Jose Rizal Manua: Membuka Gerbang Imajinasi Anak dari Emperan TIM ke Panggung Dunia

Jose Rizal Manua saat membacakan puisi

Oleh : Emi Suy 


Di bawah langit mendung dan udara lembab sore itu di Selasar Teater Kecil TIM, Jakarta, 18 Agustus 2025, nama Jose Rizal Manua kembali disebut dengan khidmat. Ia bukan hanya hadir sebagai pembaca puisi dalam acara Panggung Perjuangan Penyair Merah Putih yang digagas Komunitas Taman Inspirasi Sastra Indonesia (TISI), melainkan juga sebagai simbol: seorang maestro teater anak yang puluhan tahun menjaga api imajinasi agar tidak padam di mata generasi kecil bangsa.

Bagi sebagian orang, Jose Rizal Manua adalah sutradara. Bagi anak-anak yang pernah bermain bersamanya, ia adalah sahabat yang setia duduk di lantai, mendengar, menunggu, dan tertawa bersama. Bagi dunia teater, ia adalah penegas bahwa keterbatasan bukan penghalang, melainkan rahim kelahiran kreativitas.

Teater Anak: Dari Emperan Menjadi Panggung Dunia

Ketika Jose Rizal Manua mendirikan Teater Tanah Air pada 1970-an, ia tak pernah membayangkan akan membawanya hingga ke markas besar Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jenewa. Panggung pertamanya hanyalah emperan gedung Taman Ismail Marzuki, tempat anak-anak dari Jakarta, Depok, Bekasi, dan Tangerang berjejal usai naik KRL, masih berseragam sekolah, dan berlatih dengan riang.

Dari ruang sempit itu ia menanamkan kebebasan. Tak ada contoh gerak yang harus ditiru, tak ada pakem yang mengekang. Anak-anak diajak membayangkan seekor kumbang mengejar mereka, lalu lima, sepuluh, seratus, bahkan seribu kumbang. Dari situ lahir langkah-langkah yang unik, tubuh yang berbeda, ekspresi yang personal.

Bagi Jose, seni adalah seni imajinasi dan anak-anak adalah penjaga paling setia dari sumber imajinasi itu.

Metode ini ia warisi dari pengalaman berguru pada nama-nama besar teater Indonesia: Rendra, Putu Wijaya, Arifin C. Noer, Teguh Karya. Namun, jika para gurunya banyak bergulat dengan teater dewasa, Jose Rizal Manua memilih jalan berbeda: ia menaruh seluruh hidupnya pada teater anak, sesuatu yang kala itu dianggap sepele.

 Masuk ke Alam, Keluar dari Kebudayaan

Karya-karya Jose Rizal Manua selalu berpijak pada kearifan lokal. Ia percaya, cerita rakyat bukan sekadar dongeng, melainkan cermin nilai yang membentuk jati diri. Lakon Timun Mas, Roro Jonggrang, hingga Malin Kundang dihidupkan kembali, bukan untuk mengulang legenda, melainkan untuk membuka ruang tafsir baru bagi anak-anak.

Dalam lakon Roro Jonggrang, misalnya, ia melibatkan 50 anak sebagai ayam dan pasukan demit. Kostumnya? Bukan jubah mahal atau properti rumit, melainkan kukusan, centong, dan benda-benda rumah tangga. “Supaya penonton tidak asing,” ujarnya, “karena benda-benda itu memang hidup di sekitar kita.”

Prinsip inilah yang ia sebut sebagai masuk ke alam, keluar dari kebudayaan. Ia mengajak anak-anak kembali pada unsur-unsur dasar kehidupan tanah, air, angin, api sebelum melangkah ke bentuk kebudayaan yang lebih kompleks. Dengan begitu, seni tak terasa jauh, melainkan dekat, akrab, dan menyentuh.

 
Penulis (Emy Suy) saat bersama Jose Rizal Manua

Kebebasan sebagai Inti Pendidikan Seni

Banyak pelatih teater terbiasa memberi contoh: begini cara berjalan, begini cara menangis, begini cara tertawa. Namun bagi Jose Rizal Manua, memberi contoh adalah bahaya. “Kalau kita memberi contoh, anak-anak hanya meniru. Mereka kehilangan keberanian untuk mengekspresikan diri,” katanya.

Karena itu ia memilih menjadi pendengar. Ia membiarkan anak-anak menemukan caranya sendiri. Dari situlah lahir pertunjukan yang selalu berbeda, penuh kejutan, bahkan membuat sang sutradara sendiri terperangah.

Mungkin inilah sebabnya anak-anak betah berlatih, meski harus naik kereta berdesakan atau mengorbankan waktu bermain. Bersama Jose, berteater berarti bermain, bersenang-senang, tanpa bentakan, tanpa amarah.

Prestasi yang Mendunia

Keajaiban dari emperan TIM akhirnya menembus dunia. Tahun 2004, Teater Tanah Air menyabet sepuluh medali emas di The Asia-Pacific Festival of Children’s Theatre di Toyama, Jepang. Dua tahun kemudian, mereka memborong 19 medali emas di Jerman, sekaligus mengantar Jose Rizal Manua meraih penghargaan Sutradara Terbaik.

