Kembang Desa Moncek


Cerpen: May Dindy Claudia

Di desa Moncek yang sepi, kabar tentang lamaran Mat Tajun bagai petasan yang meledak di tengah sawah. Aminah, si kembang desa yang masih belia, tiba-tiba dilamar oleh Mat Tajun, seorang duda paruh baya dengan usia dua kali lipatnya. Bukan hanya itu, Mat Tajun adalah orang terkaya di kampung, pemilik satu-satunya toko grosir yang menyediakan segala kebutuhan warga.

"Wah, anak itu pasti kesetanan! Mau-maunya sama duda tua, matanya pasti sudah gelap oleh uang," bisik Mbok Sani pada Mbok Timah di warung kopi Mbah Tono.

"Eh, jangan begitu, Mbok. Jangan-jangan Mat Tajun itu pakai pelet!" sahut Mbok Timah sambil menyiutkan bibir. "Mana ada gadis secantik Aminah mau sama duda bau tanah begitu?"

Percakapan itu sampai ke telinga Bu Halimah, ibu Aminah. Hatinya seperti diiris sembilu. Namun, Aminah menenangkan ibunya.

"Mak, jangan didengarkan. Aminah yakin Bang Tajun adalah laki-laki yang baik," ucap Aminah mantap. "Lagipula, Aminah sudah suka sama Fajar, anaknya."

Pernikahan mereka akhirnya terlaksana, sederhana namun penuh khidmat. Namun, cibiran tak lantas berhenti. Banyak yang mengira Mat Tajun akan memperlakukan Aminah seperti boneka, yang hanya bisa menghabiskan uangnya.

Hari-hari awal pernikahan adalah masa-masa penuh tantangan. Terutama dengan Fajar, anak Mat Tajun, yang masih kecil. Fajar masih merasa asing dengan kehadiran Aminah.

Suatu sore, Aminah menghampiri Fajar yang sedang duduk melamun di teras. "Fajar... mau Bunda bacakan buku?" tawar Aminah lembut.

Fajar menggeleng tanpa menatap Aminah. "Tidak mau."

Hati Aminah terasa perih. Ia lalu duduk di samping Fajar. "Fajar, Bunda tahu Fajar masih sedih karena ibu Fajar sudah tidak ada. Tapi Bunda di sini untuk Fajar. Bunda janji akan sayang sama Fajar seperti Bunda sendiri," bisiknya sambil mengusap rambut Fajar.

Fajar menoleh, air matanya menetes. "Benar, Bunda?"

"Iya, Nak," jawab Aminah, lalu memeluk Fajar. Pelukan itu bagai jembatan yang menghubungkan dua hati yang rapuh. Sejak saat itu, Fajar mulai memanggil Aminah "Bunda" dan lengket seperti perangko.

Kebahagiaan keluarga kecil itu terusik oleh kehadiran Mbah Samad, adik ipar Mat Tajun yang serakah. Mbah Samad merasa iri dengan kekayaan Mat Tajun. Suatu sore, ia datang ke rumah Mat Tajun dengan wajah masam.

"Bang Tajun, saya dengar Abang mau jual tanah di pinggir kali itu. Kenapa tidak Abang jual saja, lalu hasilnya kita bagi dua? Kan Abang sudah kaya raya," ucap Mbah Samad dengan nada penuh harap.

Mat Tajun menatap adiknya dengan kening berkerut. "Samad, tanah itu bukan untuk dijual. Aku mau bangun pangkalan kayu di sana. Supaya ada modal untuk masa depan Fajar."

"Halah, masa depan Fajar? Paling juga nanti hartamu habis karena si Aminah itu suka menghambur-hamburkan uang! Dia kan masih muda, pasti suka belanja ini itu!" Mbah Samad melirik Aminah yang sedang menggendong Fajar.

Aminah hanya terdiam, dadanya bergemuruh menahan amarah. Namun Mat Tajun langsung menanggapi dengan tenang. "Samad, jaga bicaramu! Jangan pernah kau hina istriku. Aminah justru mengajarkanku hidup lebih hemat. Dia adalah anugerah terindah yang Tuhan kirimkan untukku dan Fajar."

Mendengar pembelaan Mat Tajun, Mbah Samad pun pulang dengan wajah cemberut.

Aminah lantas menatap Mat Tajun dengan mata berkaca-kaca. "Bang... apa yang Mbah Samad katakan benar? Apa aku memang hanya membebani Abang?"

Mat Tajun tersenyum, lalu menggenggam tangan Aminah. "Aminah, jangan pernah berpikir begitu. Justru berkat kamu, Abang jadi lebih semangat. Apa yang Mbah Samad katakan itu hanya iri."

Aminah mengangguk, hatinya terasa lebih tenang. Ia lalu berpikir, bagaimana caranya agar ia bisa membantu Mat Tajun, bukan sekadar menjadi istri yang pasif.

Suatu hari, Aminah mengumpulkan keberanian untuk bicara pada suaminya. "Bang... bagaimana kalau di pangkalan kayu nanti, kita tidak hanya menjual kayu balok? Bagaimana kalau kita juga membuat ukiran-ukiran kecil? Seperti asbak atau patung ikan."

Mat Tajun terkejut mendengar ide Aminah. "Ukiran? Kamu bisa mengukir, Nak?"

"Bisa, Bang. Dulu waktu kecil, Mbah Nawi sering mengajariku. Bagaimana?"

Mat Tajun tersenyum bangga. "Ide yang bagus, Nak. Kalau begitu, besok kita mulai mencari tukang ukir terbaik di desa!"

Ide Aminah membuat usaha pangkalan kayu Mat Tajun semakin maju pesat. Bukan hanya kayu balok, ukiran-ukiran tangan Aminah dan para pengukir desa pun laris manis.

Aminah kini dikenal sebagai sosok yang cerdas dan pekerja keras. Cibiran tetangga sudah berubah menjadi kekaguman. Mereka sadar, Aminah bukanlah gadis mata duitan, melainkan wanita tangguh yang pantas mendampingi Mat Tajun.

Mat Tajun dan Aminah hidup bahagia, dikaruniai seorang anak perempuan yang cantik. Fajar pun sudah tumbuh menjadi pemuda yang baik. Mereka menjadi bukti nyata bahwa cinta sejati tidak mengenal usia, dan keikhlasan akan selalu berbuah kebahagiaan.

 

Pilihan

Tulisan terkait

Utama 3621118600034416797

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Daftar Isi

Loading....

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >

Pesan Buku

Pesan Buku

 Serpihan Puisi “Sampai Ambang Senja” merupakan buku kumpulan puisi Lilik Rosida Irmawati, penerbit Rumah Literasi Sumenep (2024).  Buku ini berjumlah 96 halaman, dengan pengantar Hidayat Raharja serta dilengkapi testimoni sejumlah penyair Indonesia.  Yang berminat, silakan kontak HP/WA 087805533567, 087860250200, dengan harga cuma Rp. 50.000,- , tentu bila kirim via paket selain ongkir.

Relaksasi


 

Jadwal Sholat

item
close