Puisi-puisi Kemerdekaan Indonesia


Diponegoro

Chairil Anwar

Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali

Dan bara kagum menjadi api

Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.

MAJU

Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.

Sekali berarti
Sudah itu mati.

MAJU

Bagimu Negeri
Menyediakan api.

Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditinda

Sungguhpun dalam ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai.

Maju.
Serbu.
Serang.
Terjang.

*****

 

Pahlawan Tak Dikenal 
Chairil Anwar


Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata:
“Aku senang sekali mati muda ini.”

Dia tidak ingat bilamana dia datang
Kedua tangannya memeluk senapang
Dia tidak tahu untuk siapa dia datang
Ke garis api di pagi buta

*****


Krawang-Bekasi 
Chairil Anwar

Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi

Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan berdegap hati?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa

Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa

Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang-kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami

Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi

*****

Doa Seorang Serdadu Sebelum Perang
W.S Rendra

Tuhanku
Wajahmu membayang di kota terbakar
Dan firman-Mu terguris di atas ribuan
Kuburan yang dangkal

Anak menangis kehilangan bapa
Tanah sepi kehilangan lelakinya
Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini
Tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia

Apabila malam turun nanti
Serpurnalah sudah warna dosa
Dan mesiu kembali lagi bicara
Waktu itu, Tuhanku,
Perkenankan aku membunuh
Perkenankan aku menusukkan sangkurku

Malam dan wajahku
Adalah satu warna
Dosa dan nafasku
Adalah satu udara

Tak ada lagi pilihan
Kecuali menyadari
Biarpun bersama penyesalan

Apa yang bisa diucapkan
Oleh bibirku yang terjajah?
Sementara kulihat kedua tangan-Mu yang capai
Mendekap bumi yang mengkhianati-Mu

Tuhanku
Erat-erat kugenggam senapanku
Perkenankan aku membunuh
Perkenankan aku menusukkan sangkurku

*****


Maju Tak Gentar
Karya: Mustofa Bisri (Gus Mus)

Maju tak gentar
Membela yang mungkar.
Maju tak gentar
Hak orang diserang.

Maju tak gentar
Pasti kita menang!

*****

 

Lagu daripada Pasukan Terakhir 
Asrul Sani

Pada tapal terakhir sampai ke Jogja
bimbang telah datang pada nyala
langit telah tergantung suram
kata-kata berantukan pada arti sendiri.
Bimbang telah datang pada nyala
dan cinta tanah air akan berupa
Kado terbaik untuk orang terdekat
peluru dalam darah
serta nilai yang bertebaran sepanjang masa
bertanya akan kesudahan ujian
mati atau tiada mati-matinya

O Jendral, bapa, bapa,
tiadakan engkau hendak berkata untuk kesekian kali
ataukah suatu kehilangan keyakinan
hanya kanan tetap tinggal pada tidak-sempurna
dan nanti tulisan yang telah diperbuat sementara
akan hilang ditiup angin, karena
ia berdiam di pasir kering
O Jenderal, kami yang kini akan mati
tiada lagi dapat melihat kelabu
laut renangan Indonesia.
O Jendral, kami yang kini akan jadi
tanah, pasir, batu dan air
kami cinta kepada bumi ini.
Kado terbaik untuk orang terdekat

Ah mengapa pada hari-hari sekarang, matahari
sangsi akan rupanya, dan tiada pasti pada cahaya
yang akan dikirim ke bumi.

Jendral, mari Jendral
mari jalan di muka
mari kita hilangkan sengketa ucapan
dan dendam kehendak pada cacat-keyakinan,
engkau bersama kami, engkau bersama kami,
Mari kita tinggalkan ibu kita
mari kita biarkan istri dan kekasih mendoa
mari Jendral mari
sekali ini derajat orang pencari dalam bahaya,
mari Jendral mari Jendral mari, mari.......

*****



Putih, Putih, Putih 
Emha Ainun Najib

Meratap bagai bayi
Terkapar bagai si tua renta
Di padang mashyar
Di padang penantian
Di depan pintu penantian
Saksikan beribu-ribu jilbab
Hai! Bermilyar-milyar jilbab
Samudra putih
Lautan Cinta kasih
Gelombang sejarah
Pengembaraan amat panjang
Di padang mashyar
Menjelang hari penghitungan
Seribu galaksi
Hamparan jiwa suci
Bersujud
Putih, Putih, Putih
Bersujud
Menyeru belaian tangan kekasih
Bersujud
Dan alam raya
Jagad segala jagad
Bintang-bintang dan ruang kosong
Mendengar panggilan itu
Dengan telinga ilmu seratus abadi:
— Wahai jiwa bening !
Wahai Muthaminah
Kembalilah kepada Tuhanmu
Dengan rela dan direlakan
Masuklah ke pihakku
Masuklahn surgaku
Wahai jiwa, wahai yang telah jiwa !
Wahai telaga
Yang hening
Hingga tiada !

*****



Sajak di Sembarang Kampung
Agnes Sri Hartini Arswendo

Di sebuah kampung di kota metropolitan
tak diperlukan sajak, karena anak-anak
bagai ayam. Dilepas waktu dini
dan baru larut malam nanti dipaksa tidur dengan tangis
setelah sepanjang siang mengais dan melengking

Di sebuah kampung itu, tak ada batas-batas
ruang tidak ialah tempat makan dan marah
kamar mandi milik bersama, dan bau pesing
disumbangkan beramai-ramai
desas-desus berlalu lalang dengan deras

– kau tak mengenal lagi
apakah yang tergantung itu boneka atau bayi

Tak ada ejek-mengejek, tapi semua merasa tersindir
tak ada pekerjaan, tapi semua kelelahan, pusing
bahkan hampir pingsan, katanya karena penyakit jantung
perut selalu lapar, meskipun hutang semakin menggunung

– Sepuluh tikus dalam kotak sabun
tak membayangkan bakal rukun

Di seberang kampung, di kota metropolitan dan bukan
harapan telah lama dibunuh oleh mimpi, lewat badai iklan
Harga diri telah terbeli, di antaranya secara resmi

adakah kau masih menulis puisi
pada saat seharusnya menyusui?

*****


Penyair
Wiji Thukul 

Jika tak ada mesin ketik
aku akan menulis dengan tangan
Jika tak ada tinta hitam
aku akan menulis dengan arang
Jika tak ada kertas
aku akan menulis di dinding
Jika menulis dilarang
aku akan menulis dengan pemberontakan dan tetes darah!


(dikumpulkan dari beberapa sumber)

Pilihan

Tulisan terkait

Utama 5613696833311172787

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Daftar Isi

Loading....

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >

Pesan Buku

Pesan Buku

 Serpihan Puisi “Sampai Ambang Senja” merupakan buku kumpulan puisi Lilik Rosida Irmawati, penerbit Rumah Literasi Sumenep (2024).  Buku ini berjumlah 96 halaman, dengan pengantar Hidayat Raharja serta dilengkapi testimoni sejumlah penyair Indonesia.  Yang berminat, silakan kontak HP/WA 087805533567, 087860250200, dengan harga cuma Rp. 50.000,- , tentu bila kirim via paket selain ongkir.

Relaksasi


 

Jadwal Sholat

item
close