Pentigraf Tahu Bulat HM, Heru Marwata
Pentigrafis Heru Marwata
Ketika Diam-Diam Mengagumimu
Pentigraf Tahu Bulat HM
Ketika diam-diam mengagumimu, ternyata aku selalu dilanda cemburu. Semakin aku ikuti aktivitas media sosialmu, semakin membakarlah gejolak rasa yang menyesak dada. Nalarku telah mengikuti nurul, dan pikiranku tak dapat lagi mengikuti jalur. Semua yang berkait denganmu aku anggap bukan sekutu, dan pada akhirnya pasti menjadi bagian yang harus aku singkirtiadakan. Ibarat mentari di langit, tak boleh ada lebih dari satu lembar awan selain yang aku tebarkan.
Galau, cemas, khawatir, takut, dan aku makin merasa tak dapat memilikimu selain menjadi pencinta rahasia. Diam-diam mengagumimu adalah tali kuat yang menyiksa dengan ikatan dan jeratnya. Mungkinkah aku akan dapat membuka sendiri simpul-simpul yang sengaja aku pasang di sepanjang alur pengejaran tersembunyiku?
Tak ada angin tak ada hujan, bahkan gerimis bulan Juli yang romantis pun masih mengambang di angkasa, tapi tiba-tiba kudengar sang surya membaca berita. Di bentang semesta tertulis dengan halilintar dan irama guntur, satu pernyataan singkat bahwa ternyata engkau pun merasakan hal serupa: seperti yang selama ini selalu kusimpan dalam hati. Tangan saling melambai, langkah kaki saling mendekat, bibir saling menyungging senyum, jantung menderakdetakkan selaras nada, dan kita berlari saling menuju, saling berebut peluk dan kecupan panjang tanpa kesudahan. “Oh, mimpi ini begitu nyata, tapi kenapa tidak pernah bisa terwujud?” suara tanpa rupa menggetar di udara dan membangunkan segenap asaku yang luruh: tentangmu.
02072024
Toleran Pada Sejatinya Toleransi (I)
Suatu saat saya mendapatkan tugas mencari dua tandan pisang raja untuk tarup ketika Pakdhe saya mantu. Setelah bertanya ke Mbah Suhar, pakar segala pakar dan sumber info segala info, saya menuju sebuah desa di lereng Merapi. Bermodalkan ancer-ancer lokasi tanpa GPS atau Waze, dengan mudah saya menemukan TKP. Masuk kampung dan cukup bertanya sekali sudah sampai rumah yang ditunjukkan Mbah Suhar. Ternyata rumah itu kosong. Saya edarkan pandangan ke kebun. Benar kata Mbah Suhar, kebun pisang mengitari rumah. Saya pun melihat-lihat kebun.
"Madosi Bu S napa, Pak?" saya dengar suara tanya seorang perempuan berkerudung dari balik rumpun pisang. "Njih, Bu," jawab saya. "Oh, tiyange nembe medal. Sekedhap kula padoske," katanya sambil berlalu setelah saya beri tahu bahwa saya mencari dua tandan pisang raja untuk hajatan. Setengah jaman kemudian muncul Bu S menurut ilustrasi Mbah Suhar, yang paling saya ingat adalah berkalung salip kecil. Singkat cerita kami ngobrol dan kesimpulannya Bu S tidak punya pisang raja yang siap pakai. Namun, Bu S meminta waktu sejaman untuk mencarikan.
Sejaman lebih sedikit datang Bu S bersama dua pemuda yang masing-masing membawa setandan pisang raja ukuran besar. Keren. Sekali melihat saja saya langsung yakin bahwa itu dan seperti itulah pisang yang saya cari. Bu S bilang kalau dua pemuda itu anak dan tetangga si ibu berkerudung, dan dua tandan pisang itu yang satu dari kebun si ibu berkerudung, satunya dari kebun tetangganya. Setelah harga disepakati, saya pun membayarnya dan pamit pulang membawa dua tandan pisang raja.
