Santri Think Globally, Act Locally: Wajah Baru Pesantren di Era Modernisasi

Sekedar ilustrasi

Oleh: M. Wildan*

Modernisasi merupakan proses transformasi sosial, budaya, dan teknologi yang bertujuan menciptakan kemajuan dalam berbagai aspek kehidupan. Namun di balik kemajuan itu tersimpan tantangan besar bagi masyarakat religius yang berakar kuat pada tradisi, salah satunya komunitas santri. Dalam konteks Indonesia, santri bukan hanya bagian dari lembaga pendidikan pesantren, melainkan entitas sosial yang memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan nilai-nilai moral, pendidikan, dan budaya bangsa.

Menurut data Kementerian Agama Republik Indonesia, hingga tahun 2024 tercatat lebih dari 42.000 pesantren dengan sekitar 11 juta santri yang tersebar di seluruh Indonesia (Kemenag, 2024). Jawa Barat memiliki jumlah pesantren terbanyak, sementara Jawa Timur menempati posisi pertama dalam jumlah santri yang mencapai hampir sejuta orang (Satu Data Kemenag, 2024). Angka tersebut menunjukkan tren pertumbuhan yang terus meningkat hingga tahun 2025 dan menegaskan bahwa pesantren memiliki potensi besar sebagai agen perubahan sosial dan moral bangsa.

Pesantren kini tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama secara tekstual, tetapi juga mengintegrasikan pendidikan umum, keterampilan digital, dan kewirausahaan. Proses modernisasi berjalan secara adaptif tanpa mengikis akar spiritualitas yang menjadi identitas pesantren Hal ini sejalan dengan pandangan Abd. Rohman, seorang psikolog dan aktivis pesantren, dalam wawancara di Pondok Pesantren Darul Ulum Az-Zainy, Bunten Barat, Ketapang, Sampang, pada 12 Oktober 2025, yang menegaskan bahwa modernisasi di pesantren bukanlah penghapusan tradisi, melainkan upaya dinamis untuk menempatkan diri di tengah perubahan zaman. Nilai-nilai inti seperti akhlakul karimah, adab terhadap guru, dan disiplin ilmu agama tetap dijaga, sementara teknologi dimanfaatkan sebagai sarana dakwah dan pengembangan diri.

Senada dengan pandangan tersebut, Ustadz Agus Subaidi, Ketua Pengurus PPA Lubangsa Utara, dalam wawancara via WhatsApp pada 14 Oktober 2025, menjelaskan bahwa modernisasi di pesantren merupakan bentuk kemampuan lembaga dalam menyesuaikan diri terhadap perkembangan zaman, baik dari segi ilmu pengetahuan maupun infrastruktur. Ia menekankan pentingnya tanggung jawab moral santri agar tidak kehilangan arah dari visi dan misi pesantren. Menurutnya, teknologi bukanlah ancaman, tetapi sarana memperkuat karakter santri dan memperluas dakwah Islam.

Ustadz Agus juga menambahkan bahwa meningkatnya jumlah pesantren dan santri merupakan bukti kontribusi nyata pendidikan Islam terhadap pembangunan bangsa. Ia menegaskan pentingnya kolaborasi antara pesantren, masyarakat, dan pemerintah dalam penguatan kapasitas santri, sembari mengingatkan agar pesantren tidak terlalu bergantung pada bantuan eksternal dan tetap mengandalkan kemandirian serta potensi lingkungannya.

Pandangan itu mendapat penguatan dari Ustadz Muhammad Affan, salah satu senior pengurus sekaligus dewan pertimbangan PPA Lubangsa Utara. Dalam wawancara di pondok yang sama pada 16 Oktober 2025, ia memaknai modernisasi bukan sebagai upaya meninggalkan tradisi, tetapi menghidupkan tradisi dengan cara baru yang relevan dengan zaman. Dalam pandangannya, pesantren memiliki daya tahan spiritual yang kokoh karena berakar pada nilai ikhlas, tawadhu’, dan sanad keilmuan.

“Kuncinya bukan menolak teknologi,” ujarnya, “tetapi menuntunnya dengan adab dan niat lillah.”

Ia menegaskan bahwa santri merupakan aset moral bangsa. Ketika dibina dengan pendidikan kewirausahaan, keterampilan sosial, dan kesadaran kebangsaan, mereka dapat menjadi penggerak sosial dan ekonomi tanpa kehilangan ruh kesantrian.

