Panik


Cerpen: Beryl


Wonton, terpaku, menatap lurus ke depan, ke arah belati yang tergeletak di atas meja. Belati itu, dengan bilahnya yang berkilau, memantulkan bayangan ruangan yang hampa dan wajahnya yang keruh. 

Dalam keheningan yang menyesakkan, belati itu seolah mengundang, menjanjikan kedamaian yang tak terduga, sebuah jalan keluar yang definitif dari labirin kekacauan dalam benaknya. Ia telah melintasi batas pemikiran, mencapai tekad bulat untuk meraihnya dan mengakhiri semua keruwetan yang membelenggu. 

Namun, seperti yang sudah-sudah, tepat saat jari-jarinya akan menyentuh gagang, sebuah gelombang dingin merayap dari relung hatinya, memaksa tangannya untuk berhenti. Perasaan itu, sebuah kekuatan misterius yang tak bisa dijelaskan, membisikkan keraguan yang memekakkan telinga. 

Mungkinkah ada jalan lain? Pertanyaan itu berulang kali menghentikan langkahnya, mengubah tekadnya menjadi ketakutan, dan harapan menjadi kehampaan.

Peristiwa ini telah menjadi ritual mengerikan. Malam demi malam, ia berhadapan dengan belati itu, dalam sebuah tarian putus asa yang tak berujung. Belati itu sudah tak lagi tampak asing baginya; ia telah menjadi bagian dari dirinya, sebuah cerminan dari kegelapan yang menguasainya. 

Bahkan, beberapa kali, ia berhasil menggenggamnya, merasakan dinginnya baja yang menjalar hingga ke tulang. Namun, setiap kali, kekuatan tak kasat mata itu menarik tangannya kembali, seolah ia terikat pada rantai tak terlihat yang memaksanya tetap hidup. Ia adalah tahanan dari pikirannya sendiri, terperangkap dalam siklus yang sama, tanpa pintu keluar.

Tiba-tiba, di tengah kegelapan yang mencekam, sebuah cahaya muncul entah dari mana. Cahaya itu melingkar di sekeliling belati, seperti seekor ular yang bersinar. Wonton mengernyit, mengira itu hanyalah ilusi dari matanya yang lelah. Ia mengulurkan tangan, mencoba menyentuh cahaya itu, dan seketika ia menyadari bahwa itu bukan bayangan. 

Cahaya itu terasa nyata, berdenyut, dan di dalamnya, ia melihat sebuah bayangan hitam. Bentuknya tak jelas, namun terasa begitu dingin dan berat, seperti beban yang selama ini ia pikul.

Wonton menoleh ke arah sumber cahaya, matanya menembus kegelapan. Ia melihat sebuah titik putih, sangat kecil, seperti sebuah lubang jarum di dinding yang gelap gulita. Titik itu berkedip-kedip, seolah mengirimkan sebuah pesan. Ia menyadari bahwa cahaya itu bukanlah kebetulan; ia adalah simbol. 

Simbol dari sesuatu yang lebih besar dari dirinya, sesuatu yang ia tak mengerti. Ia merasa seperti sedang diawasi, bukan oleh manusia, melainkan oleh kekuatan yang tidak ia pahami. Ia adalah penerima dari sebuah pesan yang maknanya tersembunyi, sebuah petunjuk yang hanya membuatnya semakin bingung.

Kepanikan itu datang seperti ombak, menyapu bersih semua pikiran rasionalnya. Ia merasa seperti ada ribuan kupu-kupu yang berdesir di perutnya, sayap-sayapnya menciptakan gelombang kejut yang membuatnya mual. Pikirannya melompat-lompat tanpa kendali, dari bayangan gelap di dalam cahaya, ke lubang di dinding, hingga belati yang masih tergeletak. Ia merasa bodoh, tidak mampu memahami makna di balik semua ini. 

Ia gelisah, tubuhnya tidak bisa diam. Keringat dingin membasahi dahinya, dan napasnya memburu. Ia ingin lari, namun kakinya terasa terpaku di lantai.

Kepanikan itu membesar, bergejolak seperti badai di dalam dirinya. Ia merasa seperti terkurung di dalam penjara yang tak berwujud, sebuah ruangan yang tak memiliki pintu. Ia mencoba berteriak, namun suaranya tercekat di tenggorokannya. Ia ingin menangis, namun air matanya mengering. 

