Set-Seset Maloko’: Filosofi Ibu dalam Nyanyian Lisan Madura
Set-Seset Maloko’ adalah tembang lisan sederhana dari Madura yang kerap dinyanyikan seorang ibu saat mengasuh anaknya. Di balik bait-baitnya yang pendek, tersimpan nilai filosofis mendalam tentang kasih sayang, pemenuhan kebutuhan hidup, serta penghormatan luar biasa terhadap sosok ibu dalam kultur Madura yang religius.
Oleh Lilik Rosida Irmawati
Set-Seset Maloko’
Set-seset maloko’
Iya tompe, iya bu’bu’
Tompena bagi ka mama’na
Bu’ bu’na bagi ka embu’na
Terjemahan:
Capung-capung kecil
Ini kulit jagung, ini dedak jagung
Kulit jagung untuk sang bapak
Dedak jagung untuk sang ibu
Seset, atau capung, adalah sejenis serangga yang banyak dijumpai pada masa peralihan musim hujan menuju musim kemarau. Pada waktu inilah capung-capung mulai beterbangan, mengepakkan sayapnya dengan lincah, seakan menandai perubahan alam dan siklus kehidupan. Fenomena alam tersebut kemudian diabadikan dalam bentuk nyanyian lisan yang sangat sederhana, namun sarat makna.
Nyanyian Set-Seset Maloko’ biasanya dilantunkan oleh seorang ibu sambil menggendong atau menyuapi anaknya. Ia dinyanyikan dengan nada lembut, berulang-ulang, sebagai pengantar makan atau penenang anak. Meski hanya terdiri atas empat bait pendek, tembang ini bukan sekadar pengisi suasana, melainkan media pewarisan nilai, kasih sayang, dan pandangan hidup masyarakat Madura.
Secara umum, bait-bait dalam Set-Seset Maloko’ menggambarkan pembagian, ketertiban, dan kebaikan. Ada sesuatu yang dibagi, ada yang diperuntukkan, dan ada keteraturan peran di dalamnya. Namun, jika dicermati lebih dalam, makna filosofis yang paling kuat justru terletak pada baris ketiga dan keempat: “Tompena bagi ka mama’na, bu’bu’na bagi ka embu’na.” Di sinilah penekanan nilai budaya Madura tampak sangat jelas, terutama dalam memuliakan sosok ibu.
Dalam ajaran Islam, yang menjadi fondasi kuat budaya Madura, penghormatan terhadap ibu menempati posisi utama. Ketika seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW tentang siapa yang paling berhak dihormati, Rasulullah menjawab “ibumu” hingga tiga kali, barulah pada pertanyaan keempat beliau menjawab “ayahmu”. Sabda ini tidak hanya menjadi ajaran teologis, tetapi telah menyatu menjadi nilai hidup dan kultur masyarakat Madura. Ruh ajaran inilah yang tercermin secara halus namun tegas dalam syair Set-Seset Maloko’.
Baris keempat, “bu’bu’na bagi ka embu’na”, mengandung makna yang sangat dalam. Bu’bu’ atau dedak jagung merupakan bagian jagung yang paling halus dan bernilai gizi tinggi. Ia mudah dicerna, kaya nutrisi, dan sangat bermanfaat bagi kesehatan. Dalam konteks kehidupan masyarakat Madura masa lalu, dedak jagung bukanlah limbah, melainkan sumber pangan penting, terutama ketika jagung menjadi makanan pokok.
Mengapa dedak jagung diberikan kepada ibu, bukan kepada bapak? Pertanyaan ini membawa kita pada pemahaman tentang peran biologis dan sosial ibu. Ibu adalah pendonor pertama kehidupan. Dari rahimnya anak dikandung, dari tubuhnya pula anak memperoleh asupan nutrisi melalui air susu. Oleh karena itu, kebutuhan gizi ibu menjadi prioritas utama. Memberikan makanan terbaik kepada ibu berarti memastikan keberlangsungan hidup dan tumbuh kembang generasi berikutnya.
Sebaliknya, tompe atau kulit luar jagung yang lebih kasar diberikan kepada bapak. Ini bukan bentuk merendahkan peran ayah, melainkan gambaran pembagian peran yang proporsional sesuai kebutuhan. Ayah digambarkan sebagai sosok yang kuat, pekerja keras, dan mampu menerima bagian yang lebih kasar, sementara ibu ditempatkan sebagai pusat kehidupan yang harus dijaga dan dipenuhi kebutuhannya dengan sebaik-baiknya.
Pemilihan jagung sebagai simbol makanan juga sangat kontekstual. Pada masa ketika syair ini tumbuh dan diwariskan, jagung adalah makanan pokok masyarakat Madura. Beras belum menjadi konsumsi utama seperti sekarang. Dengan demikian, Set-Seset Maloko’ tidak hanya merefleksikan nilai filosofis, tetapi juga realitas sosial-ekonomi masyarakatnya.
Pada akhirnya, Set-Seset Maloko’ adalah cermin kearifan lokal Madura yang religius dan humanis. Ia mengajarkan tentang penghormatan, keadilan dalam peran, serta kemuliaan ibu sebagai pusat kehidupan keluarga. Melalui nyanyian sederhana yang dinyanyikan dari mulut ke mulut, nilai-nilai luhur itu diwariskan lintas generasi, menjadikan tembang ini bukan sekadar lagu anak, melainkan pusaka budaya yang penuh makna.
Pilihan





