Amplop Kondangan


Cerpen: Junaidi

“Di, bulan depan Hasan punya hajatan. Ia akan menikahkan putrinya dengan tunangannya. Uang Mak tak akan cukup mengembalikan tompangan kondangan nanti,” kata Ramsiyah kepada Adi, anaknya, pada suatu pagi di kebun cabai.

“Biar dipikirkan nanti saja, Mak. Barangkali ada rezeki,” sahut Adi agar pikiran ibunya tidak terbebani.

 Kini Ramsiyah sendiri. Suami yang dicintainya  sudah pergi  dan tak akan pernah kembali. Dua puluh tahun sudah pesta hajatan mereka berlalu. Adi bersama istrinya sudah dikaruniahi tiga orang anak. Bahkan, anak pertamanya sudah kuliah di perguruan tinggi. Namun, amplop kondangan yang diukur dengan harga barang pada saat diberikan dulu belum pupus sampai sekarang. Sedangkan hasil cabai yang dipanennya saat ini merugi, tidak menggembirakan hati.

Perihal Hasan yang akan melaksanakan hajatan di bulan November nanti, sudah menjadi pembicaraan banyak orang di kampung kami. Tanggapan resepsi turut menjadi tema  perbincangan di segala tempat, di warung kopi, kumpul-kumpul di gubuk kebun cabai, kompolan atau arisan RT/RW, atau di tempat-tempat lain ketika mereka berkumpul bersama dalam berbagai obsesi. Mereka ikut bergembira menunggu hajatan tiba, termasuk Ramsiyah saat ini.

“Hasan nanggap apa, Di?” tanya Buhar kepada Adi ketika sedang beristirahat di gubuk kebun cabai. Buhar mau merumput untuk pakan sapinya. Adi memanggilnya, menawarkan kopi sebagai bentuk kerukunan bersama.

“Kerawitan Seni Tayub.” Adi menjawab dengan cepat. Adi mengetahuinya kemarin ketika Hasan mengundangnya untuk mencatat amplop kondangan.

“Sip. Saya suka itu!” responnya.

Buhar memang sangat senang terhadap seni tayub. Arena itu menjadi ajang eksistensi diri sebagai pecinta seni yang berkembang di kampung kami. Buhar tergabung dalam sebuah “Grup Terundang” yang siap datang memenuhi undangan orang yang punya hajatan walaupun tidak kenal.

Pak Adnan tiba-tiba sudah berdiri di samping gubuk. Dia ikut duduk di lencak setelah menurunkan gerunju dari pundaknya. Ia menyusun cerita tentang hajatan Sahir yang mau nanggap elekton, hajatan Surahwi yang sederhana tanpa tanggapan.

“Surahwi takut tak berumur panjang. Katanya, dia tidak mau mewariskan utang kepada anak cucunya. Sedangkan istrinya sudah sakit-sakitan,” jelas Pak Adnan. Buhar hanya mengangguk-angguk seolah menelan kekecewaan. Jangan tanya Buhar ada di arena jika seni tayub tidak menggema pada pesta hajatan tuan rumah.

Matahari kemarau meninggalkan pagi.  Angin berembus lirih, lalu menyelinap pergi melewati celah reranting pohon cabai. Perbincangan diakhiri. Masing-masing beranjak pergi menarik diri, melaksanakan rutinitas sebagai petani. Ramsiyah tetap asik memetiki buah cabai sendiri. Di tengah murahnya harga cabai, batinnya terus menyanyikan kidung hati agar amplop kondangan bisa terpenuhi.

***

Pesta hajatan Hasan dimulai. Tayuban berlangsung ramai. Seorang Gelandang mengatur arena tayub dengan tertib dan menarik. Dengan tembang paparegan, tandak menari bersama penari laki-laki. Gamelan dan tembang terus mengalun. Buhar menyawer tandak di panggung tak turun-turun. Namun, Adi tampak sibuk mencatat amplop-amplop kondangan itu dengan teliti dan konsentrasi. Jangan sampai salah karena salah adalah awal dari masalah yang di kemudian hari akan mendapat marah.

“Di, ada pesan dari makmu. Balin dibayari, dua slop rokok gudang garam surya 12.” Pak Adnan menyampaikan pesan mak Adi. Adi mengangguk, lalu mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan ribu dari dompetnya, menyaur balin dari resepsi pernikannya dengan sang istri.

Utang warisan telah terjadi. Amplop kondangan sebagai tompangan yang harus dikembalikan, telah menjadi tradisi di kampung kami. Siapa yang memulai, tidak ada yang mengetahui.

Kepada Adi, Hasan mengabarkan bahwa tompangan kepada Buhar, tidak kembali.” Adi hanya tersenyum.  Namun, Hasan enggan menagih walaupun catatan kondangan cukup menjadi bukti.

*****

Catatan :

Tompangan : uang yang diberikan oleh terundang kepada orang yang punya hajatan.
kompolan    : kelompok yang mengadakan kegiatan rutin disertai arisan.
lencak          : tempat duduk yang terbuat dari bambu, kayu, dan lain-lain.
gerunju       : tempat rumput yang terbuat dari anyaman daun kelapa.
Balin           : uang kembali sebagai saur utang dari orang yang telah melaksanakan hajatan.

*****

Lahir di Sumenep pada bulan Juni, senang membaca dan menulis. Karya cerpen yang telah terbit dalam antologi bersama: “Bapak, Aku Gak Punya Kuota dalam Goresan Pena Guru Bahasa Kala Pandemi Corona (Omera Pustaka, 2020), “Emak dalam Surat untuk Ibu” (Kalana Publising, 2020), “Senja di Pantai Cemara dalam Di Celah Senja” (Kalana Publising, 2020), dan “Menyesal dalam Secret Box” (Kalana Publising, 2020).

Pilihan

Tulisan terkait

Utama 722518858045192202

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Daftar Isi

Loading....

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >

Pesan Buku

Pesan Buku

 Serpihan Puisi “Sampai Ambang Senja” merupakan buku kumpulan puisi Lilik Rosida Irmawati, penerbit Rumah Literasi Sumenep (2024).  Buku ini berjumlah 96 halaman, dengan pengantar Hidayat Raharja serta dilengkapi testimoni sejumlah penyair Indonesia.  Yang berminat, silakan kontak HP/WA 087805533567, 087860250200, dengan harga cuma Rp. 50.000,- , tentu bila kirim via paket selain ongkir.

Relaksasi


 

Jadwal Sholat

item
close