Sebagai contoh nyata, beberapa pesantren telah mengembangkan unit usaha seperti air mineral kemasan, sablon dan percetakan, pelatihan desain grafis, hingga koperasi santri yang menampung hasil karya dan produk lokal masyarakat sekitar. Program-program seperti ini menjadi bukti bahwa semangat kewirausahaan santri tidak hanya berwujud gagasan, tetapi juga tindakan nyata.

Dalam konteks yang lebih luas, Bapak Fauzi guru PPKN dan Sejarah Indonesia sekaligus alumni pesantren di Sampang menegaskan bahwa “modernisasi sangat baik dalam kolaborasi karakter santri, karena santri telah memiliki dasar nilai religius yang baik dan pedoman hidup yang kuat. Maka dengan adanya perkembangan era modernisasi ini, santri wajib menyesuaikan diri untuk menyongsong masa depan pesantren yang lebih luas, berwawasan, dan berakhlak.”

Menurutnya, perkembangan yang terjadi di pesantren saat ini sudah menunjukkan arah yang positif. “Buktinya,” ujar beliau, “dengan adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, pesantren semakin memiliki marwah, bahkan lebih mampu menyelesaikan gejala-gejala sosial yang menjadi penghambat kemajuan dan karakter pesantren.”

Dari sisi spiritual, pesantren telah menanamkan nilai keteguhan; sementara dari sisi ekonomi, ia mulai belajar menegakkan kemandirian. Fauzi menilai bahwa ketanggapan pesantren terhadap perubahan zaman adalah bentuk nyata kontribusinya dalam mempertahankan nilai-nilai kemerdekaan bangsa. Ia menambahkan bahwa melalui tradisi pesantren, santri dilatih menjadi pribadi yang kritis, berani, dan tangguh menghadapi perubahan.

Namun demikian, Fauzi menyoroti tantangan yang masih dihadapi pesantren, yaitu kualitas sumber daya manusia (SDM) dan pengalaman santri di luar pesantren. Menurutnya, “SDM santri merupakan tolak ukur perkembangan ekonomi pesantren. Modal adalah power dalam pertumbuhan bursa ekonomi santri, sementara pengendalian diri dan pengalaman menjadi lingkup penting dalam membangun ekonomi mandiri di lingkungan pesantren.”

Dalam penutup wawancaranya, Fauzi menggarisbawahi bahwa keberhasilan pesantren tidak dapat dilepaskan dari perjuangan para kiai, nyai, guru, dan santri itu sendiri. “Sebagai santri, kita harus cinta agama dan turut memajukan negara,” ujarnya. Pesantren diharapkan terus melakukan terobosan baru agar tidak hanya bertahan, tetapi juga menjadi pusat kemajuan umat.

Isu kemandirian ekonomi menjadi bagian penting dalam proses modernisasi ini. Ustadz Affan dan Ustadz Habibullah, dalam wawancara di PPA Lubangsa Utara pada 16 Oktober 2025, sepakat bahwa tantangan terbesar pesantren bukan pada kurangnya ide, melainkan pada mentalitas dan manajemen. Banyak santri masih menganggap wirausaha sebagai urusan duniawi, padahal dalam Islam, ekonomi adalah bagian dari ibadah.

Ustadz Habibullah menegaskan bahwa ruh pesantren tetap dijaga melalui adab, wirid, dan kedekatan santri dengan guru, sementara teknologi hanyalah alat, bukan arah hidup. Dengan pelatihan, pendanaan, dan dukungan pasar yang tepat, pesantren dapat mencapai kemandirian ekonomi tanpa kehilangan keberkahan.

Sejalan dengan pandangan para kiai tersebut, Abd. Hamid Ramadhani, Ketua HMI Cabang Pamekasan sekaligus alumni PPA Lubangsa Utara, dalam wawancara via WhatsApp pada 17 Oktober 2025, memberikan perspektif tambahan yang menautkan modernisasi dengan identitas santri. Menurutnya, modernisasi adalah bentuk nyata perkembangan yang perlu diikuti pesantren tanpa meninggalkan ajaran ulama dan kiai. Ia melihat bahwa sebagian kehidupan santri masa kini mulai bergeser bukan karena degradasi moral, melainkan karena tantangan teknologi yang kian kompleks.

Teknologi harus difungsikan sesuai takarannya,” ujarnya, “sebagai penunjang dalam mengamalkan nilai-nilai kesantrian dan keislaman.” Abd. Hamid juga menilai bahwa banyak pesantren sudah mulai menyesuaikan diri dengan era digital tanpa kehilangan nilai spiritualitasnya. Akses informasi memang makin cepat, tetapi tetap harus disaring dengan adab ilmiah, bimbingan guru, dan sumber yang jelas.

