Di Balik Seragam Resmi
https://www.rumahliterasi.org/2025/07/di-balik-seragam-resmi.html?m=0
Cerpen Audi
Siang itu terik menyengat kulit. Irfan mengendarai sepeda motornya perlahan di jalanan ibu kota yang ramai, sementara Lila, istrinya, duduk manis di boncengan. Mereka baru saja pulang dari rumah orang tua Lila, menikmati akhir pekan dengan keluarga kecil mereka. Semua berjalan biasa saja, hingga suara klakson nyaring dari belakang membuat Irfan menoleh.
Sebuah motor gede berwarna hitam dengan logo dinas kepolisian terpasang di sisi tangki menghampiri. Dua polisi lalu lintas berseragam lengkap memberi isyarat agar Irfan menepi.
Dengan raut bingung, Irfan menepikan motor. Hatinya bertanya-tanya—apa yang salah? Helm terpasang, lampu menyala, SIM dan STNK lengkap. Tak ada pelanggaran, seingatnya.
“Selamat siang, Pak. Bisa kami lihat surat-suratnya?” tanya salah satu polisi, berkacamata hitam dengan nada datar.
Irfan menyerahkan SIM dan STNK tanpa ragu. Polisi itu memeriksanya sebentar, lalu saling pandang dengan rekannya.
“Ini motornya kayaknya nggak sesuai dengan data pajak terakhir, Pak. Bisa jadi ini motor bodong,” ucap polisi kedua dengan nada mencurigakan.
Irfan kaget. “Pak, mohon maaf. Ini motor saya beli resmi, pajaknya juga baru saya bayar bulan lalu. Bisa dicek di sistem, pasti sesuai.”
Polisi pertama menghela napas panjang lalu melirik ke arah Lila, “Begini, Pak. Kalau Bapak ngotot, kita bisa bawa ke kantor dulu. Tapi… ya, itu perlu waktu. Kalau Bapak mau cepat, bisa selesai di tempat.”
Lila mulai gelisah. “Selesai di tempat maksudnya, Pak?”
“Kami butuh Bapak kerja sama. Ya… cukup Rp500 ribu. Anggap saja untuk menghindari ribet,” ucapnya tanpa rasa bersalah.
Irfan menatap mereka tak percaya. “Jadi ini semua cuma modus? Kalian nyari uang di jalan pakai seragam resmi? Pakai motor dinas pula?”
Polisi kedua langsung membentak. “Eh, jangan sok besar kepala! Bisa kita tilang langsung nih, kalau perlu motor lo disita sekalian!”
Amarah Irfan meledak. Ia maju satu langkah, berdiri tegap. “Silakan tilang saya, Pak. Tapi saya minta semua prosedur dilakukan sesuai aturan. Saya akan rekam ini, dan saya pastikan lapor ke Propam!”
Seketika itu juga, wajah kedua polisi berubah. Mereka mundur sedikit, terlihat gugup.
“Wah, Bapak galak juga ya… Ya udah, ya udah, anggap tadi nggak ada,” kata polisi pertama sambil berbalik ke motor mereka.
Mereka pergi tergesa-gesa tanpa pamit, suara mesin motor gede menggelegar di jalan. Irfan masih berdiri di pinggir jalan, napasnya memburu karena kesal. Lila menggenggam tangannya.
“Untung kamu berani, Mas. Kalau orang lain yang nggak ngerti aturan, bisa-bisa nurut aja.”
Irfan mengangguk. “Seragam itu seharusnya melindungi rakyat, bukan menakut-nakuti. Besok aku laporkan ini. Biar jadi pelajaran buat mereka.”
Hari itu, Irfan bukan hanya pulang membawa pengalaman buruk, tapi juga tekad untuk melawan ketidakadilan, sekecil apa pun bentuknya. Karena diam berarti membiarkan ketidakbenaran menang.
Pilihan