Ijazah, Ilmu, dan Kopi Pahit
https://www.rumahliterasi.org/2025/07/ijazah-ilmu-dan-kopi-pahit.html
Di bawah pohon trembesi tua di ujung kampung Sumberjebrot, tempat warga biasa ngopi sambil ngobrol ngalor-ngidul, berkumpullah empat orang yang tak pernah sepakat soal apa pun, tapi juga tak pernah berpisah lebih dari dua hari.
Ada Dulgani, sarjana filsafat jebolan universitas yang dulu sempat terkenal karena demo, sekarang lebih sering terlihat membaca Nietzsche sambil nyeruput kopi. Ada Mat Hasan, alumni pondok pesantren Salafiyah yang selalu berbicara dengan nada tenang tapi menusuk. Lalu Rijal, pemuda kampung yang lugu, jujur, dan sejujur-jujurnya, kadang sampai kebablasan. Dan tentu saja, Dur Rahem—manusia yang menganggap semua masalah itu bahan ketawa, termasuk kalau rumahnya roboh.
Hari itu, berita tentang pejabat kabupaten yang ijazahnya ternyata dari “Universitas Suka-Suka” sedang viral. Masyarakat gaduh, tapi para tokoh kampung malah asyik ngopi.
"Aku heran, Gan," ujar Mat Hasan sambil melipat sarungnya, "Kenapa ijazah palsu kok kayaknya lebih laku dari ijazah asli sekarang?"
Dulgani meletakkan bukunya. “Itu karena masyarakat sudah tidak lagi memandang ilmu sebagai proses, tapi sebagai simbol status. Jean Baudrillard menyebutnya hiperrealitas di mana simulasi lebih penting dari kenyataan."
"Eh, jangan bawa-bawa Jean siapa tadi. Wong aku ini nggarap sawah, Gan, bukan seminar," potong Rijal polos.
"Tenang, Jal," timpal Dur Rahem sambil ngakak, "Aku tak percaya ijazah palsu itu salah. Wong yang asli aja banyak yang gak bisa ngapa-ngapain. Temanku lulusan S2, tapi narik becak. Lha wong yang palsu malah jadi kepala dinas!"
"Hus! Itu bukan lucu, Rahem. Itu namanya krisis moral!" seru Mat Hasan.
"Krisis moral opo, San? Wong masyarakat juga seneng yang instan. Lha lihat wae, mie instan, kopi instan, jodoh instan lha kenapa ijazah gak boleh instan?" balas Dur Rahem sambil cengengesan.
Dulgani menyesap kopinya, menatap ke kejauhan. “Ini bukan sekadar soal ijazah. Ini adalah representasi dari runtuhnya sistem meritokrasi dalam masyarakat feodal-modern. Kita sedang hidup di antara residu budaya feodalisme dan bayang-bayang kapitalisme, terjerat dalam absurditas modernitas."
"Gan, ngomong opo toh kowe?" tanya Rijal bingung. “Aku ngerti kowe pinter, tapi kalo ngomong kayak gitu terus, ya gak ada yang paham!”
"Sudahlah," kata Mat Hasan sambil menghela napas. “Intinya, kita ini sudah rusak. Orang pinter kalah sama orang pura-pura pinter. Yang penting punya stempel, tanda tangan, dan sambungan.”
"Kayak mie instan tadi, ya?" sahut Rijal cepat.
"Persis!" jawab Dur Rahem. "Tinggal seduh, kasih sambal, jadi! Bahkan calon kepala desa pun sekarang tinggal ‘diseduh’. Tinggal kirim dokumen, tunggu jadi. Lha kita ini, dari kecil ngaji, sekolah, kerja, ujung-ujungnya tetep ngopi di sini!"
Mereka tertawa. Bukan karena bahagia, tapi karena sudah terlalu sering kecewa. Kadang, di Tapal Kuda ini, satu-satunya hal yang nyata hanyalah pahitnya kopi dan tawa yang sarkastik.
Tiba-tiba Rijal berseru, “Eh, aku punya ide! Gimana kalau kita semua bikin ijazah palsu? Tak tulis ‘Lulusan Kehidupan’!”
“Bagus!” sahut Dur Rahem. “Nanti aku jadi Rektor, kamu jadi Dekan. Kita buka kampus: Universitas Sumberjebrot Raya. Moto: ‘Ilmu bisa dicetak, akhlak nanti dipikir belakangan’!”
Dulgani menghela napas panjang. “Kalian ini, memang tak pernah serius...”
Mat Hasan tersenyum simpul. “Kadang yang tak serius justru paling jujur.”
Dan mereka pun kembali menyesap kopi, diiringi suara angin yang seolah ikut mengejek: ijazah bisa dipalsu, tapi kebodohan itu asli.
Lab. Sekolah, 10/07/25
Diangkat dari akun FB Budiamin Budiamin
Pilihan