Dalam pandangannya, santri adalah insan pilihan yang memiliki potensi besar membangun bangsa melalui fondasi ilmu agama dan pengetahuan umum yang seimbang. Ia juga menilai tradisi bahtsul masail sebagai tradisi unggul yang membentuk karakter berpikir kritis, argumentatif, dan demokratis. Ia menyoroti tiga faktor penting dalam pengembangan ekonomi pesantren: modal, sistem, dan sumber daya manusia. Ketiganya harus berjalan seimbang agar kemandirian pesantren tidak berhenti pada wacana.

Keberhasilan ekonomi kreatif pesantren, menurutnya, bergantung pada kerja sama antara pemilik modal, pengelola, dan pelaksana di lapangan. Dalam menjaga moralitas di era digital, Abd. Hamid mengingatkan dawuh KH. A. Hanif Hasan: “Santri itu yang penting dua—tahu mengaji Al-Qur’an dengan baik dan memiliki akhlak al-karimah.”

Prinsip ini, katanya, menjadi fondasi agar santri tetap beradab di dunia nyata maupun maya. Ia juga menegaskan makna semboyan think globally, act locally, sejalan dengan pesan Buya Hamka: “Boleh saja berotak Jepang dan Amerika, tetapi hati tetaplah berhati Ka'bah.”

Menurut Abd. Hamid, dukungan terhadap modernisasi pesantren dapat dilakukan secara sistematis, dimulai dari kebijakan pemerintah lokal hingga nasional, serta peran aktif alumni dalam membina masyarakat. Ia menutup pandangannya dengan nada optimis: santri adalah pilar moral bangsa yang akan terus menjaga keseimbangan spiritual di tengah perubahan global yang cepat.

Perspektif ini turut dikuatkan oleh pandangan Niza Azmi Nabila, mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya, Prodi Tasawuf Psikoterapi, yang diwawancarai secara daring via WhatsApp pada 18 Oktober 2025. Ia menegaskan bahwa modernisasi di pesantren seharusnya dipahami sebagai upaya menyatukan nilai-nilai kepesantrenan dengan perkembangan zaman, bukan menghapus identitas pesantren itu sendiri.

Menurutnya, kekuatan pesantren justru terletak pada kemampuannya mempertahankan kesederhanaan dan akhlak mulia di tengah arus kemajuan. Niza juga menyoroti pentingnya literasi digital bagi santri agar mereka tidak terbawa arus negatif dunia maya. “Santri harus kritis terhadap perkembangan teknologi, tapi spiritualitasnya juga tetap harus diperkuat,” ujarnya.

Ia menilai bahwa penguatan literasi digital dan spiritual dapat berjalan seimbang agar santri tetap beradab di ruang digital. Selain itu, Niza memandang bahtsul masail sebagai wadah penting untuk menjaga relevansi keilmuan santri dengan isu-isu global, sekaligus melatih pola pikir kritis dalam menganalisis persoalan kontemporer berdasarkan dalil-dalil Islam.

Dalam pandangannya, modernisasi tidak cukup hanya soal teknologi, tapi juga soal penguatan ekonomi mandiri pesantren. Ia menilai bahwa persaingan ekonomi yang makin ketat menuntut pesantren mampu beradaptasi dengan membuka ruang bagi ekonomi kreatif, pelatihan wirausaha, serta keterlibatan masyarakat sekitar. Menurutnya, kunci utama ada pada kemampuan menyelaraskan pendidikan agama dan ekonomi kreatif tanpa kehilangan nilai-nilai spiritual.

Niza juga menekankan pentingnya dukungan infrastruktur dan kebijakan dari pemerintah untuk memperluas akses pesantren terhadap dunia digital, baik melalui penyediaan internet maupun pelatihan. Namun di atas semua itu, ia mengingatkan bahwa keberhasilan pesantren tetap bergantung pada moralitas santri itu sendiri. “Selama mereka mampu menjaga moral dan adabnya, maka moral bangsa juga akan tetap terjaga,” tegasnya.

Pandangan tersebut memperlihatkan bagaimana generasi muda santri memahami modernisasi dari dalam lingkup keilmuan dan pengalaman spiritualnya. Namun di sisi lain, dibutuhkan pula pandangan dari kalangan pendidik yang terlibat langsung dalam dunia pendidikan formal untuk melengkapi gambaran itu.

