Misteri Malam Jumat Kliwon di Kampung Tobella
Cerpen: Beryl Abadi
Satu malam ganjil yang membuat seluruh warga tak bisa tidur — saat ayam berkokok sebelum waktunya, dan kabut membawa sesuatu yang tak terlihat
Sore itu, langit di atas Kampung Tobella seolah terbuat dari tembaga kusam. Matahari belum benar-benar tenggelam, tapi cahayanya menetes pelan seperti darah yang kehilangan hangatnya. Angin berhembus dari arah barat, membawa aroma basah tanah dan daun pisang yang lembab, seperti udara yang baru saja dilewati sesuatu yang tak seharusnya.
Di ujung kampung, ayam jantan tiba-tiba berkokok. Panjang, melengking, dan terdengar ganjil karena datang bukan dari waktu yang tepat. Biasanya ayam baru bersuara saat fajar masih tidur, tapi kini, menjelang magrib, kokoknya terdengar seperti tanda yang salah alamat.
“Lho, kenapa ayamnya ribut?” suara seorang perempuan tua terdengar dari beranda, serak oleh usia dan cemas.
Tak ada yang menjawab.
Kokok ayam pertama disusul yang lain—dari kandang belakang rumah, dari ladang, bahkan dari arah sungai. Suaranya bertabrakan, seperti saling bersahut namun tanpa arah. Beberapa burung di dahan mangga menjerit kecil, beterbangan tanpa sebab.
Kucing-kucing mulai gelisah. Ada yang berlari ke jalan tanah, ada yang menatap langit. Salah satu melenguh panjang ke arah kebun pisang, ekornya menegang.
Dari rumah-rumah, para ibu mulai memanggil anak-anak mereka. “Sudah sore, masuk dulu... sudah mau magrib.” Suara mereka terburu, lebih cepat dari biasanya.
Langit tiba-tiba redup. Matahari menghilang terlalu cepat, seolah ditelan awan gelap yang datang tanpa hujan. Lamat-lamat, dari arah barat terdengar suara adzan yang sayup, tapi terdengar seperti jauh di bawah tanah, bukan dari menara masjid.
Malam turun dengan cara yang aneh. Tidak ada bintang, tidak ada bulan, hanya kabut yang menggantung rendah di antara pepohonan. Bau lembab semakin tajam, seperti bau daun yang lama membusuk.
Di surau kecil di tengah kampung, beberapa lelaki duduk melingkar. Mereka tidak bicara keras, hanya menatap kosong ke arah jalan yang gelap.
“Kau rasakan?” kata seseorang, pelan.
“Apa?”
“Hawa malam ini… berat.”
Yang lain mengangguk pelan. Tak ada yang menimpali.
Dari kejauhan, terdengar bunyi bambu beradu pelan karena angin. Tapi angin tidak terasa di kulit, hanya suaranya yang berputar di telinga. Kadang terdengar langkah—pelan, menyeret, entah dari arah mana.
Lampu-lampu minyak di rumah warga bergoyang kecil. Api dalam kacanya seperti menari ketakutan. Beberapa padam sendiri tanpa sebab.
Di salah satu rumah panggung, seorang ibu memandangi kucing yang duduk di depan pintunya. Kucing itu menatap ke luar, ke arah jalan, tidak bergerak sama sekali. Bola matanya memantulkan sesuatu—gelap, tapi seolah ada bentuk.
“Kau lihat apa?” gumam si ibu, separuh berbisik.
Kucing itu tak menjawab, hanya mendengus pelan, lalu pergi begitu saja.
Sekitar pukul sebelas malam, udara menjadi benar-benar sunyi. Tidak ada jangkrik, tidak ada burung malam. Hanya ada bunyi napas orang-orang yang berjaga di pos ronda.
“Dari tadi aku dengar suara orang berjalan,” kata seorang pemuda, suaranya serak.
“Dari mana?” tanya temannya.
“Dari arah sungai... tapi setiap kulihat, tak ada siapa-siapa.”
“Mungkin tikus?”
“Langkahnya berat. Seperti... menyeret kaki.”
Yang lain terdiam. Mereka saling pandang, lalu menatap ke tanah.
Di luar, kabut semakin tebal. Udara berubah seperti air, dingin tapi lembab. Nafas terasa berat. Salah satu dari mereka menyalakan obor, tapi nyalanya berwarna biru pucat, bukan jingga seperti biasa.
“Apinya aneh...” kata seseorang, menatap nyala yang bergoyang.
Yang lain hanya mengangguk. Tak ada yang berani meniup atau mematikan obor itu.
Menjelang tengah malam, dari rumah kosong di ujung kampung terdengar suara pintu berderit. Lambat. Seolah tangan yang membuka bukan tangan manusia.
Beberapa warga yang berjaga langsung berdiri.
“Itu... rumah siapa?”
“Rumah Sastro. Tapi kan kosong sejak Lebaran lalu.”
Mereka menatap dari jauh. Di balik kabut, pintu itu terbuka sedikit, hanya cukup untuk terlihat celah hitam di dalamnya.
“Ada orang?”
“Entahlah.”
Mereka menunggu. Lima detik. Sepuluh detik. Lalu terdengar langkah—pelan, menyeret di lantai kayu.
