Kita Butuh Keheningan
Dardiri Zubairi
Dua dari sekian banyak berita besar yang menyedot perhatian para netizen belakangan ini adalah robohnya bangunan pesantren Al Khaziny dan Kasus Sahara vs Yi Mim. Suara nitezen beragam, termasuk suara yang sangat berlebihan menyikap dua kasus itu. Ya, berlebihan. Karena bahasa atau diksi yang digunakan sangat kasar, seringkali tidak tepat dan menyasar kemana-mana.
Beberapa hal yang penting dicatat di sini adalah:
1/ Seringkali netizen yang kontra merespon satu isu tanpa tahu konteks peristiwanya, konteks historis-sosioligisnya, dan dimensi isu yang bisa jadi sangat luas. Saya sebut respon nitezen yang, misalnya, menggunakan diksi "perbudakan" untuk menggambarkan santri yang bantu ngecor.
Diksi ini gawat sekali. Diksi ini asal comot yang menjelaskan bahwa penanggapnya tidak memahami kultur pesantren. Ini hanya satu contoh saja dari sekian banyak contoh respon nitezen yang bukan mengurai masalah tapi membakarnya.
2/ Dalam kasus Sahara vs Yai Mim tak kalah berisiknya. Kasus ini melebar menjadi ujaran kebencian terhadap suku Madura (kebetulan suami Sahara orang Madura). Dunia media sosial berubah menjadi kuali besar yang menggoreng suku sedemikian panasnya. Seolah keburukan secara esensialis milik suku tertentu sehingga jika sebagian melakukan keburukan semuanya kena.
Saya tidak mengatakan bahwa dalam dua kasus di atas benar semua. Bahwa kontruksi bangunan Al Khaziny bermasalah benar adanya. Bahwa sebagian orang Madura melakukan keburukan juga benar adanya. Tetapi bisakah kita bersikap adil sejak pikiran, meminjam istilah Pramudya. Sehingga respon yang kita berikan bukan keluar dari kebencian?
Sepertinya kita kalap merespon, akibat beratnya beban pikiran karena dibajak informasi yang setiap detik menyusup dalam otak kita. Kita tak pernah mengunyahnya. Persis seperti orang makan, belum selesai mengunyah kita mengisi lagi mulut dengan makanan, dan seterusnya begitu. Akibatnya perut kembung dan tak bisa menampung makanan yang terus datang bertubi-tubi. Dan Anda tahu sendiri mekanisme organ ketika perut terisi penuh makanan? Ya, kotoran akhirnya keluar ke bawah.
Itulah kenapa kita butuh sejenak menarik diri dari kebesingan informasi yang setiap detik masuk ke dalam otak kita. Kita endapkan dulu informasi itu. Kita butuh merenung. Menarik informasi yang kita peroleh ke dalam kesadaran. Mengunyah, memilah, menganalisis, menentukan sikap, mengambil keputusan, dan menuangkan dalam ide, gagasan, komen yang mencerahkan. Bukan marah-marah, membakar, menyerang, menghakimi dan seterusnya.
Sayang, orang-orang saat ini seperti tidak punya waktu merenung. Kehidupan serba cepat memaksa dia mengambil keputusan cepat. Keputusan cepat memaksa dia mengambil tindakan cepat. Untuk hari ini. Saat ini. Akibatnya, keputusan yang diambil seringkali tidak memperhitungkan akibat yang bakal ia terima. Jika sumpek,misalnya, jalan keluarnya minum alkohol. Tak peduli minum alkohol bisa membahayakan kesehatan dan otaknya, dan seterusnya.
Nah, komen terhadap dua isu yang saya sebut di awal juga terjebak pada pola pikir dangkal. Sesaat. Tidak dalam. Karena komen yang kasar dan menghakimi saya duga berasal dari tiadanya waktu merenung.
Ayo merenung. Kita butuh keheningan. Di WC pun tidak apa-apa.
Sumenep, 9 Oktober 2025
Pilihan





