Mengurusi Hidup Orang Lain: Pekerjaan Sosial Tanpa Surat Tugas
Dari teras rumah hingga grup WhatsApp, ngrumpi telah menjelma menjadi aktivitas sosial yang nyaris tak tergantikan. Dengan nada humor dan sentilan ringan, esai ini membedah kegemaran mengurusi hidup orang lain—mulai dari rasa ingin tahu yang kehilangan rem hingga gosip yang merasa paling benar—seraya mengajak pembaca bercermin tanpa perlu merasa digurui.
Oleh: Beryl Abadi
Ada banyak tradisi yang hidup subur di tengah masyarakat kita. Ada gotong royong, arisan, kerja bakti, dan satu lagi yang tak pernah absen meski hujan badai atau harga sembako naik: ngrumpi. Ia tidak tercatat dalam warisan budaya takbenda, tapi keberadaannya lebih konsisten dari jadwal ronda malam.
Ngrumpi, san-rasan, ngrasani, gosip, kepo, ikut campur, sok tahu—apa pun istilahnya—telah menjadi aktivitas sosial lintas usia, lintas profesi, dan lintas teknologi. Dulu dilakukan di teras rumah dengan kursi plastik dan teh manis. Kini, ia bermigrasi dengan anggun ke grup WhatsApp, kolom komentar, dan status yang diawali kalimat sakti: “Tanpa bermaksud menyinggung siapa pun…”
Kalimat itu, seperti kita tahu, hampir selalu diikuti dengan sesuatu yang sangat menyinggung.
Dari Teras ke Timeline
Secara historis, ngrumpi adalah bagian dari komunikasi sosial. Ia lahir dari kebutuhan manusia untuk berbagi cerita. Masalahnya, cerita tentang diri sendiri sering kali kalah menarik dibanding cerita tentang orang lain—terutama jika orang lain itu sedang punya masalah.
Dulu, ngrumpi berlangsung terbatas. Paling jauh satu RT. Sekarang, dengan satu tangkapan layar, satu voice note, satu forwarded message, cerita bisa berkeliling kecamatan bahkan provinsi sebelum subuh tiba.
Perkembangan teknologi membuat ngrumpi naik kelas: dari obrolan bisik-bisik menjadi konten.
Emak-Emak dan Tudingan Abadi
Dalam narasi sosial populer, pelaku utama ngrumpi sering diarahkan pada satu kelompok: emak-emak. Maka lahirlah istilah emak-emak rempong, seolah-olah ngrumpi adalah keahlian turun-temurun yang diwariskan bersamaan dengan resep sayur asem.
Padahal, mari kita jujur dengan penuh kesadaran moral: bapak-bapak juga ngrumpi, hanya berbeda kostum dan lokasi. Jika emak-emak melakukannya sambil mengupas bawang, bapak-bapak melakukannya sambil ngopi dan merokok, lalu menyebutnya diskusi ringan.
Yang berubah hanya istilah. Esensinya tetap sama: membicarakan orang yang tidak ada di tempat.
Kepo: Awal Mula Segala Cerita
Ngrumpi hampir selalu diawali oleh satu sifat dasar manusia: penasaran. Rasa ingin tahu ini sejatinya netral. Tanpanya, manusia tidak akan bertanya, belajar, atau berkembang.
Namun, kepo menjadi masalah ketika kehilangan batas. Dari sekadar ingin tahu, ia berubah menjadi ingin memastikan, lalu merasa berhak tahu.
Contoh klasik:
“Suaminya kok jarang kelihatan, ya?”
Pertanyaan ini terdengar biasa. Tapi ia jarang berhenti di situ. Ia akan disusul dengan:
“Kerjanya apa, sih?”
“Kok anaknya gitu?”
“Jangan-jangan…”
Kata “jangan-jangan” adalah pintu neraka sosial. Dari situlah lahir cerita yang panjang, rumit, dan sepenuhnya berbasis asumsi.
Antara Ghibah dan Fitnah: Tipis Tapi Nyata
Dalam khazanah moral dan agama, khususnya Islam, ngrumpi bukan perkara ringan. Ia terbagi dua:
Pertama, ghibah—ketika yang dibicarakan itu benar, tapi disampaikan tanpa keperluan yang sah.
Kedua, fitnah—ketika yang dibicarakan itu tidak benar, hanya dugaan atau karangan.
Ironisnya, banyak orang merasa aman karena berkata, “Ini kan kenyataannya.” Padahal, kebenaran tidak otomatis memberi izin untuk disebarkan.
