Anak-Anak yang Mengirim Cahaya ke Sumatera


Cerita anak: Beryl Abadi

Saat Sumatera dilanda bencana besar, lima anak bersahabat menemukan cara sederhana namun bermakna untuk menolong. Dengan tekad dan kerja sama, mereka membangun gerakan donasi di sekolah masing-masing. Cerita penuh empati, perjuangan, dan keteladanan bagi anak-anak.

Rumah Sederhana  dan Misi Lima Sahabat

Di sebuah kota kecil, Minggu pagi angin yang melintas dari arah utara membawa aroma udara segar. Di tengah perkampungan ini terdapat sebuah rumah sederhana namun tertata rapi, halaman luas dan di depannya tampak gasibo yang  menjadi tempat favorit lima anak bersahabat: Badri, Sumantri, dan Dika yang masih duduk di kelas VI SD, serta Rano kelas VII dan Imam kelas VIII SMP.

Gasibo itu terbuat dari kayu, dibangun dengan sederhana.  Namun bagi mereka berlima, itulah tempat paling hangat di dunia. Tempat mereka bercerita, bercanda, bertengkar kecil, lalu baikan lagi. Tempat di mana persahabatan mereka tumbuh seperti padi yang menguning.

Hari itu, udara cerah, dan matahari naik malu-malu dari timur. Seekor burung prenjak bertengger di atap gasibo sambil berkicau nyaring. Badri datang pertama seperti biasa, membawa sebungkus kacang rebus.

“Ini kacangnya masih panas,” kata Badri sambil membuka bungkusnya dengan hati-hati. Ia meletakkannya di tikar pandan yang sudah mulai robek di sisi-sisinya.

Tak lama kemudian datanglah Sumantri, lalu Dika dengan rambut acak-acakan khas anak yang baru saja bermain kelereng. Disusul Rano dan Imam, yang keduanya membawa botol air dan roti sobek.

Mereka duduk melingkar. Seperti biasa, suasana segera menjadi riuh. Pembicaraan mereka melompat dari satu topik ke topik lain. Dari pertandingan bola tadi malam hingga rencana liburan setelah ujian semester.

Namun tiba-tiba Badri berhenti mengunyah kacangnya. Ia merogoh saku celana dan mengeluarkan ponselnya yang layarnya sedikit retak.

“Aku lihat berita pagi tadi,” ujar Badri sambil menarik napas.

“Mengenai apa?” tanya Dika sambil masih mengunyah roti.

“Banjir gede di Sumatera Barat,” jawab Badri. “Parah sekali. Banyak rumah hanyut.”

Kata-kata itu membuat yang lain spontan mendekat. Mereka menatap layar kecil yang menampilkan video sungai yang meluap, rumah-rumah yang hampir tenggelam, dan orang-orang yang mengungsi ke dataran tinggi.

“Sebesar itu?” tanya Sumantri, matanya membelalak.

“Iya, lihat nih,” kata Badri sambil memperbesar gambar sebuah rumah kayu yang patah terseret arus.

“Kasihan mereka…” ucap Rano pelan.

Imam kemudian menambahkan, “Aku tadi dengar di radio, di Sumatera Utara juga ada longsor. Tepatnya di dekat daerah Serdang Bedagai. Malam-malam tanah longsor dan menimbun rumah-rumah warga.”

“Benar?” tanya Dika terkejut.

“Katanya lebih dari tiga puluh rumah rusak. Banyak korban luka,” jawab Imam.

Badri menggeser layar lagi dan muncul gambar lain: seorang anak kecil menatap kosong pada puing yang dulu adalah rumahnya.

“Ibu sama bapaknya belum ditemukan,” kata Badri lirih.

Tak ada yang bersuara. Untuk beberapa detik, hanya angin sawah yang terdengar.

Kemudian Rano berkata, “Di Aceh juga banjir bandang. Aku lihat berita semalam. Jembatan putus. Sekolah-sekolah terendam sampai atap.”

“Banyak sekali bencana…” gumam Sumantri.

Mereka berlima terdiam lama. Meski masih anak-anak, empati mereka sangat hidup. Mereka membayangkan anak-anak seumuran mereka yang kehilangan rumah, buku-buku sekolah basah, bahkan mungkin kehilangan anggota keluarga.

“Korban jiwa sudah lebih dari seratus dua puluh orang,” ucap Badri tanpa melepas pandangan dari layar.

Itu membuat suasana semakin berat.

Beberapa menit berlalu dalam kebisuan sebelum akhirnya Imam bersuara.

“Bagaimana kalau kita bantu mereka?”

