Langkah Terakhir di Ujung Senja


Cerpen; M. Wildan

Senja itu seperti kanvas yang diusap pelukis dengan warna darah dan emas. Cahaya jingga menetes dari langit, mengalir di pucuk pepohonan, lalu jatuh di wajah Ratna yang berjalan tertatih di jalan tanah penuh debu. Di tangannya tergenggam sebuah map plastik lusuh. Warnanya pudar, ujungnya sedikit terkelupas. Di dalamnya tersimpan formulir pendaftaran beasiswa universitas selembar kertas yang bagi orang lain mungkin tak berarti, namun bagi Ratna, ia adalah pintu keluar dari lorong gelap yang telah ia tempuh seumur hidup.

Kakinya telanjang beralas sandal jepit yang putus di salah satu tali. Setiap langkahnya menimbulkan bunyi gesekan dengan tanah kering yang retak, seperti bibir tua yang menahan dahaga. Napasnya berat, tapi tekadnya lebih berat lagi. Ayahnya sudah tiada, direnggut demam berdarah yang tak sempat diobati karena tak ada biaya. Sejak itu, Ratna berjanji pada dirinya sendiri, ia akan berdiri di panggung kelulusan dengan toga di bahu meski untuk itu ia harus bertarung melawan dunia.

Ingatan tentang ayahnya sering datang tanpa permisi. Dalam bayangannya, ia kembali ke sore bertahun-tahun lalu, ketika ia duduk di pangkuan ayah di bawah pohon mangga.

“Ratna, nanti kalau sudah besar mau jadi apa?” tanya ayahnya sambil mengelus rambutnya.

Ratna kecil menatap langit, lalu menjawab dengan polos, “Mau jadi guru, Yah. Biar anak-anak di kampung ini bisa pintar semua.”

Ayahnya tertawa kecil, matanya berbinar. “Kalau begitu, kau harus sekolah setinggi-tingginya. Jangan takut susah. Mimpi itu memang berat, tapi kau harus lebih berat dari mimpimu.”

Sejak percakapan itu, kata-kata ayahnya menjadi suluh di tengah gelap. Bahkan setelah ayahnya meninggal, suara itu masih bergaung, menolak padam.

Ratna juga teringat obrolannya dengan Siti, sahabatnya di sekolah, sehari sebelum keberangkatannya ke kota untuk mencetak berkas.

“Kau yakin bisa dapat beasiswa itu, Na?” tanya Siti sambil menyerahkan bekal nasi bungkus.

“Aku harus yakin, Sit,” jawab Ratna sambil tersenyum tipis. “Kalau tidak, untuk apa aku berjalan sejauh ini?”

Siti menunduk, suaranya lirih, “Kalau kau lulus nanti… mungkin kita tidak akan sering bertemu.”

Ratna memegang tangan sahabatnya. “Persahabatan kita tidak akan hilang hanya karena jarak. Justru kalau aku berhasil, itu juga untuk membuktikan bahwa anak desa seperti kita bisa.”

Siti mengangguk, meski air matanya jatuh tanpa ia sadari.

Kini, suara gemericik air sungai memecah lamunannya. Ketika ia sampai di tikungan dekat jembatan bambu, langkahnya terhenti. Sungai yang biasanya jinak kini menggila. Arusnya deras, membawa ranting, daun, bahkan seekor bangkai ayam yang berputar-putar di pusaran air. Jembatan di depannya sempit, tak sampai satu meter lebarnya, dan beberapa bilah bambunya tampak rapuh.

Ratna menelan ludah. Jika ia menunggu air surut, ia akan terlambat mengirimkan formulir besok pagi. Namun jika ia memaksa menyeberang, satu langkah salah bisa membuatnya hanyut.

Bayangan wajah ibunya melintas di benak. Perempuan renta itu sering menatap Ratna dengan mata berkaca-kaca setiap malam, sambil berkata, “Nak, kau satu-satunya cahaya di rumah ini. Jangan pernah padam.” Suara itu bergema di telinga Ratna, membuatnya menggenggam map plastik di dadanya lebih erat.

Ia menarik napas panjang. “Aku harus lewat,” gumamnya pelan.

####

Langkahnya menapaki bambu yang licin karena lumut. Setiap pijakan seperti diuji oleh arus di bawah yang mengaum seperti binatang buas lapar. Angin sore berhembus, membuat jembatan bergoyang halus namun cukup untuk mengguncang jantungnya. Setengah jalan, bunyi krek terdengar. Sebilah bambu di bawah kakinya patah. Ratna terhuyung, lututnya terbentur, dan serpihan tajam menggores telapak kakinya. Darah merembes, bercampur dengan debu dan keringat.