Hal itu tercermin dari hasil wawancara bersama Ibu Siti Rohmah, SE., ME., Guru Ekonomi Bisnis, yang memberikan sudut pandang pendidikan modern berbasis pesantren. Dalam wawancara yang dilakukan di lingkungan sekolahnya pada 23 Oktober 2025, beliau menyampaikan bahwa modernisasi dapat menjadi kekuatan positif bagi pesantren, memungkinkan mereka untuk tetap relevan dan berkontribusi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa serta mengembangkan masyarakat yang berakhlak mulia.

Menurutnya, santri masa kini dapat menerapkan teknologi melalui integrasi kurikulum pesantren dengan kurikulum nasional. Langkah ini menjadi pintu masuk bagi pesantren untuk menerapkan modernisasi dalam konteks pendidikan yang kontekstual tanpa meninggalkan nilai-nilai spiritualnya.

“Adaptasi terhadap perkembangan teknologi adalah sebuah keharusan,” ujar beliau. Pesantren, lanjutnya, sudah mampu memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan kualitas pendidikan, dakwah, dan pelayanan masyarakat tanpa kehilangan jati diri dan tradisi luhur yang telah mengakar.

Beliau juga menekankan pentingnya pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran dan dakwah. Internet memberikan akses luas bagi santri untuk memperdalam ilmu, sementara media sosial dan situs resmi pesantren dapat menjadi wadah penyebaran dakwah Islam moderat.

Selain itu, menurutnya, pesantren memiliki potensi besar untuk mendukung pembangunan nasional melalui penggerak ekonomi kerakyatan, pengembangan SDM, dan adaptasi digital yang berkelanjutan. Bahtsul masail, dalam pandangan beliau, tidak hanya tradisi intelektual, tetapi juga wadah pengembangan nalar kritis dan sikap toleran santri dalam merespons tantangan zaman.

Beliau menutup pandangannya dengan menegaskan bahwa di tengah arus budaya digital, santri perlu menjaga adab dan moralitas dengan cara memanfaatkan teknologi secara bijak, memperkuat nilai-nilai tradisional seperti ta’dzim kepada guru, dan menumbuhkan semangat gotong royong serta kesederhanaan hidup.

“Santri tidak cukup menjadi konsumen budaya digital,” pungkasnya, “mereka harus menjadi produsen konten positif yang mampu menjaga dan menyebarkan nilai-nilai Islam yang beradab dan relevan di era modern.”

Dari kedua wawancara tersebut, tampak jelas bahwa modernisasi pesantren bukan sekadar wacana, melainkan kenyataan yang tumbuh dari kesadaran kolektif antara santri dan pendidik. Santri menghadirkan semangat adaptif yang dinamis, sementara pendidik menjaga agar arah modernisasi tetap berpijak pada nilai-nilai spiritual dan moral. Kolaborasi keduanya membentuk wajah baru pesantren yang tidak hanya mampu berdialog dengan zaman, tetapi juga menuntun arah perubahan menuju peradaban yang lebih beradab.

Pada era saat ini, santri bukan hanya duduk tenang di hadapan kitab kuning. Santri sekarang belajar beradaptasi dengan dunia luar yang semakin canggih. Jadi, tidak dapat dipungkiri bahwa peran santri terhadap perkembangan zaman sangat penting. Beberapa tokoh penting di negeri ini bahkan berhasil menjadi nahkoda dalam arus kemodernan. Dalam kitab pun telah dijelaskan, suatu saat nanti santri akan menjadi mercusuar di tengah masyarakat, menjadi jawaban di tengah arus medan kehidupan negeri ini.

Di pesantren telah ditanamkan karakter dan mental yang kuat. Sebab menghadapi perkembangan zaman tidak hanya membutuhkan kecerdasan, tetapi juga keberanian untuk bergerak dan beraksi di lapangan.        

Dari berbagai pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa modernisasi pesantren adalah perjalanan menuju keseimbangan antara iman dan ikhtiar. Santri bukan sekadar penerima ilmu, tetapi juga pelaku perubahan sosial yang menjaga nurani di tengah derasnya arus zaman. Dengan perpaduan antara tradisi, inovasi, dan spiritualitas, pesantren membuktikan bahwa kemajuan sejati tidak hanya diukur dari teknologi. Lebih dari itu, kemajuan diukur dari sejauh mana manusia dan santri mampu menjaga kemanusiaannya.

Karena dengan berpikir global dan bertindak lokal, santri membuktikan bahwa pesantren bukan warisan masa lalu, melainkan fondasi masa depan bangsa—tempat nilai lama tumbuh kembali dalam bentuk baru yang lebih relevan bagi zaman ini.