“Jangan dekati,” kata seorang lelaki tua, suaranya lirih tapi tegas.
Tapi rasa ingin tahu lebih kuat daripada takut. Dua pemuda maju, membawa obor.
Mereka melangkah hati-hati, satu demi satu, mendekati rumah itu. Bau tanah basah bercampur bau besi karat. Ketika sampai di depan pintu, angin berhenti sama sekali. Obor mereka bergetar kecil, lalu padam.
Gelap. Sunyi.
Dari dalam rumah terdengar suara seperti kain diseret di lantai.
Kemudian... sesuatu menatap mereka.
Mereka tak tahu dari mana asal tatapan itu, tapi keduanya merasakan hal yang sama—dingin menusuk di belakang leher, seperti ada mata yang berdiri sangat dekat, tapi tak terlihat.
“Sudah... kita kembali saja,” bisik salah satu dengan suara nyaris hilang.
Mereka mundur perlahan, tak berani menoleh, sampai akhirnya cahaya dari pos ronda kembali terlihat.
“Bagaimana?” tanya yang lain.
“Tidak ada siapa-siapa...” jawab mereka hampir bersamaan.
Tapi wajah mereka pucat, dan tangan mereka gemetar.
Menjelang pukul tiga, angin kembali bertiup. Tapi arah tiupannya aneh, seperti datang dari bawah tanah. Bersamaan dengan itu, dari masjid kecil di ujung kampung terdengar suara azan—pelan, tapi nadanya tidak biasa. Suaranya berat, lambat, seolah keluar dari tenggorokan yang bukan manusia.
Orang-orang saling pandang. Tidak ada yang berani bicara. Mereka tahu, tak ada satu pun orang di masjid malam itu. Lampunya padam sejak habis isya.
Azan itu berhenti tiba-tiba, di tengah-tengah lafaz. Sunyi. Lalu terdengar suara langkah cepat, entah di mana.
“Siapa yang azan?” bisik seseorang akhirnya.
Tak ada yang menjawab.
Suasana terasa semakin berat. Seolah udara di kampung itu menebal, menahan suara, menahan cahaya.
Seekor kucing tiba-tiba berlari melintasi jalan. Di belakangnya, terdengar sesuatu seperti langkah ketiga yang mengikuti, tapi tak terlihat.
Salah satu lelaki menunduk, membaca doa pelan. “Laa ilaha illallah...”
Tapi kata-katanya putus di tengah kalimat, seperti disedot udara.
Ketika azan subuh sebenarnya akhirnya terdengar dari menara masjid, semua orang merasa lega—tapi lega yang kering, seperti baru keluar dari mimpi buruk.
Kabut mulai menipis. Jalan tanah terlihat lagi, basah oleh embun. Rumah-rumah mulai membuka pintu, tapi langkah mereka ragu. Tidak ada yang ingin bicara tentang apa yang terjadi.
Hanya satu hal yang aneh: pintu rumah kosong di ujung kampung kini tertutup rapat, seolah tak pernah terbuka. Bahkan debu di gagangnya masih utuh.
“Mungkin kita cuma salah dengar,” kata seseorang mencoba menenangkan.
Yang lain hanya diam, menatap kosong.
Pagi itu berjalan lambat. Udara masih lembab, matahari enggan menampakkan diri. Warga melakukan rutinitasnya seperti biasa, tapi ada sesuatu yang berbeda di wajah mereka—semacam bayangan ketakutan yang belum selesai.
Anak-anak dilarang bermain jauh. Para ibu menjemur pakaian tapi tak berani menatap arah rumah kosong itu. Dan setiap kali ayam berkokok siang hari, semua orang menoleh dengan cepat, seolah takut mendengar suara itu lagi.
Malam berikutnya, suasana kampung kembali sunyi. Tidak ada yang berani duduk di luar setelah isya. Tapi dari kejauhan, di antara tiang-tiang bambu yang berembun, kadang terlihat sesuatu seperti bayangan panjang yang bergerak pelan. Tidak jelas bentuknya, tapi terasa... menatap.
Dan setiap Jumat Kliwon datang, pola itu selalu terulang.
Ayam-ayam berkokok sebelum magrib. Burung-burung bersiul tanpa arah. Kucing-kucing menatap kebun pisang di ujung kampung.
Tak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi malam itu. Tidak ada korban. Tidak ada jawaban. Tapi sejak malam itu, Kampung Tobella seperti tidak pernah benar-benar tidur lagi.
Setiap malam, di antara suara jangkrik dan angin lembab, orang-orang seperti mendengar sesuatu—entah bisikan, entah langkah. Dan di rumah-rumah mereka, lampu minyak sering redup tanpa sebab, seperti sedang menunduk di bawah sesuatu yang lebih besar.
Mereka mencoba hidup seperti biasa. Tapi jauh di dalam diri masing-masing, ada perasaan yang sama: bahwa malam di Kampung Tobella tidak lagi sekadar gelap. Ia menyimpan sesuatu.
Sesuatu yang datang pelan.
Yang tak bisa dilihat.
Tapi bisa dirasakan—setiap kali ayam berkokok sebelum waktunya.
Dan entah kenapa, setiap Jumat Kliwon, semua orang selalu menutup pintu sedikit lebih cepat dari biasanya.
Pilihan





