Monolog Rakyat: “Sumenep, Kota Seribu Festival dan Satu Kesunyian”

Karya Satir untuk Hari Jadi Sumenep ke-756 (1269–2025)
(Versi orasi teater jalanan / puisi rakyat satir)

 


ADEGAN 1 — PEMBUKA: “SELAMAT ULANG TAHUN!”

(Lampu panggung redup. Suara gong kecil, musik gamelan pelan di latar. Pemeran melangkah ke tengah panggung, memegang bendera kecil lusuh bertuliskan “Selamat Ulang Tahun Sumenep”. Nada awal lembut, kemudian berubah getir.)

PEMERAN (dengan senyum pahit):
Selamat ulang tahun, Sumenepku!
Tujuh ratus lima puluh enam tahun usiamu!
Kota tua yang katanya peradaban,
tapi entah kenapa, nasib rakyatnya seperti benda peninggalan —
disimpan di museum, dilihat, tapi tak disentuh.

(Menatap ke arah penonton)
Katanya kau kota budaya,
tapi budaya kami tinggal nama.
Yang tersisa cuma baliho,
dan daftar acara festival yang bahkan senimannya pun tak diundang.

 

ADEGAN 2 — “PESISIR YANG DIKAVLING”

(Nada suara meninggi, langkah maju ke depan panggung.)

Lihat laut kita!
Yang dulu tempat nelayan menambat perahu,
sekarang jadi halaman cukong.

Nelayan menatap laut,
tapi di depannya berdiri pagar besi dan papan nama:
“Dilarang Masuk — Milik Investor”

Katanya demi kesejahteraan rakyat,
Tapi rakyat yang mana, Pak?
Yang tinggal di rumah papan, atau di rumah papan nama?

 

ADEGAN 3 — “SARJANA NGANGGUR”

(Nada lebih satir, tangan menyindir ke arah langit, seperti mengajar.)

Tiap tahun kampus ramai wisuda,
topi beterbangan —
semoga bisa terbang sampai ke lowongan kerja!

Sarjana pulang ke rumah,
bawa ijazah, tapi tak bawa masa depan.
Yang diterima kerja bukan yang pintar,
tapi yang kenal “orang dalam.”

(Berhenti sebentar, nada lucu getir)
Kalau begitu, tolong ubah nama kampus jadi:
“Universitas Siapa Kamu Kenal.”

 

ADEGAN 4 — “JALAN BERGELOMBANG”

(Berjalan zig-zag seperti menghindari lubang jalan. Nada canda tapi marah.)

Katanya Sumenep kota maju,
tapi coba jalan ke kecamatan,
jalannya kayak permainan “Ular Tangga”.
Naik, turun, belok, jeblos!
Kalau tidak hati-hati, bisa “S1 Tergelincir”!

Tiap tahun katanya diperbaiki,
tapi yang halus cuma kata sambutan.
Jalan rusak? tenang, tahun depan ada proyek baru —
buat nambal janji yang lama.

 

ADEGAN 5 — “KOTA FESTIVAL”

(Musik festival ceria terdengar sebentar, lalu berhenti tiba-tiba.)

Sumenep, kota festival!
Setahun seratus acara!
Ada festival kopi, festival kuda,
festival anggaran, festival pura-pura!

Tapi mana seniman lokal?
Mana budayawan desa?
Yang tampil justru rombongan dari luar kota,
yang kenal panitia atau punya proposal!

(Nada tinggi, berapi-api)
Hei, pemimpin!
Kau tidak bisa menari di atas panggung rakyat,
kalau musiknya kau mainkan sendiri!

 

ADEGAN 6 — “PEMIMPIN DI SINGGASANA”

(Nada lirih, lalu perlahan naik jadi getir.)

Katanya beliau pemimpin bijak,
berjiwa keraton, berpakaian adat, berbahasa halus.
Tapi rakyat lapar tak bisa diobati dengan “bahasa halus.”

Beliau di istana,
kami di warung.
Beliau bicara soal sejarah,
kami bicara soal harga beras.

Rakyat ingin bicara —
tapi yang terbuka cuma pintu pagar.
Yang datang mengadu, pulang bawa selfie, bukan solusi.

 

ADEGAN 7 — “PETANI DAN NELAYAN”

(Nada lembut, penuh simpati, tangan di dada.)

Petani menanam doa di tanah kering,
nelayan menebar harapan di laut mahal solar.
Katanya bantuan sudah turun,
tapi berhenti di tengah jalan —
mungkin mampir dulu di meja tanda tangan.

Petani bilang:
“Bukan kami tak mau kerja, tapi tanah kami sudah dijual untuk janji.”

Nelayan bilang:
“Bukan kami tak mau melaut, tapi laut kami sudah disewa.”

 

ADEGAN 8 — “MEDIA DAN PARA PENJAGA TAHTA”

(Nada sinis, menggerakkan tangan seperti memegang mikrofon wartawan.)

Media bilang:
“Pemerintah berhasil!”
“Rakyat bahagia!”
“Ekonomi meningkat!”

Kami tanya:
“Yang bahagia siapa?”
Media jawab: “Kami juga nggak tahu, tapi sudah disponsori.”

Yang kritik dibungkam,
yang patuh diundang.
Begitulah negeri —
di mana kejujuran disensor,
dan pencitraan disiarkan langsung.

 

ADEGAN 9 — “MARAH YANG MASIH BISA TERTAWA”

(Musik berhenti. Pemeran diam sejenak, lalu tertawa getir.)

Kami marah, tapi kami masih tertawa.
Karena kalau tidak, kami bisa gila.
Kami kecewa, tapi kami masih menari,
karena musik pesta tak pernah berhenti.

Kami masih di sini,
di bawah bendera “Sumenep Hebat” yang mulai pudar,
menunggu satu keajaiban:
Pemimpin yang mau berjalan di jalan rakyat,
bukan di karpet merah keraton.

 

ADEGAN 10 — PENUTUP: “KOTA SERIBU FESTIVAL DAN SATU KESUNYIAN”

(Suara gamelan kembali pelan. Pemeran menatap langit, nada lirih dan dalam.)

Selamat ulang tahun, Sumenep.
Tujuh ratus lima puluh enam tahun kau berdiri,
Tapi kapan kau berdiri untuk kami?

Kami tak butuh seratus festival,
kami butuh satu keadilan yang sungguh.
Kami tak minta istana diperluas,
kami cuma minta ruang bicara yang tak ditutup senyum palsu.

Kalau benar kau kota bersejarah,
tolong, jangan jadikan kami bagian dari sejarah yang disesali.

(Diam sejenak. Menatap penonton, lalu menunduk.)
Sumenep, kami cinta padamu —
tapi cinta kami sedang lapar.

(Lampu padam. Gong terakhir berbunyi. Musik berhenti.)

 

Pilihan

Tulisan terkait

Utama 8777580105133481246

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Daftar Isi


 

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >

LOMBA BACA PUISI BAHASA MADURA

LOMBA BACA PUISI BAHASA MADURA
Info selengkapnya, klik gambar

Relaksasi


 


 

Jadwal Sholat

item
close