24, Oktober 2025

Daftar Pustaka

  1. Kementerian Agama Republik Indonesia. (2025). Data Pesantren dan Santri Indonesia Tahun 2025.
  2. Satu Data Kemenag. (2024). Statistik Pesantren dan Santri di Indonesia.
  3. Wawancara dengan Abd. Rohman, S.Psi., M.Psi., Pondok Pesantren Darul Ulum Az-Zainy, Bunten Barat, Ketapang, Sampang, 12 Oktober 2025.
  4. Wawancara dengan Ustadz Agus Subaidi, Ketua Pengurus PPA. Lubangsa Utara, via WhatsApp, 14 Oktober 2025.
  5. Wawancara dengan Ustadz Muhammad Affan, Dewan Pertimbangan PPA. Lubangsa Utara, 16 Oktober 2025.
  6. Wawancara dengan Ustadz Habibullah, Pengurus PPA. Lubangsa Utara, 16 Oktober 2025.
  7. Wawancara dengan Abd. Hamid Ramadhani, Ketua HMI Cabang Pamekasan, via WhatsApp, 17 Oktober 2025.
  8. Wawancara dengan Niza Azmi Nabila, Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya, Prodi Tasawuf Psikoterapi, via WhatsApp, 18 Oktober 2025.
  9. Hasan, KH. A. Hanif. Dawuh tentang Moralitas Santri dan Akhlak al-Karimah.
  10. Hamka, Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Buya). Kumpulan Petuah Kehidupan dan Nilai Kebangsaan.
  11. Wawancara dengan Bapak Fauzi, Guru Mapel PPKN dan Sejarah indonesia, 20 Oktober 2025.
  12. Wawancara dengan Ibu Siti Rohmah, SE., ME., Guru Mapel Ekonomi Bisnis, 23 Oktober 2025.

*****

*) M. Wildan adalah nama pena dari Moh. Wildan, merupakan mantan Ketua Perpustakaan PPA Lubangsa Utara periode 2024–2025. Ia  pernah aktif berproses di Laskar Pena Lubtara, MSA (Masyarakat Seni Annuqayah), dan dunia pers di Jurnal Pentas MA 1 Annuqayah, serta tercatat sebagai santri PPA Lubangsa Utara. Saat ini ia menjalankan amanah terbesarnya menjadi guru tugas angkatan 2025–2026 di Pondok Pesantren Darul Ulum Az_Zainy, Ketapang, Sampang. Prestasinya antara lain Juara 3 Menulis Puisi Nasional (Pemuda Lingkungan dan Budaya Jawa Barat, 2025), Juara Cipta Puisi Nasional dan Juara 3 Lomba Esai Nasional Juga Juara 2 Menulis Cerpen Nasional (Islamic School Jakarta, 2025), Finalis Asia Tenggara (Kemendikbud Jawa Tengah, 2025), serta terpilih sebagai Best of Participant lomba menulis event nasional (Bunterfly.pro 2025), Naskah puisinya yang bertajuk “Rindu Kami Padamu Tanah Utara” Lolos kurasi 3 Negara, Indonesia, Malaysia, Singapura, dan terpilih menjadi karya pilihan SIP Publising dan Yayasan Rumah Menulis Indonesia . Karya-karyanya telah dimuat di berbagai media seperti: Riau Sastra, Radar Madura, Suara Merdeka, Rumah Literasi Sumenep, dan dibukukan dalam beberapa antologi bersama, di antaranya Perjalanan Sebuah Nama (CV EMN Media, 2025), Bisik Sendu untuk Negeriku (Sastra Gaia, 2025), dan Melukis Ulang Senja Jilid 1 (Airiz Zera, 2025, Akar Serumpun Anyaman Rasa, Antologi Puisi 3 Negara, Indonesia, Malaysia, Singapura, (SIP Publishing 2025). Ia juga menulis aktif di blog pribadinya sibocahpetaniputramadura.blogspot.com

 

 

 

 

Pilihan

Tulisan terkait

Utama 1354602413259794172

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Daftar Isi


 

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Banner untuk Anda

Banner untuk Anda
Anda punya rencana kegiatan yang mau dipublikasikan dalam bentuk banner? Kegiatan apapun, silakan kirim lewat email penulisrulis@gmail.com, dan akan kami terbitkan di halaman ini. Gratis

Workshop Baca Puisi Bagi Guru

Workshop Baca Puisi Bagi Guru
Selengkapnya klik gambar

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >

Relaksasi


 


 

Jadwal Sholat

item
close