Kelima anak itu menatapnya.

“Bantu?” tanya Badri.

“Iya,” jawab Imam sambil menatap satu per satu sahabatnya. “Kita kumpulin uang. Sumbangan apa saja. Seadanya. Yang penting niatnya.”

“Uang kita kan kecil,” ujar Dika sambil menggaruk kepala.

“Tapi kalau kita ajak banyak orang?” sahut Imam cepat.

“Banyak orang… siapa?” tanya Sumantri.

“Teman-teman sekolah,” jawab Imam mantap. “Sekolahku, sekolah kalian. Kita buat kotak donasi. Taruh di tempat orang-orang lewat. Kita minta izin kepala sekolah. Kita jelaskan bahwa saudara-saudara kita di Sumatera butuh bantuan.”

Suasana yang tadinya sendu mulai berubah. Cahaya semangat mulai terlihat di mata mereka.

“Itu ide bagus sekali!” kata Rano sambil menepuk kaki Imam.

“Aku setuju,” kata Badri langsung.

“Kalau semua siswa ikut nyumbang, hasilnya pasti banyak,” ujar Dika yang mulai tersenyum lebar.

“Aku juga setuju,” kata Sumantri sambil mengepalkan tangan. “Kita harus lakukan ini.”

Mereka berlima mulai berdiskusi serius, seperti rapat kecil di tengah sawah.

“Berarti tiap sekolah bikin kotak donasi sendiri?” tanya Badri sambil mencatat di kertas kecil.

“Iya,” jawab Imam. “Di sekolahku mungkin tiga kotak. Di kantin, depan ruang guru, dan dekat gerbang.”

“Sekolahku kecil. Satu saja cukup,” kata Sumantri.

“Sekolahku ada tiga ratus siswa. Dua kotak mungkin pas,” ujar Dika.

“Baik,” kata Badri. “Terus tulisannya apa? Harus bikin orang tersentuh.”

“Mungkin… ‘Terima kasih telah memilih membuat perbedaan. Sumbangan Anda sangat berarti bagi saudara kita di Sumatera.’?” kata Imam.

“Itu bagus!” seru Rano.

“Kita buat beberapa versi biar lebih bervariasi,” kata Dika.

Setelah itu mereka mulai menyusun daftar kecil tentang apa yang harus dilakukan: meminta izin kepala sekolah, membuat kotak donasi, membuat poster, mengumpulkan donasi dalam waktu tiga hari, lalu mencari cara mengirimnya.

“Kalau bukan sekarang, nanti keburu liburan,” ujar Imam.

Betul, semuanya mengangguk.

Hari itu ditutup dengan semangat baru. Mereka menyadari bahwa meski kecil, mereka bisa berdampak besar jika bersatu.

Membuat Kotak-Kotak Harapan

Sore harinya mereka berkumpul lagi. Dengan kardus bekas mi instan, kardus sepatu, gunting, lem, dan spidol warna-warni, mereka mulai bekerja.

Badri menggambar gunung dan sungai, Dika menempel stiker hati yang ia dapat dari buku gambarnya, Sumantri menulis pesan motivasi, Rano menggambar tangan saling menggenggam, dan Imam menulis kalimat penyemangat dengan huruf tebal.

Mereka membuat lebih dari enam kotak.

Setiap kotak punya kalimat yang berbeda:

“Terima kasih telah memilih membuat perbedaan.”
“Sedikit dari kita, besar untuk mereka.”
“Bantuanmu cahaya untuk Sumatera.”
“Untuk anak-anak Sumatera yang ingin kembali tersenyum.”

Ketika semua kotak selesai, Imam menatapnya puas.

“Ini bukan kotak biasa,” kata Imam sambil tersenyum. “Ini kotak harapan.”

Yang lain mengangguk setuju.

Izin yang Mudah Didapat

Keesokan harinya, mereka pergi ke sekolah masing-masing dengan membawa keberanian.

Di SD tempat Badri, Sumantri, dan Dika bersekolah, mereka menemui kepala sekolah. Setelah mendengar penjelasan mereka tentang bencana yang melanda Sumatera, Pak Kepala Sekolah berkata bahwa ia sangat bangga dan langsung memberi izin.

“Bahkan, nanti saya umumkan di speaker sekolah,” kata Pak Kepala Sekolah sambil tersenyum.

Sementara itu di SMP Rano dan Imam, kepala sekolah juga memberikan izin penuh bahkan langsung meminta guru OSIS untuk ikut mendampingi.

Anak-anak itu tak menyangka dukungan akan sebesar itu.