Tidak semua fakta perlu diumbar. Tidak semua cerita harus dibagikan. Apalagi jika tujuannya hanya untuk mengisi waktu luang dan memuaskan rasa ingin tahu.
Sok Tahu: Ketika Informasi Setengah Jadi
Jika kepo adalah pintu masuk, maka sok tahu adalah ruang tamunya. Di sinilah seseorang merasa cukup tahu untuk menilai, menyimpulkan, bahkan memberi vonis.
“Harusnya dia begitu.”
“Kalau aku jadi dia…”
“Makanya jangan…”
Kalimat-kalimat ini sering diucapkan oleh orang yang tidak menjalani hidup tersebut, tidak memikul bebannya, dan tidak merasakan risikonya. Namun, dengan keyakinan penuh, mereka merasa pendapatnya layak disebarkan.
Ironisnya, semakin sedikit informasi yang dimiliki, semakin tinggi kepercayaan diri untuk berbicara.
Ikut Campur: Tahap Eksekusi Sosial
Tahap paling lanjut dari ngrumpi adalah ikut campur. Di titik ini, seseorang tidak hanya membicarakan, tetapi juga merasa berhak mengatur.
Memberi saran yang tidak diminta, mengomentari keputusan pribadi orang lain, bahkan menyebarkan “solusi” ke publik—semua dilakukan atas nama kepedulian.
Padahal, kepedulian sejati biasanya hadir dalam bentuk diam yang bijak atau bantuan yang diminta, bukan komentar massal.
Mengapa Ngrumpi Sulit Dihentikan?
Ada beberapa alasan mengapa ngrumpi begitu awet:
Pertama, ia murah dan mudah. Tidak perlu modal, tidak perlu riset, cukup telinga dan imajinasi.
Kedua, ia menciptakan rasa kebersamaan. Orang merasa terhubung saat berbagi cerita.
Ketiga, ia memberi ilusi keunggulan moral. Dengan membicarakan kekurangan orang lain, kita merasa hidup kita lebih tertata.
Yang jarang disadari, ngrumpi sering menjadi pelarian dari persoalan diri sendiri. Mengurusi hidup orang lain terasa lebih ringan daripada menghadapi kekacauan internal.
Dampak yang Sering Dianggap Angin Lalu
Bagi yang dirasani, dampaknya nyata:
Nama baik tercemar, kepercayaan rusak, tekanan mental meningkat. Banyak orang menjadi menarik diri dari lingkungan bukan karena bersalah, tapi karena lelah menghadapi prasangka.
Bagi yang ngrumpi, dampaknya tidak kalah serius:
Hati menjadi terbiasa menghakimi, empati menipis, dan kecurigaan tumbuh subur. Lingkungan sosial yang dipenuhi gosip pada akhirnya menjadi tempat yang tidak aman bagi siapa pun—termasuk pelakunya sendiri.
Humor Pahit: Semua Pernah Melakukannya
Esai ini tidak ditulis dari menara gading. Hampir semua dari kita pernah ngrumpi, sadar atau tidak. Bedanya hanya pada frekuensi dan kesadaran.
Karena itu, humor dalam membahas ngrumpi seharusnya bukan untuk menertawakan orang lain, melainkan menertawakan diri sendiri. Di situlah refleksi bekerja.
Menuju Budaya Obrolan yang Lebih Sehat
Menghapus ngrumpi sepenuhnya mungkin mustahil. Tapi mengelolanya sangat mungkin.
Mulai dengan pertanyaan sederhana sebelum berbicara:
“Untuk apa ini aku sampaikan?”
“Apakah ini perlu?”
“Bagaimana jika ini tentang diriku?”
Belajar mengganti topik dari orang ke gagasan, dari gosip ke pengalaman, dari asumsi ke empati. Diam pun bisa menjadi pilihan
Dari Ngrumpi ke Ngerti
Masyarakat kita hangat, ramah, dan suka berkumpul. Itu kekuatan sosial yang luar biasa. Namun, kehangatan akan berubah menjadi api jika tidak dijaga.
Mungkin sudah waktunya kita naik kelas:
Dari ngrumpi ke ngobrol bermakna.
Dari kepo berlebihan ke peduli secukupnya.
Dari mengurusi hidup orang lain ke merawat hidup sendiri.
Sebab, sering kali yang paling kita butuhkan bukan informasi baru tentang orang lain, melainkan kesadaran lama tentang diri sendiri.
Dan siapa tahu, dengan sedikit menahan lidah dan jempol, hidup kita justru menjadi lebih ringan—dan lingkungan sosial kita menjadi tempat yang lebih manusiawi.
Pilihan





