Senja di Balik Pintu


Cerpen: Nurhayati

 
Mentari senja merayap malu di antara celah-celah genting rumah kontrakan Dullah dan Minah. Rumah yang menjadi saksi bisu tiga puluh tahun kebersamaan mereka. Dulu, dindingnya penuh tawa dan harapan. Kini, yang tersisa hanyalah bisu dan aroma getir kopi yang selalu menemani Dullah di beranda.
 
Minah menghela napas sambil menata dagangan gorengan di atas meja reyot. Tiga puluh tahun bukan waktu yang singkat. Tiga puluh tahun ia menemani Dullah, suka maupun duka. Namun, tiga bulan terakhir ini terasa seperti tiga puluh tahun yang baru, penuh duri dan onak.
 
"Sudah beres, Minah?" suara Dullah memecah lamunan.
 
Minah menoleh. Dullah berdiri di ambang pintu, rambutnya acak-acakan, matanya merah. Aroma kopi dan rokok menusuk hidung Minah.
 
"Sudah, Kang. Tinggal Kang Dullah saja yang mandi, biar seger," jawab Minah lembut.
 
Dullah mendengus. "Seger? Mau seger bagaimana kalau perut keroncongan begini?"
 
Minah terdiam. Ia tahu betul apa yang ada di benak suaminya. Sejak Dullah terkena PHK, urat sabarnya seolah putus. Jangankan memuji masakan Minah, melihat wajahnya saja sudah seperti melihat tagihan hutang.
 
"Kang Dullah sabar ya. Ini Minah buatkan kopi, sekalian gorengan anget. Dimakan dulu ya," Minah mencoba menenangkan.
 
"Kopi? Gorengan? Memangnya cukup buat bayar kontrakan bulan depan?" Dullah menyalak.
 
Minah tersentak. Dadanya sesak. Kata-kata itu seperti cambuk yang menghantam ulu hatinya. Ia menunduk, menyembunyikan air mata yang mulai menggenang.
 
"Kang... Minah juga bingung. Tapi, kita kan sudah janji, susah senang kita tanggung bersama," lirih Minah.
 
Dullah tertawa sinis. "Susah senang? Enak saja kamu ngomong. Kamu kan cuma tinggal masak sama jualan gorengan. Lah aku? Sarjana teknik nganggur begini, mau jadi apa?"
 
Minah mengangkat wajahnya. Matanya berkaca-kaca, namun ada setitik amarah yang mulai menyala. "Kang Dullah! Jangan rendahkan Minah! Minah juga berusaha sekuat tenaga. Hasil jualan ini juga buat makan, buat bayar sekolah anak!"
 
Dullah terdiam. Ia tahu Minah benar. Selama ini, istrinya itu memang tulang punggung keluarga. Namun, egonya terlalu besar untuk mengakui.
 
"Iya, aku tahu. Tapi, apa gunanya kalau cuma cukup buat makan saja? Aku ini kepala keluarga, Minah! Aku yang seharusnya menafkahi kalian!"
 
"Lalu, Kang Dullah mau bagaimana? Diam saja di rumah sambil marah-marah? Atau mau cari kerjaan lain? Jangan cuma mengeluh saja!" Minah mulai terpancing emosi.
 
"Kerjaan? Memangnya gampang cari kerjaan zaman sekarang? Apalagi buat orang tua seperti aku!"
 
"Kalau Kang Dullah terus berpikir seperti itu, ya tidak akan dapat kerjaan! Coba cari informasi di internet, ikut pelatihan, atau apa saja! Jangan cuma meratapi nasib!"
 
Dullah terdiam. Ia memalingkan wajahnya, enggan menatap mata Minah yang penuh kekecewaan. Ia tahu Minah benar. Tapi, ia terlalu malu untuk mengakui kelemahannya.
 
"Sudahlah, Minah. Percuma bicara sama kamu. Kamu tidak akan mengerti," Dullah berbalik dan masuk ke dalam rumah, membanting pintu dengan keras.
 
Minah terisak. Ia terduduk di kursi, membiarkan air matanya tumpah. Ia tidak mengerti, mengapa suaminya bisa berubah seperti ini. Dulu, Dullah adalah sosok yang penyabar dan penuh kasih sayang. Kini, yang ia lihat hanyalah seorang pria yang penuh amarah dan putus asa.
 
