LK.Ara, Maestro Seni Sastra Gayo 'Suara Dari Anak Gunung'
![]() |
LK Ara, (kanan) bersama Syaf Anton Wr, saat acara Penerima Bantuan Pemerintah (Banpem) Bidang Kebahasaan dan Kesastraan tahun 2024, |
Buku antologi puisi LK.Ara berjudul "Didong dan Tari Guel dari Gayo Aceh" bukan merupakan referensi akademis, tetapi buku sastra ini adalah filosofis yang ditulis dalam bentuk puisi.
"Seperti sudah saya katakan diawal pembukaan diskusi tadi kenapa para ulama-ulama dulu ternyata juga menulis ungkapan hatinya melalui karya pusi.Rupanya ini rahasianya karena bahasa tertinggi ada dalam bentuk karya puisi," ujar moderator Fikar W.Eda (Jurnalis dan Penyair ) bersama nara sumber Prof.Dr.Wildan, M.Pd (Rektor ISBI Aceh), dan Miko Pegayon (Praktisi Didong Jakarta) dengan MC Swary Utami Dewi.
Hal tersebut dikatakannya ketika menutup acara peluncuran dan diskusi antologi puisi ke-15 "Didong dan Tari Guel dari Gayo Aceh" karya LK.Ara, dengan tema LK.Ara, Maestro Seni Sastra Gayo "Suara Dari Anak Gunung" di Aula Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB.Jassin, Lantai 4 Gedung Panjang Ali Sadikin, di Pusat Kesenian Jakarta (PKJ) Taman Ismail Marzuki (TIM) di Jakarta, Kamis sore (24/7/2025).
"Seperti yang juga telah dikatakan Prof.Wildan tadi bahwa semua kalimat dalam puisi-puisi di buku ini penuh dengan metafor-metafor yang bisa kita nikmati dari hati ke hati," kata Fikar W Eda seraya menambahkan buku ini hanya dicetak terbatas (50 ekslempaar), mudah-mudahan ke depan terus berkembang dan bertambah.
Sedangkan Moctavianus Masheka-Bung Octa- Ketua Taman Inspirasi Sastra Indonesia (TISI) selaku penyelenggara acara tersebut mengatakan LK.Ara adalah penyair tiga zaman (Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi).
Penyair dari tanah Gayo ini sudah lama bermukim di Jakarta, namun pada hari tuanya kembali ke kampung halaman tanah Gayo Aceh.
LK.Ara layak dianggap sebagai Maestro Seni Sastra Gayo, dalam usia 88 tahun tetap produktif menulis.
"Dari diskusi tersebut kelihatan bahwa substansi atau 'roh' atau filosofi Gayo ada dalam karya puisi LK.Ara.Mempelajari puisi-puisinya adalah mempelajari metafor-metafor dari tanah Gayo.Ini sangat menarik," kata Bung Octa yang juga adalah seorang Penyair dan Sastrawan .
Ditambahkannnya, bahwa TISI adalah "rumah" bagi para sastrawan- khususnya dari.luar daerah- untuk mempromosikan karya-karyanya dalam acara peluncuran dan diskusi buku sastra tersebut .
"TiSI sudah pernah menyenggarakan peluncuran dan diskusi buku antologi puisi karya Syarifuddin Arifin Penyair dari Padang Sumatera Barat, Ewith Bahar Penyair dari Kota Jakarta, Endut Ahadiat Penyair dari Padang Sumatera Barat, dan yang keempat ini TISi menyenggarakan diskusi dan peluncuran buku antologi puisi karya LK.Ara," kilahnya.
Nara sumber diskusi-mewakili generasi milenial-Miko Pegayon (29 thn) adalah seorang anak muda praktisi Didong di Jakarta.
"Saya bangga dan terharu bisa hadir pada acara yang banyak dihadiri para tokoh seniman besar, budayawan, penyair dan sastrawan nasional.Saya memang bercita-cita kelak satu saat syair dan tarian tradisi Didong dari dataran tinggi gayo bisa masuk dalam kurikulum pendidikan eskul di sekolah-sekolah," pinta Miko yang sehari-harinya buka usaha cafe kopi produk tanah Gayo ini di kawasan Cipayung TMII, Jakarta Timur.
Nyalakan Api Nyaris Padam
Dalam kata sambutan peluncuran buku "Didong dan Tari Guel dari Gayo Aceh" setebal 396 halaman dengan penerbit Yayasan Mata Air Jernih , cetakan pertama Juli 2025, sang penulis LK.Ara mengatakan bahwa buku ini ditulisnya bukan hanya untuk.mengenang, tetapi untuk menyalakan kembali api yang nyaris padam.
"Di dalamnya, pembaca akan menjumpai sejarah, tafsir budaya, dan potret para maestro yang telah membaktikan hidupnya untuk menjaga suara dan gerak dari tanah tinggi Gayo," katanya.
Istimewanya buku ini juga hadir sebagai bagian dari perjalanan para maestro Didong dan Tari Guel yang tampil di panggung nasional.pada acara Pangggung Para Maestro di Museum Nasional Jakarta pada tanggal 11-12 Juli 2025.
"Sebuah momentum langka ketika suara kampung Gayo menggema di jantung ibukota menjadi saksi bahwa tradisi bukanlah beban, melainkan kemuliaan.Saya mempersembahkan buku ini untuk anak-anak.muda yang bertanya tentang akar, untuk para penari dan penyair yang ingin menyelusuri jejak , serta untuk siapa saja yang percaya bahwa seni tradisi bukan warisan uang, melainkan kompas untuk pulang.Semoga buku ini menjadi pengantar yang jernih untuk memahami bahwa kebudayaan bukan hanya apa yang kita warisi, tetapi apa yang kita pertahankan, dan terus hidupkan," ujarnya.
