Sajak-Sajak Tika Suhartatik
Suhartatik dengan nama pena Tika Suhartatik, seorang perempuan sederhana yang lahir di sebuah desa kecil di Kecamatan Saronggi, Kabupaten Sumenep yang memiliki motto “ Satu Catatan Lebih Baik dari Seribu Ingatan”. Baginya, puisi itu adalah bayangan dirinya yang mampu memisahkan siang dengan malam. Saat ini Ia mengabdikan diri di almamaternya, kampus Universitas PGRI Sumenep, aktif sebagai penggiat di Rumah Literasi Sumenep (Rulis),dan sebagai editor Majalah “Jokotole”, Majalah Berbahasa Madura Balai Bahasa Jawa Timur.
Beberapa karya sastranya terkumpul dalam buku antologi puisi berbahasa Madura “Nemor Kara” (2006) diterbitkan oleh Balai Bahasa Jawa Timur, dan “Jhimat” (2015) yang diterbitkan oleh Disbudparpora Sumenep. Karya puisinya yang berbahasa Indonesia juga terkumpul dalam antologi puisi “Akar Rumput” (2016), 10 Penyair Perempuan Madura “Perempuan Laut” (2017), dan “ Lelaki yang Membanting Matanya“ (2017), “Takziah Bulan Tujuh; Kitab Puisi Tiga Baris untuk Mengenang Sapardi Djoko Damono” (2020). Puisi tunggalnya “ Seteguk Kopi Emak” (2020) masuk 25 nominasi Anugerah Hari Puisi Indonesia 2020 . Karyanya juga masuk pada Kitab Cerpen Tiga Paragraf/ Pentigraf mulai tahun 2018 s.d 2023 oleh Kampung Pentigraf Indonesia.
*****
Mantra Legi
kau peramu mantra
berdarah pekat berwajah karat
tak akui dia ibumu
kau laknat saat tak lagi memikat
kau lelaki peramu jampi
sukmamu berisi benci
berada mewarnai Legi
tak lelahkah engkau berbasa-basi
dia bukan ibumu
tak lahirkan kau di rahimnya
namun kau hangat di peluknya
kau sangkal itu
punggung-punggung kau bercaki koreng
merangsak
di rancak-rancak
Tik@2022
Separuh Bulan Juli
terimakasih pada sepotong rindu pernah berlabuh di separuh waktu
aku berlalu membawa haru, kelu, dan bisu
cukup sudah perjalanan bersamamu
berbagi musim ganas, panas, gigil dan tatapan gersang kian memanjang
tersisa pada spertengah Juli menilap mimpi
jujur aku lelah membuka mata
selalu ada keluh kesah gundah tak henti mendesah
pada akhirnya harus berpulang pasrah
kalender lusuh kian terlupa
sudahlah...
akhiri saja biar tak lagi ada kata
merangsak jadi aneka rasa
kau pun sudah berubah menjadi Rama
biasa membawa cinta setiap kerlingan mata
menatap terpana senyuman para Sinta
aku sendiri resah menyapa
Tik@ 2022
Mengenang Serpihan Usia
(Teruntuk Tuan Guru, Tengsoe Tjahjono)
Padamu Tuan Guru, aku haturkan sekuntum bunga
dalam baskom berisi cinta dan doa
di hela serpihan 65 tahun wajahmu menjelma
kau masih sama
penuh suara berkendara
menghalau galau dengan sajak-sajak asmara
serta tak lupa menyapa penguasa
aku pernah menerima rumus-rumus hidup yang kau bagi
di antara setumpuk teori, di atas candaan kopi
dalam ruang kelas yang tak pernah sepi
bergentayangan di batok kepala tentang sebuah negeri
Waktu itu kau bertanya, “Tik, apa jadinya bangsa tanpa sastra?”
aku terhenyak dari kantuk yang mendera
mencoba menguak jawaban di celah reranting, bergayut dedaun cemara,
mencari cahaya dalam kabut senja yang kau cipta
Tuan Guru…pada puisi kau sering berdakwah
tentang gemuruh dan kecamuk anak asuh
kau mendulang sejarah dari keluh waktu
meski berjarak dan berselimut mega rindu
Tuan Guru…..senandungmu masih berbekas
kukecap hingga kini aku berkelas
kutemukan isi dari yang kau tanya
bahwa naluri asa patut ada di setiap langkah
menjadi apapun yang aku bisa
petuahmu tentang karsa berbalut rasa
harus kususun pada batu-batu yang jelaga
pada duri-duri yang menjajah
sungguh aku ingin kembali pada waktu saat kau meruahkan tuah
dan kembali memberiku tanya
pada usia yang kian renta
aku memuja, titip sebait puisi
kubawa berlari
mengejar mimpi-mimpi
Tik@*Suhartatik_ 2023
Sajak Lelaki Pemuja Waktu
Mengenalmu sepintas lalu, memasung diri dalam waktu
hanya angin sempat kau sapa
berteman buku-buku berserak, kau ajak bercanda
sesekali kau seruput kopi, meski menyisakan pekat
Tak kau peduli lidahmu bersekat
Anganmu dipenuhi mimpi
Sepulang menjelajah tanah negeri yang banyak memberi arti
Kau tanam kenangan di atas meja
Menungguinya di beranda sebelum senja
Di dinding kau gantungkan segunung harapan
pada negeri yang tak lekang dari ingatan
kau coba samakan layaknya perjalanan
semua ada persimpangan
rentangan tangan dan kepala,
kehidupan dan kematian, kau ikat dalam perjanjian
terendam dalam telaga
sekali waktu kau intip di jendela
bentang angkasa yang kian mengabur pada mata
Jarak dunia yang meruang pada celah
Menyambangi detak jantung yang memberimu gelisah
Merekam jejak semua belantara yang kau pijak
berjibun teka -teki di atas bukit, terpasang di langit
kau baca pada layar, penuh gambar
memberi jeda pada jiwa-jiwa
merunduk, tunduk, takluk
hanya pada Dia pemilik Kuasa
Tik@*Suhartatik_ 2023
Di Antara Keluh Waktu
Rindu ini begitu rapuh
menghentak, berdetak dari remang bebukitan
namun terpaksa menjauh, mengebiri hasrat berpeluh
kurangkum gempita setengah nyata
rindu tak berkesudahan, luruh
makin lesu, membisu bersama waktu
entah kenapa kau berlalu, sementara aku tak kuasa menunggu
Ketika langit mengapung sajak-sajak lama
aku ingin kembali pada puisi, ingat derai hujan mewarnainya
berkelindan aroma cinta, angin kembara, tak lupa merambah
sepucuk surat dan sebaris senyum kembali menyapa
biarkan aku berpulang pada musim-musim, tempatku bercanda
ini bukan puisi terakhir
sebab aku ingin terus terlahir
menghimpun doa, memaksa jiwa-jiwa mencipta wacana, melukis cakrawala,
sapuan warna, rentetan cerita, serta bisikan manja
Aku masih ingin bersama waktu meski sering berkeluh
berdiri di atas palung, tak rapuh
meraih asa
bertoga
berjaya
inilah aku, semesta…
Tik@*Suhartatik_ 2025