“Astaghfirullah…” desisnya, menahan perih. Tapi ia tak berhenti. Map itu tetap ia peluk, seolah nyawanya berada di dalamnya.

Sesampainya di seberang, senja sudah mulai meredup. Garis merah tipis menghiasi langit, seperti luka panjang yang belum sembuh. Jarak rumahnya tinggal satu kilometer, namun langkahnya terasa seberat seribu beban.

Di tengah perjalanan, ia melewati rumah-rumah kecil yang dindingnya dari anyaman bambu. Anak-anak kecil berlarian tanpa alas kaki, debu menempel di wajah mereka yang ceria. Ratna tersenyum tipis, lalu teringat masa kecilnya sendiri. Ia pernah seperti mereka, berlari di pematang sawah, tertawa tanpa memikirkan masa depan. Hingga suatu malam, ayahnya terbaring lemah di tikar, menggigil, dan tak pernah bangun lagi. Malam itu, Ratna belajar bahwa hidup tak selalu memberi waktu untuk bermain.

Ketika lampu rumahnya terlihat dari kejauhan redup dan bergoyang karena nyala minyak Ratna merasakan dadanya sesak. Ia ingin berlari, tapi kakinya menolak. Setiap langkah membuat perih menjalar dari telapak hingga ke lutut.

Di ambang pintu, ibunya berdiri, memicingkan mata menembus gelap. Begitu melihat sosok Ratna, ia berteriak, “Ratna! Dari mana saja? Ibu cemas sekali!”

Ratna berusaha tersenyum, meski napasnya tersengal. “Aku… aku bawa ini, Bu.”

Ibunya berlari menghampiri. Ketika jaraknya tinggal beberapa meter, lutut Ratna goyah. Ia jatuh berlutut di tanah, map plastik itu tetap ia peluk.

“Bu…” suaranya lirih, hampir tenggelam oleh desau angin malam. “Ini… mimpi kita…”

Air mata ibunya jatuh, membasahi pipi Ratna. “Ya Allah, Nak… berdirilah. Kau sudah berjuang sejauh ini.”

Ratna tersenyum samar. “Ibu… janji sama Ratna… kirimkan formulir ini… besok…”

####

Senja sudah mati, malam merayap, dan bintang-bintang mulai menyala satu per satu. Ratna memejamkan mata di pelukan ibunya, menyerahkan seluruh lelah, luka, dan mimpinya. Ia tidak tahu apakah esok ia akan terbangun. Tapi ia tahu, langkah terakhirnya telah ia berikan sepenuh hati di ujung senja yang menjadi saksi.

####

Senja itu kembali hadir dengan warna yang sama jingga yang membakar langit dan membelah hatinya antara harapan dan ketakutan. Ratna berdiri di tepi jalan desa, memandang jauh ke arah kota yang lampunya mulai berkelip. Tangannya menggenggam erat tas lusuh berisi berkas-berkas penting: proposal lomba beasiswa, bukti hasil kerja paruh waktunya, dan surat rekomendasi dari gurunya. Semua itu adalah hasil dari bulan-bulan tanpa tidur yang cukup, makan sekedarnya, dan menahan lelah yang seperti merangkak di tulang.

“Ratna… kau yakin sanggup?” suara lirih Ibu masih terngiang di telinganya.

Ia hanya tersenyum waktu itu. “Ibu… mimpi ini bukan hanya untukku. Ini untuk kita. Untuk Bapak di sana.”

Bapak sudah tiada, tapi bayangannya selalu hadir seperti angin sore yang menyapu wajah Ratna.

####

Hari-hari sebelumnya adalah ujian yang tak henti-henti. Pagi ia berangkat sekolah dengan baju yang sudah mulai memudar warnanya, siang bekerja di kios sayur untuk membantu biaya rumah, malam mengerjakan tugas sambil menjaga adiknya yang masih kecil. Banyak orang bilang ia terlalu memaksakan diri. Tapi bagi Ratna, menyerah bukan pilihan karena mimpi itu satu-satunya jalan keluar dari lingkaran sempit hidup mereka.

Perjuangan itu memuncak saat ia mendapat kabar bahwa dirinya masuk tahap akhir seleksi beasiswa nasional. Hanya lima orang dari seluruh Indonesia yang akan dipilih, dan Ratna adalah satu-satunya dari desa terpencil itu. Tahap terakhir adalah wawancara langsung di Jakarta. Ia tak punya uang untuk perjalanan itu, tapi ia tak pernah kekurangan doa. Ibu bahkan rela menjual cincin pernikahan peninggalan Bapak satu-satunya benda berharga yang mereka miliki.