LK.Ara lahir di Takengon Aceh 12 November 1937.Pernah menjadi Redaktur Budaya Harian Mimbar Umum (Medan), Pegawai Sekretariat Negara, dan terakhir bekerja di Balai Pustaka hingga pensiun (1963-1985).Ia memperkenalkan penyair tradisional Gayo To'et, mentas di kota-kota besar di Indonesia.Pada tahun 2019, LK.Ara yang karyanya telah ditrrbitkan dalam 63 buku-pada tahun 1969 menerbitkan buku antologi puisi yang pertama-pada tahun 2019 ia memperoleh Anugerah Kebudayaan Maestro Seni Tradisi Didong Gayo dari pemerintah RI.
Prof.Dr.Wildan, M.Pd (Rektor ISBI Aceh) pada kesempatan tersebut mengatakan bahwa LK.Ara telah menjahit kembali serpihan-serpihan sejarah, makna, dan nilai , menjadi satu karya utuh yang akan berguna bagi generasi muda , para seniman, dan akademisi.
Lebih dari itu buku ini adalah bentuk perlawanan terhadap.pelupaan.
"Seni tradisi tidak hidup di balik.museum atau panggung besar, melainkan diantara nafas manusia yang masih setia menyebut nama leluhurnya," ujarnya.
Dikatakannya lagi buku LK Ara ini-seorang penyair, budayawan dan putera Gayo yang telah mendedikasikan hidupnya untuk menjaga nyala tradisi dari padam-bukan hanya dokumentasi, tetapi nafas panjang dari satu peradaban seni yang telah lama berdiri tegak di dataran tinggi.
"Di dalamnya kita temukan cinta pada kampung halaman, pada syair tua yang berdenyut di tubuh Didong, dan pada lenggang sakral Tari Guel yang melambangkan kemuliaan.Sebagai Rektor Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh, saya menilai buku ini sangat penting sebagai bahan ajar, rujukan ilmiah, maupun sebagai ruang apresiasi budaya," pungkasnya.
Endo Suanda, Etnomusikolog menyatakan rasa sangat terhormat bisa memberikan kata sambutan pada buku karya LK.Ara,Penyair dan Budayawan sepuh tetapi semangat dan produktivitasnya tak pernah surut.
"Buku ini adalah dokumentasi peristiwa dan literasi penting dari perjalanan seni pertunjukan Nusantara Didong dan Tari Guel, sebagai dua ekspresi seni khas masyarakat Gayo adalah mahkota tradisi yang tidak hanya memukau dan menghibur dalam tampilan, tetapi juga menyimpan filsafat, nilai kolektif serta kearifan lokal yang kaya, yang tersurat, tersirat maupun tersembunyi, menjadi denyut hidup masyarakat Gayo " katanya.
Penerbitan buku ini bukan semata pelestarian masa lalu, tetapi juga pewarisan demi menerus ke depan.
"Ia adalah jembatan bagi generasi muda agar mengenal akar, merasakan energi luhur, demi perkembangan seni pertunjukan kini dan esok.Dengan terbitnya buku ini yang ditulis dengan ungkapan-ungkapan puitis selembut sutra dan setajam samurai, semoga lebih terbuka ruang luas bagi kreativitas panggung seni dan kajian akademil, hingga meningkat pula pengetahuan dan pengakuan dunia terhadap keunikan budaya Gayo," ucap Endo Suanda.
Pembacaan Puisi LK.Ara
Acara juga diselingi dengan pembacaan puisi dari buku "Didong dan Tari Guel dari Gayo, Aceh" karya LK.Ara antara lain menghadirkan Ketua Komite Panitia Pelaksana Provinsi Aceh Leuser Antara (KP3ALA) Prof Rahmat Salam yang tampil membacakan puisi bertajuk "ALA: Suara Yang Tak Boleh Padam".
Rahmat Salam mengaku menerima kiriman puisi itu dari LK Ara melalui WhatsApp sesaat setelah menunaikan tahajud.
"Saya baca berulang-ulang, saya menangis membaca puisi ini," cerita Rahmat Salam.
Kemudian pembacaan puisi oleh entomusikolog Endo Suanda, Moctavianus Masheka, Swary Utami Dewi, Jose Rizal Manua, Putra Gara dan masih banyak lagi.
"Tahun 1972 saya sudah kenal dengan LK.Ara.Beliau sangat aktif, dan merupakan salah satu tokoh yang memperkenalkan karya sastra di Jakarta kepada anak-anak.muda.LK Ara juga pertama kali menyelenggarakan Fastival Didong .mulai tahun 1970-an dan dilanjutkan pada tahun 1980-an di Taman Ismail Marzuki yang banyak dihadiri selain penonton masyarakat Aceh dan juga masyarakat umum lainnya " ujar Jose Rizal Manua yang kali ini membacakan karya puisi LK.Ara berjudul "Tanpa Judul".
Acara juga dihadiri sejumlah seniman ,penyair, sastrawan, dan budayawan antara lain Nanang R Supriyatin, Pulo Lasman Simanjuntak, Putra Gara, Giyanto Subagio, Wig SM, dan Nuyang Jaimee.(***)
Kontributor : Lasman Simanjuntak
Diangkat dari akun FB Lasman Simanjutak
Pilihan