Ia adalah patung yang hidup, terjebak di antara keinginan untuk mati dan ketakutan akan makna di balik semua kegilaan ini. Ia menghabiskan sisa malam itu dalam keadaan panik yang tak terlukiskan. Kegelisahan itu merayap di setiap serat sarafnya, mengubah setiap detik menjadi siksaan yang panjang. 

Ia mencoba berdiri, berjalan, namun tubuhnya terasa sangat berat, seolah ia adalah patung yang terbuat dari timah. Pada akhirnya, kelelahan mental dan fisik menguasainya. Seperti boneka yang talinya putus, Wonton jatuh tertidur, di tengah-tengah kekacauan yang diciptakan oleh pikirannya sendiri.

Ketika lelap itu membawanya pergi, sebuah suara lirih menembus kegelapan. Adzan Subuh. Suaranya terdengar sangat jauh, hampir tak terdengar, namun getarannya terasa mendentum, langsung menusuk ke dalam dadanya. 

Dentuman itu terasa begitu nyata, seperti detak jantungnya sendiri. Ia terbangun, matanya terbuka lebar, kesadaran penuh kembali menyelimutinya. Ia duduk, merasakan keanehan yang mendalam. Ruangan itu sama, belati itu masih tergeletak di meja, namun aura kekacauan yang mencekam semalam telah lenyap. Ia merasa ada kehangatan di sampingnya, sebuah sentuhan yang lembut dan menenangkan. 

Ia menoleh, dan melihat istrinya memeluknya erat, air mata menetes di pipi wanita itu. Wajahnya penuh dengan kekhawatiran dan kasih sayang. Wonton heran, hatinya dipenuhi kebingungan. Ada apa? Apakah ia melewatkan sesuatu? Perasaan takut dan khawatir itu kembali merayap, meski kini tidak sekuat semalam.

Ia mengamati sekeliling, mencoba menyusun kepingan-kepingan puzzle yang ada. Kamar itu terasa familiar, aroma wewangian dari istrinya begitu menenangkan, dan kehangatan pelukan itu terasa nyata. Perlahan-lahan, kabut dalam pikirannya mulai menghilang. 

Belati, cahaya aneh, bayangan gelap, lubang di dinding, semuanya terasa seperti mimpi yang sangat panjang dan absurd. Ya, hanya mimpi. Semua kegilaan semalam, semua kepanikan yang terasa begitu nyata, ternyata hanyalah bayangan yang diciptakan oleh pikirannya yang tertekan. 

Panik yang membuatnya merasa terisolasi, yang menciptakan realitasnya sendiri, kini terasa begitu remeh. Wonton menghela napas panjang, sebuah beban yang berat terangkat dari pundaknya. Ia membalas pelukan istrinya, membenamkan wajahnya di bahu wanita itu. Ketakutan itu, ia tahu, adalah akibat dari hutang-hutangnya yang belum terbayar. 

Beban finansial yang menghimpitnya begitu kuat, hingga menciptakan mimpi buruk yang terasa seperti nyata. Mimpi itu adalah wujud dari kepanikan, sebuah cerminan dari kegelisahan dan rasa putus asa yang selama ini ia pendam. Ia kini bangun, benar-benar bangun. Bukan dari tidurnya, melainkan dari ilusi yang diciptakan oleh kepanikannya sendiri. 

Istrinya masih memeluknya, kehangatan itu seperti jangkar yang mengikatnya pada kenyataan. Belati di meja itu kini tampak seperti benda mati, tanpa makna simbolis yang ia berikan semalam. Ia tidak lagi melihatnya sebagai solusi, melainkan hanya sebilah pisau. 

Kekacauan dalam dirinya belum sepenuhnya reda, tapi ia tahu, kepanikan yang menjebaknya semalam hanyalah jebakan dari pikirannya sendiri.


Pilihan

Tulisan terkait

Utama 7631493356351472917

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Daftar Isi

Loading....

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >

Pesan Buku

Pesan Buku

 Serpihan Puisi “Sampai Ambang Senja” merupakan buku kumpulan puisi Lilik Rosida Irmawati, penerbit Rumah Literasi Sumenep (2024).  Buku ini berjumlah 96 halaman, dengan pengantar Hidayat Raharja serta dilengkapi testimoni sejumlah penyair Indonesia.  Yang berminat, silakan kontak HP/WA 087805533567, 087860250200, dengan harga cuma Rp. 50.000,- , tentu bila kirim via paket selain ongkir.

Relaksasi


 

Jadwal Sholat

item
close