Generasi Stroberi yang Bersemi: Kisah dari Tanah Khatulistiwa


Cerpen: May Dindi


Mentari pagi Jakarta menyapa dengan sinarnya yang hangat, menembus celah-celah jendela kamar Arya. Di usianya yang menginjak 23 tahun, Arya sering mendengar label “generasi stroberi” melekat pada generasinya. 

Generasi yang dianggap lembek, mudah menyerah, dan hanya fokus pada kesenangan sesaat. Namun, di balik penampilannya yang kasual dengan rambut sedikit gondrong dan earphone yang hampir selalu terpasang, Arya menyimpan idealisme dan kepedulian yang mendalam terhadap negerinya.

Arya adalah lulusan Desain Komunikasi Visual dari sebuah universitas swasta terkemuka. Sejak kuliah, ia aktif dalam berbagai kegiatan komunitas kreatif. Bersama teman-temannya, ia mendirikan sebuah platform daring yang mewadahi karya-karya anak muda Indonesia, dari ilustrasi, fotografi, hingga musik indie. 

Baginya, platform ini bukan sekadar hobi, melainkan sebuah ruang untuk menunjukkan potensi dan kreativitas generasi Z yang seringkali diremehkan.

“Capek dengar dibilang generasi stroberi,” gumam Arya sambil menyesap kopi paginya. 

“Memang, kami tumbuh di era serba instan dan teknologi canggih. Tapi bukan berarti kami tidak punya mimpi besar atau tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekitar kami.”

Pandangan sinis terhadap generasi Z memang bukan hal baru. Mereka dianggap kurang tahan banting dibandingkan generasi sebelumnya yang tumbuh dalam kondisi ekonomi dan politik yang lebih sulit. 

Ketergantungan pada teknologi, gaya hidup yang konsumtif, dan tuntutan akan work-life balance yang ideal seringkali menjadi sasaran kritik. Namun, bagi Arya dan banyak pemuda seusianya, label tersebut terasa tidak adil dan menyederhanakan kompleksitas kehidupan mereka.

Salah satu teman dekat Arya, Risa, adalah contoh lain dari generasi Z yang penuh dedikasi. Lulusan Ilmu Lingkungan ini memilih untuk bekerja di sebuah organisasi non-profit yang fokus pada isu-isu lingkungan di daerah terpencil Indonesia. Meninggalkan tawaran pekerjaan bergaji besar di perusahaan multinasional, Risa memilih jalan yang lebih menantang namun diyakininya lebih bermakna.

“Banyak yang bilang aku idealis buta,” cerita Risa suatu malam saat mereka berkumpul di sebuah kedai kopi sederhana di kawasan Blok M. 

“Mereka pikir aku menyia-nyiakan pendidikan. Tapi bagiku, melihat hutan yang gundul dan masyarakat adat yang kehilangan haknya jauh lebih menyakitkan daripada tidak punya mobil mewah atau liburan ke luar negeri setiap tahun.”

Keputusan Risa tentu tidak mudah. Ia harus beradaptasi dengan kondisi hidup yang serba terbatas, berjauhan dari keluarga dan teman-teman, serta menghadapi berbagai tantangan birokrasi dan sosial di lapangan. 

Namun, semangatnya tidak pernah pudar. Ia percaya bahwa generasi Z memiliki tanggung jawab untuk menjaga alam Indonesia dan memperjuangkan keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat.

Sementara itu, di sudut lain Jakarta, Bima tengah berjibaku dengan startup teknologi yang baru dirintisnya. Lulusan Teknik Informatika ini memiliki visi untuk menciptakan solusi digital yang dapat membantu mengatasi permasalahan sosial di Indonesia, mulai dari pendidikan yang inklusif hingga akses kesehatan yang merata.

“Teknologi itu bukan cuma buat senang-senang,” ujar Bima dalam sebuah diskusi daring dengan komunitas tech. 

“Kita bisa manfaatkan kecanggihan ini untuk membuat perubahan yang nyata. Generasi kami tumbuh dengan teknologi, jadi kami punya pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana menggunakannya secara efektif untuk kebaikan.”

Bima dan timnya mengembangkan aplikasi pendidikan interaktif yang ditujukan untuk anak-anak di daerah tertinggal yang sulit mendapatkan akses ke sekolah berkualitas. 

Mereka juga merancang platform telemedicine yang menghubungkan pasien di daerah terpencil dengan dokter spesialis di kota-kota besar. Inovasi-inovasi ini lahir dari kepedulian mereka terhadap kesenjangan sosial dan keyakinan bahwa teknologi dapat menjadi jembatan untuk mengatasi masalah tersebut.

