengarah pada penilaian tentang perilaku dan perbuatan-perbuatan tindak korupsi, apalagi penyampaikannya ditengah-tengah kondisi yang disinyalir lahan lumbung-lumbung KKN.
Sakralisasi lebaran yang demikian agungnya sebagai media silaturrahmi dalam pengentalan rasa antar sesama, tampaknya demikian menguat di kalangan masyarakat. Saling memaafkan menjadi tujuan akhir, dan diharapkan nantinya akan terjadi perubahan-perubahan sikap saling memahami kondisi masing-masing. Maaf, dalam pemahaman nilai tentu bukan sekedar diucapkan lewat mulut serasa menjulurkan tangan dan bersalaman.
Namun implementasi maaf mempunyai makna multidimensional, yaitu pelepasan diri dari suatu ikatan yang selama waktu-waktu sebelum terjadi ganjalan komunikasi dan mungkin telah terjadi benturan hati, sehingga tidak mungkin lagi dipersatukan. Suasana lebaran tampaknya sedikit membantu “melegakan” persoalan, meski sepenuhnya kadang tidak punya jaminan.
Dalam masyarakat konsumtif, moment lebaran sangat besar jasanya untuk mengekspresikan diri. Rasanya kurang afdhol ketika pulang mudik tidak menunjukkan sikap berubah dalam penampilan. Ekspresi ini demikian menguat, ketika “para perantau” yang pulang kampung membangun image sebagai orang sukses, sebagai masyarakat pilihan dan “terpandang” dari lingkungan masyarakat kampungnya.
Dari kalangan masyarakat menengah, mobil merupakan simbol tingkat keberhasilan ekonomi, dari suatu proses di tanah tantau, maka tak heran bila sejumlah mobil-mobil mewah bersliweran dari kampung ke kampung dan tak ubahnya telah terjadi perlawanan yang selama ini sebagian besar masyarakat kita dibawah garis kemiskinan. Gelar “pertunjukan” ini dapat kita saksikan dalam sejumlah penumpang yang terdiri dari sebuah keluarga; nenek sampai cucu dan bahkan pembantu naik turun dari rumah ke rumah, meski hanya berjarak ratusan meter.
Fenomena ini tampaknya akan terus berlanjut dan berkembang sebagaimana tuntutan budaya masyarakat. Budaya konsumtif cenderung lebih kuat menggejala, sebagai produk moderinisasi. Dalam kondisi semacam tuntutan-tuntutan meraih “prestise”, merupakan lahan kemungkinan sebagai kebutuhan individu. Akibatnya, - juga menjadi kelaziman – moment hari raya atau lebaran, menjadi wahana eksploitasi dominan dari sebuah percaturan kehidupan material.
Lalu apa hubungannya dengan koruptor?. Dalam tataran struktur sosial masyarakat, kecenderungan yang terjadi pada penyimpangan-penyimpangan dalam kelompok, masyarakat atau lingkungan sosial itu biasanya menimbulkan bermacam-macam reaksi dan sikap. Semuanya tergantung pada derajat dan kualitas penyimpangan dan penampakannya; juga bergantung pada harapan dan tuntutan-tuntutan yang dikenakan lingkungan sosial.
Maka norma sosial itu antara lain; kekaguman, pujian, hormat, kagum, pesona, simpati, apatis, acuh tak acuh, cemburu, iri hati, kebencian, muak dan ragam nilai yang mengarah pada sikap penilaian baik dan buruk. Secara implicit, masyarakat punyai penilaian tersendiri terhadap individual dan korektif sebuah rumah tangga/keluarga ketika terjadi perubahan-perubahan terhadap sikap sehari-harinya.
Perubahan sikap yang dibangun oleh image masyarakat dalam tataran sosial cenderung lebih menguat bagi lingkungan dan keluarganya. Dari sinilah kredibilitas seseorang dipertaruhkan, mempertahankan image sebagai orang “sukses” tapi cela atau melakukan pembiaran bahwa pihak lain “masa bodoh” terhadap diri maupun keluarganya. (syaf anton)