Hari-Hari Mengumpulkan Kebaikan

Pada hari pertama, kotak-kotak donasi langsung mendapat perhatian. Anak-anak membaca tulisan di kotak itu, beberapa terlihat tersenyum, beberapa langsung menaruh koin.

“Ini untuk anak-anak di Sumatera,” kata seorang siswi kelas dua kepada temannya.

“Aku juga mau,” jawab temannya sambil mengeluarkan uang jajan.

Hati Badri yang melihat itu terasa hangat. Ia tidak menyangka teman-teman sekelasnya begitu peduli.

Di SMP, kotaknya lebih cepat penuh. Banyak siswa memasukkan uang tanpa diminta.

Pada hari kedua, donasi semakin banyak. Bahkan beberapa guru memberikan sumbangan lebih.

Pada hari ketiga, kotak-kotak itu hampir tidak muat.

“Ini luar biasa!” ujar Rano ketika menghitung uang bersama Imam.

Setelah semua dikumpulkan, mereka berlima berkumpul di gasibo dengan tumpukan uang pecahan. Mereka menghitung perlahan, hati-hati, dan beberapa kali saling melihat ketika jumlahnya terus bertambah.

Setelah hampir dua jam menghitung, Imam berkata dengan suara yang agak bergetar, “Totalnya… lima juta tiga ratus tujuh puluh delapan ribu.”

Mereka saling berpandangan. Angka itu bagi mereka sangat besar.

“Ini benar-benar bisa bantu,” kata Sumantri dengan mata berbinar.

“Bagaimana cara kirimnya?” tanya Badri.

Rano mengeluarkan ponsel. “Kita kirim lewat website Kitabisa. Banyak relawan kirim lewat sana. Aku sudah cek.”

Mereka pergi ke warung internet dengan didampingi guru. Ketika mereka mengklik tombol “Donasi Sekarang”, jantung mereka berdegup.

Setelah proses berhasil, muncul tulisan: Donasi Anda telah diterima.

Mereka berlima saling menatap lalu tersenyum lebar.

“Semoga sampai ke orang-orang yang membutuhkan,” kata Imam pelan.

Setelah Donasi, Hadirlah Rencana Baru

Di hari berikutnya, kelima sahabat itu berkumpul lagi di gasibo. Suasana kali ini lebih ringan.

“Kita sudah lakukan satu hal besar,” kata Badri sambil rebahan.

“Bangga banget,” ujar Dika sambil tertawa.

“Liburan nanti mau ke mana?” tanya Rano.

Tapi Imam berkata, “Bagaimana kalau kita juga bikin kegiatan lingkungan? Biar bencana seperti ini nggak terjadi lagi. Misalnya bersih-bersih sungai.”

“Itu keren!” seru Sumantri langsung.

“Setuju!” jawab Badri cepat.

Dika tertawa. “Kalian ini… semangatnya nggak habis.”

Namun semuanya sepakat. Kebaikan harus diteruskan.

Anak Kecil, Hati Besar

Hari-hari setelah itu berjalan seperti biasa. Tapi sesuatu telah berubah dalam hati lima sahabat itu. Mereka merasa lebih peduli, lebih peka, dan lebih berani melakukan sesuatu yang baik.

Badri lebih disiplin menjaga kebersihan.
Sumantri mulai membantu ibunya tanpa diminta.
Dika rajin menata kelas.
Rano ikut kegiatan lingkungan di sekolah.
Dan Imam ikut OSIS untuk membuat program peduli bencana rutin.

Suatu sore, ketika mereka duduk bersama di gasibo, Imam berkata, “Kalau kita memberikan sedikit saja dari yang kita punya, dunia ini bisa punya banyak sekali kebaikan.”

Yang lain mengangguk sambil tersenyum, memandang hamparan sawah yang bergoyang lembut tertiup angin.

Di gasibo itu, lima anak belajar satu hal besar: kebaikan tidak menunggu kita dewasa.

Kebaikan dimulai dari hati.

Dan dari gasibo itu, kebaikan telah terbang jauh… sampai ke Sumatera.

 

Pilihan

Tulisan terkait

Utama 4897148525978185848

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Daftar Isi


 

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Banner untuk Anda

Banner untuk Anda
Anda punya rencana kegiatan yang mau dipublikasikan dalam bentuk banner? Kegiatan apapun, silakan kirim lewat email penulisrulis@gmail.com, dan akan kami terbitkan di halaman ini. Gratis

Workshop Baca Puisi Bagi Guru

Workshop Baca Puisi Bagi Guru
Selengkapnya klik gambar

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >

Relaksasi


 


 

Jadwal Sholat

item
close