Presiden Teater Anak se-Dunia, Norbert Radermacher, bahkan semula tak percaya bahwa anak-anak ini berlatih di emperan. Baru setelah melihat langsung, ia terharu, berlutut di hadapan Niken Flora Rinjani putri Jose dan menyerahkan penghargaan. “Mereka tak punya apa-apa, tapi bisa menghadirkan sesuatu yang spektakuler,” ucapnya.

Prestasi terus berlanjut: Moskow (2008), Jenewa (2008), hingga festival-festival dunia lain. Teater yang lahir dari emperan kini berdiri sejajar di panggung internasional, bahkan dicatat Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) sebagai grup teater anak dengan penghargaan internasional terbanyak.

Mengakar di Keluarga, Bertumbuh di Masyarakat

Bagi Jose Rizal Manua, seni bukan hanya profesi, melainkan jalan hidup. Ia menikah dengan Nunum Raraswati, membesarkan lima anak: Shakti Harimurti, Sanca Khatulistiwa, Nuansa Ayu Jawadwipa, Nusa Kalimasada, dan Niken Flora Rinjani semuanya tumbuh dekat dengan seni.

Namun keluarga baginya tak sekadar lingkar darah. Setiap anak yang berlatih di Teater Tanah Air diperlakukan seperti sahabat, seperti anak sendiri. Inilah rahasia mengapa mereka bertahan meski fasilitas minim. Mereka datang bukan karena dipaksa, melainkan karena merasa diterima.

Jejak Panjang Seorang Maestro

Lahir di Padang, 14 September 1954, Jose Rizal Manua memulai perjalanan teater sejak 1969. Ia kemudian menimba ilmu di Institut Kesenian Jakarta, hingga menjadi pengajar di Fakultas Film dan Televisi serta Fakultas Teater. Dari Rendra ia belajar keberanian, dari Putu Wijaya absurditas, dari Arifin C. Noer ketajaman realisme, dan dari Teguh Karya disiplin. Semua itu ia sulam menjadi metode khasnya: metode imajinasi anak-anak.

Puluhan tahun pengabdian itu memberinya banyak penghargaan, termasuk Satyalancana Wira Karya dari Presiden RI. Namun ia tetap sederhana: duduk di emperan, menunggu anak-anak datang, mengajarkan mereka untuk bermain.

Makna Seorang Jose Rizal Manua

Hari ini, ketika Jose Rizal Manua berdiri di panggung pembacaan puisi Penyair Merah Putih, kita diingatkan: perjuangan seorang seniman tidak hanya lewat karya besar di panggung megah, tetapi juga lewat kesetiaan menjaga ruang sederhana bagi anak-anak.

Ia menunjukkan bahwa seni bukan sekadar tontonan, melainkan jalan menemukan diri. Bahwa anak-anak punya hak untuk berimajinasi bebas dari ketakutan, bebas dari seragam kaku sistem pendidikan. Dan bahwa dari emperan pun, kita bisa menggemparkan dunia.

Jose Rizal Manua adalah bukti: seorang seniman yang masuk ke alam, keluar dari kebudayaan, lalu kembali ke manusia.

Dari emperan TIM hingga panggung dunia, Jose Rizal Manua mengajari kita bahwa kesenian adalah kesetiaan pada kehidupan itu sendiri. Bahwa keterbatasan bukanlah dinding, melainkan pintu. Bahwa bermain bisa menjadi doa. Bahwa imajinasi adalah cara anak-anak menyelamatkan dunia.

Dan bagi Jose, harga diri seorang seniman hanyalah satu: tampil maksimal di segala cuaca. Di bawah lampu panggung, di emperan sederhana, bahkan di hadapan bangsa-bangsa di PBB. Ia tidak pernah setengah hati. Ia hadir sepenuhnya.

Maka setiap gerakannya adalah perayaan. Setiap pertunjukannya adalah kesaksian. Seni, baginya, adalah keberanian untuk jujur, kesabaran untuk setia, dan ketekunan yang tak kenal henti.

***

Dokumen Foto : Nuansa merah putih mengabadikan momen puitis dan patriotisme bersama tokoh sutradara teater, pemain film dan deklamator yang selalu tampil memukau. 
Salam Hormat Bang Jose Rizal Manua  



Pilihan

Tulisan terkait

Utama 169170663624958644

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Daftar Isi

Loading....

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >

Pesan Buku

Pesan Buku

 Serpihan Puisi “Sampai Ambang Senja” merupakan buku kumpulan puisi Lilik Rosida Irmawati, penerbit Rumah Literasi Sumenep (2024).  Buku ini berjumlah 96 halaman, dengan pengantar Hidayat Raharja serta dilengkapi testimoni sejumlah penyair Indonesia.  Yang berminat, silakan kontak HP/WA 087805533567, 087860250200, dengan harga cuma Rp. 50.000,- , tentu bila kirim via paket selain ongkir.

Relaksasi


 

Jadwal Sholat

item
close