Kisah Arya, Risa, dan Bima hanyalah sebagian kecil dari potret generasi Z di Indonesia. Di berbagai bidang, mulai dari seni budaya, lingkungan, teknologi, hingga kewirausahaan sosial, banyak anak muda yang menunjukkan semangat juang dan kepedulian yang tinggi terhadap bangsa dan negara. 

Mereka mungkin tumbuh di era yang berbeda dengan tantangan yang unik, namun hal itu tidak mengurangi rasa cinta mereka terhadap tanah air.

Salah satu momen yang semakin mengukuhkan semangat patriotik generasi Z adalah ketika pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Di tengah ketidakpastian dan kepanikan, banyak anak muda yang bergerak cepat untuk membantu sesama. 

Mereka menggalang dana secara daring, mendistribusikan makanan dan alat pelindung diri, serta memberikan dukungan moral kepada masyarakat yang terdampak.

Arya melalui platform komunitasnya menginisiasi kampanye “Kreasi Untuk Negeri”, mengajak para seniman muda untuk menciptakan karya-karya yang membangkitkan semangat dan mengedukasi masyarakat tentang pentingnya menjaga kesehatan dan solidaritas. Risa yang saat itu berada di pelosok Kalimantan juga aktif mengedukasi masyarakat lokal tentang protokol kesehatan dan membantu mereka mendapatkan akses ke layanan kesehatan. Sementara Bima dan timnya mempercepat pengembangan aplikasi telemedicine mereka agar dapat menjangkau lebih banyak orang yang membutuhkan konsultasi medis jarak jauh.

Aksi-aksi nyata ini menunjukkan bahwa generasi Z tidak hanya pandai dalam dunia digital, tetapi juga memiliki empati dan kepedulian sosial yang tinggi. Mereka tidak hanya mengandalkan teknologi untuk diri sendiri, tetapi juga menggunakannya sebagai alat untuk membantu orang lain dan memberikan kontribusi positif bagi masyarakat.

Selain itu, generasi Z juga memiliki kesadaran yang lebih tinggi tentang isu-isu global seperti perubahan iklim, kesetaraan gender, dan hak asasi manusia. Mereka aktif dalam menyuarakan pendapat mereka melalui media sosial dan berbagai platform daring, serta terlibat dalam aksi-aksi damai untuk memperjuangkan nilai-nilai yang mereka yakini.

Semangat gotong royong dan kepedulian terhadap sesama yang ditunjukkan oleh generasi Z selama pandemi mengingatkan pada nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang seringkali terlupakan di tengah arus modernisasi. Mereka membuktikan bahwa di balik gaya hidup yang modern dan ketergantungan pada teknologi, tersimpan semangat kebersamaan dan solidaritas yang kuat.

Kiprah generasi Z yang penuh semangat dan kepedulian ini mulai menarik perhatian generasi sebelumnya. Banyak yang awalnya skeptis mulai melihat potensi besar yang dimiliki oleh generasi muda ini. 

Mereka menyadari bahwa generasi Z memiliki cara pandang yang berbeda, lebih terbuka terhadap perubahan dan inovasi, serta memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap perkembangan zaman.

Para pemimpin bangsa, tokoh masyarakat, dan para pendidik mulai memberikan ruang dan kesempatan yang lebih besar bagi generasi Z untuk berkontribusi dalam pembangunan bangsa. Mereka menyadari bahwa suara dan gagasan anak-anak muda ini sangat penting untuk merumuskan kebijakan dan program yang relevan dengan tantangan masa kini dan masa depan.

Perlahan tapi pasti, stigma “generasi stroberi” mulai luntur. Kisah-kisah inspiratif dari Arya, Risa, Bima, dan banyak pemuda lainnya mulai menjadi perbincangan dan memberikan harapan baru bagi masa depan Indonesia. 

Mereka menunjukkan bahwa generasi Z tidak hanya mampu bertahan dalam kerasnya kehidupan modern, tetapi juga mampu bersemi dan memberikan buah yang manis bagi bangsa dan negara.

Arya dengan platform komunitasnya terus mengembangkan diri, memberikan pelatihan dan mentoring bagi para kreator muda di berbagai daerah. Ia ingin memastikan bahwa setiap anak muda Indonesia memiliki kesempatan untuk mengembangkan bakat dan mewujudkan mimpinya. 