Perjalanan ke Jakarta bukan hanya memakan waktu dan biaya, tapi juga kekuatan fisik Ratna. Ia harus menempuh belasan jam perjalanan dengan bus ekonomi, duduk berdesakan, menahan rasa pusing dan batuk yang mulai memburuk sejak seminggu lalu. Namun setiap kali rasa lelah memuncak, ia menatap foto keluarganya di dompet, dan kembali menguatkan hati.

Di ruang wawancara, ia bicara dengan suara bergetar namun penuh keyakinan. Tentang mimpinya menjadi arsitek yang membangun sekolah-sekolah gratis di daerah terpencil, tentang bagaimana ia percaya pendidikan bisa memutus rantai kemiskinan. Para juri terdiam mendengar kisahnya, beberapa bahkan tampak menahan haru.

Ratna kembali ke desa dengan badan panas, tapi senyumnya tak pudar. “Bu… apapun hasilnya, aku sudah mencoba,” katanya sambil memeluk ibu.

####

Seminggu kemudian, kabar itu dating ia diterima. Beasiswa penuh, hingga ke luar negeri. Tangis bahagia bercampur haru memenuhi rumah sederhana itu. Namun kebahagiaan itu datang bersama harga yang mahal: penyakit yang ia tahan selama berbulan-bulan ternyata sudah parah. Dokter mengatakan ia harus menjalani perawatan intensif segera, atau tubuhnya akan menyerah.

Ratna memilih pergi, memulai studinya, meski tubuhnya rapuh. “Kalau aku menyerah sekarang, semua perjuangan ini akan sia-sia,” katanya kepada ibunya lewat telepon. Ia belajar siang malam, mengirim kabar setiap minggu, dan tak pernah mengeluh meski badannya semakin kurus.

Hingga suatu sore, di ujung senja yang sama seperti dulu, kabar itu datang. Ratna jatuh pingsan di ruang kelas, dan tak pernah bangun lagi. Ia meninggal dengan buku catatan masih terbuka di mejanya, halaman terakhir dipenuhi coretan rancang bangun sebuah sekolah sederhana—impian yang belum sempat ia wujudkan.

Di pemakamannya, seluruh desa datang. Mereka menatap langit senja yang kini terasa berbeda. Ratna memang pergi, tapi semangatnya tinggal, membakar hati setiap orang yang mengenalnya. Beberapa tahun kemudian, sebuah sekolah berdiri di desa itu, dibangun dari sumbangan orang-orang yang terinspirasi oleh kisahnya. Di dinding sekolah itu, tertulis kata-kata terakhir ratna

"Jangan takut bermimpi, meski nyawamu adalah harga yang harus dibayar. Karena mimpi yang tulus akan hidup lebih lama daripada pemiliknya.

Sampang, 10, Agustus, 2025

 *) Penulis merupakan mantan Ketua Perpustakaan PPA. Lubangsa Utara periode 2024-2025, sedang berkelana mencari jati dirinya di Laskar Pena Lubtara, aktif sebagai aktivis di MSA (Masyarakat Seni Annuqayah) dan berkutat dengan dunia pers di Jurnal Pentas MA 1 Annuqayah, tercatat sebagai santri aktif PPA Lubangsa Utara. Merupakan guru tugas angkatan 25-26 bertempat di Lar Laok, Bunten Barat, Ketapang, Sampang, Pondok Pesantren Darul Ulum Az_Zainy, juga tercatat sebagai keluarga besar PESPA (Persatuan Santri Pakong Annuqayah), puisinya juga telah diterbitkan dipelbagai media online dan telah dibukukan dalam antologi bersama, dan aktif menulis di blog pribadinya https://Sibocahpetaniputramadura.blogspot.com 

 

Pilihan

Tulisan terkait

Utama 733249198688473470

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Daftar Isi

Loading....

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >

Pesan Buku

Pesan Buku

 Serpihan Puisi “Sampai Ambang Senja” merupakan buku kumpulan puisi Lilik Rosida Irmawati, penerbit Rumah Literasi Sumenep (2024).  Buku ini berjumlah 96 halaman, dengan pengantar Hidayat Raharja serta dilengkapi testimoni sejumlah penyair Indonesia.  Yang berminat, silakan kontak HP/WA 087805533567, 087860250200, dengan harga cuma Rp. 50.000,- , tentu bila kirim via paket selain ongkir.

Relaksasi


 

Jadwal Sholat

item
close