=Tamat=
Catatan:
*) Di mana cerita toleransinya dan toleransi dalam hal apa?
**) Inilah jawabannya.
Dua minggu setelah acara perhelatan, saya sengaja mengunjungi kampung pisang itu sambil jalan-jalan. Lalu saya mencari rumah ibu berkerudung dengan bertanya ke penduduk bermodalkan ciri-cirinya plus ilustrasi tentang anak lelakinya. Sampailah saya ke tujuan. Ibu berkerudung agak kaget dan menemui saya bersama suami serta anak lelakinya. Dengan penasaran saya bertanya kenapa ibu berkerudung yang ternyata bernama P itu tidak langsung menawarkan pisang di kebunnya ketika tahu saya mencari pisang dan Bu S juga tidak sedang di rumah, serta kenapa justru dia yang mencari Bu S yang sedang berkunjung ke rumah ibunya. Terjawablah kemudian semua pertanyaan.
Ternyata sejak dulu Bu S dikenal sebagai penyedia pisang raja untuk hajatan, pisang yang kualitasnya selalu unggul. Dia mencari bibit pisang yang bagus dari luar daerah dan kemudian membudidayakan di kebunnya. Setelah itu, Bu S mengajak ibu-ibu di kampung itu untuk ikut berbisnis kecil-kecilan dengan budidaya pisang raja. Akhirnya, kampung itu dikenal sebagai kampung pisang raja. Mbah Suhar, tetangga saya, pengurus masjid kampung, adalah salah seorang pelanggan tetap kampung pisang. Banyak orang punya hajat yang meminta bantuan Mbah Suhar untuk menyediakan pisang raja khusus untuk perlengkapan tarupan hajatan pernikahan. Bu S adalah orang yang selalu berbagi pengetahuan dan kesempatan soal pisang. Dia bahkan seperti tahu persis pisang di kebun siapa saja yang pas digunakan untuk waktu tertentu. Dia tidak pernah mengambil semua kesempatan yang datang padanya.
Entah bagaimana caranya, mungkin saja berkat rahmat Tuhan, Bu S selalu seolah bisa menggilir secara merata peluang menjual pisang raja dari kebunnya dan kebun tetangganya. Itu sangat menyenangkan para tetangganya. Bu S juga selalu memberi harga yang pantas pada pembeli, baik bagi pisang dari kebunnya maupun dari kebun-kebun tetangganya. Tak seorang pun tetangganya yang pernah merasa dirugikan, bahkan hampir selalu diuntungkan. Bu S dan keluarganya, juga orang tuanya, adalah keluarga Kristiani. Mereka hidup nyaman di tengah mayoritas penduduk muslim kampung itu. Toleransi di kampung pisang memang layak mendapatkan acungan jempol meskipun skalanya tidak besar dan hanya sebatas terekspresi lewat tandan pisang raja.
=Tamat=
01082024
Gadis Perokok
(Pentigraf Tahu Bulat)
Aku sangat suka melihat wajah gadis itu. Wajahnya hampir setiap hari muncul di beranda FB. Entah kenapa aku kok bisa suka banget pada wajahnya. Bahkan, kalau sehari saja gak muncul di beranda, aku pasti akan penasaran dan mencarinya. Namun, belakangan, kesukaanku pada wajahnya berubah menjadi sebaliknya. Kenapa? Karena beberapa hari terakhir dia selalu memajang foto wajah (yang tetap kusuka) dengan tambahan aksesoris yang sangat kubenci: rokok. Kadang rokok itu “menclok” mesra di bibirnya, dan kadang bermanja-manja di jemarinya. Bikin cemburu saja.
“Busyeeet, ternyata dia perokok,” kataku dalam hati. Aku sangat membenci asap rokok, dan tentu saja juga sumber asapnya, rokok, dan kadang menjalar ke perokoknya, apalagi kalau pelakunya gadis, perempuan, atau wanita. Lama aku perhatirenungkan sambil membayang-bayangkan wajahnya. Hmmm ternyata hatiku tak bisa berbohong: tetap sangat menyukainya. Tentu saja tidak termasuk pada rokoknya.