Senja semakin larut. Suara jangkrik mulai bersahutan, menemani kesedihan Minah. Ia menatap nanar dagangan gorengannya yang masih banyak tersisa. Entah bagaimana nasibnya dan keluarganya esok hari.
 
Pagi itu, Minah bangun dengan mata sembab. Ia mencoba menyembunyikan kesedihannya di balik senyum palsu. Ia harus tetap kuat demi anak-anaknya.
 
"Ibu, hari ini aku ada ulangan matematika," kata Rina, anak bungsunya, sambil menyantap nasi goreng.
 
"Iya, Nak. Belajar yang rajin ya. Semoga dapat nilai bagus," jawab Minah sambil mengelus rambut Rina.
 
"Ibu, aku berangkat dulu ya," Rina berpamitan, mencium tangan Minah, lalu berlari keluar rumah.
 
Minah menatap punggung anaknya dengan tatapan sendu. Ia berharap, Rina bisa meraih cita-citanya, tidak seperti dirinya yang hanya menjadi tukang gorengan.
 
"Minah!" suara Dullah mengagetkannya.
 
Minah menoleh. Dullah berdiri di ambang pintu, sudah rapi dengan kemeja lusuh dan celana bahan yang sudah pudar warnanya.
 
"Mau ke mana, Kang?" tanya Minah heran.
 
"Cari kerja," jawab Dullah singkat.
 
Minah terkejut. Ia tidak menyangka Dullah akan mengambil inisiatif seperti ini.
 
"Mau cari kerja di mana, Kang? Sudah ada panggilan?"
 
"Belum. Tapi, aku mau coba ke pabrik-pabrik di kawasan industri. Siapa tahu ada lowongan," jawab Dullah dengan nada yang lebih lembut.
 
Minah tersenyum lega. "Alhamdulillah. Hati-hati ya, Kang. Semoga dapat rezeki,"
 
Dullah mengangguk. Ia mendekati Minah, lalu mencium keningnya. "Doakan aku ya, Minah."
 
Minah mengangguk, air matanya kembali menetes. Kali ini, bukan air mata kesedihan, melainkan air mata harapan. Ia berharap, Dullah bisa kembali menjadi Dullah yang dulu, Dullah yang ia cintai.
 
 *****
 Sore harinya, Minah menunggu Dullah di depan rumah. Jantungnya berdebar-debar. Ia cemas, namun juga berharap.
 
Tak lama kemudian, terlihat sosok Dullah berjalan gontai dari kejauhan. Wajahnya terlihat lesu, namun ada secercah senyum di bibirnya.
 
"Kang Dullah!" Minah berlari menghampirinya.
 
"Minah," Dullah memeluk istrinya erat. "Aku dapat kerja,"
 
Minah terisak haru. "Alhamdulillah ya Allah. Kerja di mana, Kang?"
 
"Jadi buruh pabrik. Gajinya tidak seberapa, tapi lumayan buat tambahan," jawab Dullah.
 
Minah tidak mempermasalahkan gaji. Yang penting, Dullah sudah mau berusaha. Ia yakin, dengan kerja keras dan doa, mereka bisa melewati masa sulit ini.
 
"Kang Dullah hebat! Minah bangga sama Kang Dullah," Minah mencium pipi suaminya.
 
Dullah tersenyum. Ia merasa seperti mendapatkan kembali semangat hidupnya. Ia tahu, perjalanan hidupnya masih panjang dan penuh tantangan. Namun, ia tidak takut. Ia memiliki Minah, istrinya yang setia, yang selalu memberikan dukungan dan cinta.
 
Senja kembali menyapa. Kali ini, senja tidak lagi terasa kelabu. Ada harapan yang menyala di antara celah-celah genting rumah kontrakan Dullah dan Minah. Harapan akan masa depan yang lebih baik, bersama cinta yang tak pernah pudar.
 

Pilihan

Tulisan terkait

Utama 6932444606532346469

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Daftar Isi

Loading....

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >

Pesan Buku

Pesan Buku

 Serpihan Puisi “Sampai Ambang Senja” merupakan buku kumpulan puisi Lilik Rosida Irmawati, penerbit Rumah Literasi Sumenep (2024).  Buku ini berjumlah 96 halaman, dengan pengantar Hidayat Raharja serta dilengkapi testimoni sejumlah penyair Indonesia.  Yang berminat, silakan kontak HP/WA 087805533567, 087860250200, dengan harga cuma Rp. 50.000,- , tentu bila kirim via paket selain ongkir.

Relaksasi


 

Jadwal Sholat

item
close