Risa terus berjuang untuk kelestarian lingkungan dan hak-hak masyarakat adat, menjadi suara bagi mereka yang seringkali tidak terdengar. Bima dengan startup teknologinya terus berinovasi, menciptakan solusi-solusi digital yang semakin berdampak positif bagi kehidupan banyak orang.

Semangat patriotik generasi Z ini tidak hanya tercermin dalam aksi-aksi besar, tetapi juga dalam tindakan-tindakan kecil sehari-hari. Mereka bangga menggunakan produk-produk lokal, melestarikan budaya tradisional melalui karya-karya modern, serta aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial di lingkungan sekitar mereka.

Mereka memahami bahwa patriotisme di era digital tidak hanya tentang mengangkat senjata, tetapi juga tentang bagaimana kita berkontribusi secara positif bagi bangsa dan negara melalui bidang yang kita kuasai. Patriotisme bagi generasi Z adalah tentang inovasi, kreativitas, kepedulian sosial, dan semangat untuk terus belajar dan berkembang demi kemajuan Indonesia.

Kisah generasi Z yang mampu membuktikan nilai dan daya juang patriotik mereka mulai menjadi tauladan bagi generasi lainnya, termasuk generasi Alpha yang tumbuh di era yang lebih canggih lagi. 

Mereka melihat bahwa kakak-kakak mereka, yang dulunya dianggap lemah, ternyata memiliki kekuatan dan ketahanan yang luar biasa ketika dihadapkan pada tantangan. Mereka belajar bahwa kesuksesan tidak hanya diukur dari materi, tetapi juga dari dampak positif yang bisa kita berikan kepada orang lain dan lingkungan sekitar.

Di suatu sore yang cerah, Arya dan Risa kembali bertemu di kedai kopi langganan mereka. Mereka bercerita tentang proyek-proyek terbaru mereka dan tantangan yang dihadapi.

“Dulu, aku sempat minder dibilang generasi stroberi,” kata Arya sambil tersenyum. 

“Tapi sekarang, aku justru bangga. Stroberi memang terlihat lembut, tapi dia bisa tumbuh di berbagai kondisi dan punya rasa yang unik. Begitu juga kita.”

Risa mengangguk setuju. “Yang penting kita terus berakar kuat pada nilai-nilai luhur bangsa kita, punya visi yang jelas, dan berani bertindak. Label apa pun yang orang berikan, itu tidak akan bisa menghentikan kita untuk berbuat baik dan memajukan negeri ini.”

Percakapan mereka terhenti sejenak ketika seorang anak muda menghampiri meja mereka. 

“Kak Arya, Kak Risa, saya terinspirasi sekali dengan karya-karya kalian dan apa yang kalian lakukan untuk lingkungan. Saya juga ingin berkontribusi, apa yang bisa saya lakukan?”

Arya dan Risa saling pandang, tersenyum bangga. Inilah buah dari perjuangan mereka. Generasi yang dianggap lemah kini mampu menginspirasi generasi berikutnya. Semangat patriotik yang mereka tunjukkan telah menjadi api yang menyala, menerangi jalan bagi para penerus bangsa.

Kisah generasi stroberi yang bersemi di tanah khatulistiwa ini adalah pengingat bahwa setiap generasi memiliki potensi dan perannya masing-masing dalam membangun bangsa. Tantangan dan label negatif mungkin datang silih berganti, namun dengan semangat persatuan, gotong royong, dan keyakinan pada nilai-nilai luhur bangsa, setiap generasi mampu menunjukkan bahwa mereka memiliki daya juang patriotik yang tak kalah hebat, dan mampu menjadi tauladan bagi generasi selanjutnya. 

Generasi Z telah membuktikannya. Mereka adalah stroberi-stroberi kuat yang bersemi dan berbuah di bumi Indonesia.


Pilihan

Tulisan terkait

Utama 506834415799750883

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Daftar Isi

Loading....

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >

Pesan Buku

Pesan Buku

 Serpihan Puisi “Sampai Ambang Senja” merupakan buku kumpulan puisi Lilik Rosida Irmawati, penerbit Rumah Literasi Sumenep (2024).  Buku ini berjumlah 96 halaman, dengan pengantar Hidayat Raharja serta dilengkapi testimoni sejumlah penyair Indonesia.  Yang berminat, silakan kontak HP/WA 087805533567, 087860250200, dengan harga cuma Rp. 50.000,- , tentu bila kirim via paket selain ongkir.

Relaksasi


 

Jadwal Sholat

item
close