Suatu saat kami bercakap lewat telepon whatsapp. Ternyata dia tahu kalau aku membenci rokok. Tiba-tiba, di tengah obrolan, dia bertanya, “Gak suka rokok ya, Mas?” Ketika aku mengiyakan, dia melanjutkan, “Jangan khawatir, Mas, aku perokok aktif kok, dan Mas cukup jadi perokok pasif, aman”. Lama aku renungkan kata-kata itu. Setelah buka-buka buku tata bahasa Indonesia, aku baru paham, dan aku pun membayangkan menikmati jadi perokok pasif bersamanya. Ha ha ha ambyar.
20022025
Menipu dan Tertipu Penipu
Amar Tobat tersenyum kecil membaca pesan di ponselnya. Seseorang mengaku dari bank dan meminta kode OTP-nya. Ini bukan pertama kalinya ia menerima pesan semacam itu. Namun, kali ini ia punya ide. Dengan tenang, ia mengetik balasan, berpura-pura panik. “Aduh, saya tidak tahu caranya! Bisa dibantu?” Sontak, orang di seberang langsung merespons dengan instruksi yang tampak meyakinkan.
Setelah beberapa menit, Amar Tobat mengirimkan kode palsu yang sengaja ia karang. Penipu di ujung sana tampak semakin bersemangat, mengira targetnya hampir jatuh ke perangkap. “Sebentar, sistem kami mengalami gangguan. Bisa kirim ulang?” pinta si penipu. Amar Tobat terkekeh. Ia membuka aplikasi pelacak nomor dan menemukan identitas pemiliknya. Dengan cepat, ia menghubungi pihak berwenang dan melaporkan nomor tersebut.
Tak lama kemudian, telepon Amar Tobat berdering lagi. Kali ini suaranya berubah, lebih dingin. “Kamu pikir bisa menipu penipu?” Amar Tobat membeku. Ponselnya tiba-tiba mati, semua rekening digitalnya terblokir, dan notifikasi transaksi besar masuk ke emailnya. Ia baru sadar, bukan dia yang menipu, tapi dia benar-benar tertipu. “Tobat tenan,” bisiknya pelan.
24032025
Menipu Hantu dan Tertipu
Jaka menatap rumah tua di ujung desa dengan senyum jahil. Konon, siapa pun yang masuk takkan pernah keluar lagi. Namun, Jaka bukan orang yang mudah percaya. Dengan senter di tangan, ia melangkah masuk, menantang gelap dan sarang laba-laba yang bergelayut. Lantai kayu berderit, bayangan di dinding seolah bergerak. Lalu, suara lirih terdengar, “Pergi… atau kau akan menyesal …”
Alih-alih ketakutan, Jaka malah tertawa. “Ayo, kalau berani, tunjukkan wujudmu!” tantangnya. Sesaat, angin dingin menyapu tengkuknya, dan dari kegelapan muncullah sesosok makhluk berwajah pucat, matanya kosong. “Aku butuh tumbal,” bisiknya. Jaka berpikir cepat, lalu dengan nada ketakutan yang dibuat-buat, ia berkata, “Jangan aku! Aku cuma utusan. Korban asliku ada di luar, lebih segar!” Hantu itu terdiam, tampak ragu, lalu menghilang menembus dinding, seolah sedang memburu korban yang disebut Jaka.
Jaka tersenyum puas, lalu bergegas keluar sebelum hantu itu sadar telah ditipunya. Namun, tepat ketia ia mencapai pintu, suara dingin berbisik di telinganya, “Ternyata … aku juga bisa menipumu.” Pintu tertutup sendiri, lampu senter Jaka padam, dan kegelapan menelannya bulat-bulat.
24032025
Dari akun FB Heru Marwata