Sajak-sajak Duka En Hidayat
Nurul Hidayat, juga dikenal dengan nama En Hidayat, atau Oyong, adalah sosok berpenampilan kalem, sederhana dan rendah hati. Ia lahir di Sumenep tanggal 17 Juni 1972. Ia banyak menulis puisi meski tidak mau disebut sebagai penyair, selain itu juga menulis cerpen, dan artikel. Tulisannya banyak publikasikan di sejumlah media cetak dan online, seperti koran Radar Madura, tabloit Konkonan, Majalah MPA dan media lainnya. Buku puisinya terbit dalam antologi puisi bersama seperti “Mardika” (1996), “Gerimis Altar” (1997), “Nyelbi’ E Temor Kara” (1997), “Kampung Indonesia Pasca Kerusuhan” (2000). Selain itu juga menulis dengan bahasa daerah (Madura).
Dalam organisasi ia pernah aktif di Forum Bias, Forum Ziarah Fikir, Forum Indonesia Pinggiran, Teater Hastasa IAIN Sunan Ampel dan lain-lain. Dalam kelembagaan Nahdlatul Ulama (NU), ia sebagai Pengurus Lesbumi NU (dulu LSB) (1993-1998), Wakil Bendahara (2000-2005), Bendahara Umum (2005-2010), wakil Ketua, dengan tugas membidangi pembina Lesbumi dan LTN (Lembaga Ta’lif Wan Nasyr) Cabang Sumenep. Sebagai guru ASN (PNS) ia pernah mengajar di SMPN Talango kemudian menjabat sebagai pengawas SMP di Sumenep. En Hidayat wafat pada hari Senin, 26 Agustus 2019.
*****
Suratku Buat Pembaca
Saudara-saudara, ini bukan puisi
Karena aku bukan penyair
Tapi serasa ada sesuatu yang
menggelegak dalam jiwaku
Yang harus ku tulis
Agar diriku tak gundah
Saudara-saudara, ini bukan sajak
Karena aku bukan sastrawan
Tapi ini sekedar ungkapan emosiku
Yang meledak-ledak dalam jiwaku
Agar diriku tak resah
Saudara-saudara
Kalau tulisanku jelek, jangan dikritik
Karena aku tak tahan kritikan
Saudara-saudara
Kalau tulisanku tak bemutu, jangan diejek
Karena aku tak tahan ejekan
Terimalah tulisanku apa adanya
Aku tak bemaksud apa-apa
Kecuali ingin mengungkapkan
perasaanku
Kepada anda semua
Surabaya, 1991
Akankah Aku Seperti
Sehelai daun ditiup angin
Melayang. Lalu jatuh ke bumi
Sia-sia.
Surabaya, 1991
Ekedar Ungkapan Cinta
(Buat: yang dipanggil ‘Adik’)
Entah. Aku sendiri tak mengerti
Mengapa tiba-tiba harus menulis ini
Tanpa angin, tanpa suara
Tiba-tiba lelakiku bangkit-tersentak
dari keangkuhan selaksa pustaka
Ketika rembulan menantang matahari
‘tuk merengkuhnya
Lalu tesipu dan tertunduk malu
Dan ku tulis sebuah rindu:
‘Aku cinta kamu’
Surabaya, November 1991
Doa
Sederhana saja
Aku ingin memeluk dunia
Lalu mati dalam pelukanMu
Amin……
Surabaya, Januari 1992
Kembara Hakekat
Kemana semua pergi
tak berarti lagi
Taburan bayangan yang tertinggal
biarlah
Larut bersama perjalanan
ke segala semesta sukma.
Tersujud aku
Ketika bertemu Yang Punya Segala
Surabaya, Pebruari 1992
Entang Kita (Ii)
Buat: R
Bendera kebebasan yang dikibarkan
dalam hati warnanya darah menyala sebagai
burung-burung yang lintasi benua demi benua
atau sebagai udara yang
langlang buana …………
Mari, satukanlah benderaku dan
benderamu
Maka kita adalah dewa-dewi yang
Tersenyum dengan cinta
Karena bendera kita adalah
Kebebasan udara batas langit
Surabaya, Menjelang Lebaan 1992
Kepada Hati Nurani
Kepada kebebasan: kukepalkan jemariku
Kepada kemerdekaan: kuacungkan tanganku
Dan aku ‘kan teriak dengan lantang:
Inilah jiwaku, kuda perang yang sembrani
Langkahku tak lagi satu-satu, maka siapa
lagikah yang hendak menghadang
Sedang setan dan iblis keder lihat
sekujur tubuhku yang mendarah
Karena kata hatiku adalah
Ya, ya, ya untuk ya!
Dan tidak, tidak, tidak untuk tidak!!!
Sumenep, April 1992
Bagi Kebebasan
Tangan ‘kan terkepal hati tlah merah
Maka darah adalah deru gelombang
Yang menggunung dan langkah adalah derap
kuda perang yaang sembrani
Siapa lagikah yang hendak menghadang?
Sedang setan dan iblis keder karna arus
Maha dahsyat darah merah suci merah
suci merah suci …
Surabaya, April 1992
Sekuntum Mawar Merah
(Buat: M)
Sekuntum mawar merah
hatinya menangis
Ia tekurung dalam bingkai bara api
Bapaknya harimau kakaknya srigala
Ibunya batu
Maka pada harapan manakah ia menatap
Sekuntum mawar merah
hatinya luka
Pada tubuhna tertancap duri beracun
hingga kumbang yang berani mendekat
Hatinya akan mati
Maka pada tong sampah manakah ia
akan buang duri beracun
Sekuntum mawar merah
hatinya duka
Ingin kupetik ia dan kuberi bingkai udara
Bukan sebagai kumbang atau seorang pangeran
Tapi sebagai lelaki bau lumpur hakiki
Yang akan mengajak menatap harapan
Yang akan membantu membuang duri beracun
Sekuntum mawar merah
hatinya bimbang
Pada kesedihan yang meradang
Pada rasa putus asa yang menjegal
Pada kekesalan yang menggunung
Pada pemberontakan yang menggelombang
Tapi bau lumpur telah ia cium!
Surabaya, April 1992
_____
Puisi diatas adalah sebagian dari karya En Hidayat yang diambil dari buku kumpulan puisi “Fragmen Bulan Hijau” (Rumah Literasi Sumenep, 2019)
Untuk kumpulan puisi selengkapnya bisa diunduh DISINI