Merekam Debur Rasa
Madura, dikenal memiliki tradisi religius dan sosial kema-syarakatan yang terbilang ketat, unik, meski di beberapa aspek juga tampak berlebihan. Tak perlu ditarik ke arah yang kurang produktif, semua memiliki alur dan gairah adat, kebiasaan, serta kesepakatan kolektif sebagaimana kearifan lokal yang dimiliki.
Tak terkecuali Madura, diakui atau tidak, mempunyai ciri, karakteristik, tipologi, dan nalar kearifan lokal dengan kekurangan dan keistimewaannya. Satu sisi membuat Madura "terpandang" dalam konteks kepublikan dan di ruang lain menjadikan aroma tradisi khas Madura juga menghibur sebagian lapisan masyarakat.
Satu diantara tradisi itu adalah mabekalan atau menu-nangkan seorang anak lelaki dan perempuan sedari kecil, baik demi menjaga kekeluargaan biar tidak lepas dan tidak hilang ditelan pergulatan sosial yang kian kompleks, atau menyambungkan "keakraban" antar orang tua dan keluarga yang sudah sedemikian hidup harmoni.
Sebab di Madura, memang ada filosofi hidup "kenca area palotan," bahwa teman merupakan saudara. Ketika berteman dengan siapa pun, kalau hati dan kehangatan terbangun nyaman, indah, mendamaikan, meyakinkan; tak jarang orang Madura langsung memosisikan teman yang dimiliki sebagai saudara. Dari sini ikatan emosional semakin mengental dan seringkali mengalahkan jalinan hidup dengan keluarga aslinya. Ikrar yang dipilih adalah saling bahu membahu untuk sehidup semati.
Tradisi mabekalan atau menunangkan anak lelaki dan perempuan sejak kecil-lepas dari kecenderungan di atas-melahirkan hal positif dan negatif yang patut dicermati. Menyambungkan dan mempererat kekeluargaan, persau-daraan, serta harmoni sosial, tentu dapat dimafhumi.
Namun, pertunangan-apapun istilah dan bentuknya-merupakan alur awal dari perjodohan, perkawinan, dan penyatuan dua insan yang juga memiliki nuansa romantika tertentu. Tidak semua pertunangan di masa kecil membuahkan hal sesuai harapan dan tak ganjil. Terlebih ketika seorang lelaki dan perempuan yang ditunangkan mulai mengenal "dunia" dan realitas roman-tika yang (mungkin) belum pernah dialami. Walhasil, ada yang putus dan terputuskan, pisah dan terpisahkan, atau bahkan ada yang memisahkan dengan tanjakan musababnya sendiri.
Hidangan tradisi itu kelak juga melahirkan kecemburuan, luka, friksi, konflik, dan bahkan "carok" untuk merebut sese-orang yang dianggap tunangan sekaligus demi marwah dan martabat keluarga. Maka celurit, salah satu pusaka andalan masyarakat Madura, seringkali tampil dan berbicara atas nama ini.
Celurit menggila tanpa lagi mengenal ikatan emosional dan nasabiyah keluarga. Itulah sisi unik tapi berlebihan dari aura tradisi sosial masyarakat Madura. Pasti ada muatan nilai, substansi, esensi, dan hikmah berkehidupan di balik ini. Ter-pulang pada ketulusan dan kearifan tiap-tiap diri mencermati, menempatkan, dan mengeksplorasi diantara dinamika sosial zaman yang sama sekaiï tidak kaku. Sebab diakui atau tidak, perjodohan, pertunangan, perkawinan, dan penyatuan antara dua insan, sejatinya mesti dilapisi spiritualisasi kesetaraan dan kemerdekaan debur rasa serta cinta yang memesona.
***
Martawi dan Sudiha dalam Debur Rasa, sedikit saja dari ekspresi, imajinasi, eksplorasi, manifestasi, dan puitisasi romantika muda di pinggiran kampung Madura di mana seseorang lahir dan bertumbuh. Ini sekadar merekam debur rasa laiknya masa kecil, mula-mula jatuh rasa terhadap seorang wanita desa yang tergolong "berkelas" kala itu.
Tapi karena sudah ditunangkan oleh keluarganya melalui konstruksi etik tradisi internal, debur rasa tidak pernah mengalir mulus, senantiasa berhadapan dengan deru gelombang, arus perti-kaian batin, dan kompleksitas emosi yang menegangkan. Kadang mesti mengalah "menyimpan" rasa, tetapi tampak tidak adil atas nama aliran cinta.
Di antara hendak berontak untuk maju meladeni carok atau merelakan rasa tergulung uap tradisi, tak jarang sebagian lelaki Madura berdiri, berlari, dan mengunci diri. Merekam, menanam, memendam, dan merawat mimpi disertai kerutan hati.
Martawi, Matruki, Sudiha, Sa'dulla, Sutiha, Maliye, Sumina, Matsawer, dan beberapa nama dalam antologi puisi ini semata simbol, sebutan "pinjaman" atas nama kekhasan penamaan diri dalam tradisi Madura.
Minimal sedikit membedakan dengan Asep, Ujang, Usep, Uep, Nung, Neng, dan nama lain dalam tradisi Sunda; atau Mulyono, Sutisno, Sukrisno, Hadijoyo, Sukarjo, Ajeng, Marsinah, menurut tradisi Jawa. Sekali lagi, semua hanya sebutan pinjaman-simbolik guna mengutarakan nama-nama "keakraban" dalam kultur masyarakat Madura. Tidak lebih dari itu.
Antologi Martawi dan Sudiha dalam Debur Rasa ini terbagi pada tiga lampiran besar. Lampiran Pertama mengi-sahkan secara simbolik seorang Martawi dengan kelaki-lakian dan logika hidup "melonjak." Martawi punya rasa, hati, dan kehendak selayaknya lelaki putra dari keluarga berada di kampung. la benar-benar Martawi, tidak mudah menyerah dan melenturkan ambisi.
Selalu ingin terlihat perkasa, pemola celurit, dan ahli carok tanpa tanding di kampung halaman. Tidak mau terganggu kenyamanan dan keindahan hidup apalagi soal tunangan yang telah diikatkan orang tuanya sedari kecil. Sulit sekali menerima masukan dan sentuhan mengenai potret sosial kehidupan yang kian terbuka. Meskipun Martawi, tetap sebagai manusia, mempunyai kelemahan, keterbatasan, dan kesadaran yang tidak selalu "beku."
Lampiran Kedua, menampilkan puisi lepas secara tematik, bukan soal Martawi. Beraneka rupa ilustrasi, imajinasi, dan eksplorasi rasa-karsa ketika ditepuk dinamika dan realitas kehidupan lebih lebar di luar kampung halaman. Lampiran kedua ini lebih tepat dikategorikan semacam jeda puitika demi menunda dan menandu debur rasa mengenai Madura dengan Martawi dan "ketegangan"-nya. Akan tetapi, spirit puitikanya juga masih bersentuhan dengan tradisi dan seruling sosial kehidupan Madura maupun ke-Madura-an. Sehingga antologi ini menyuguhkan hidangan nilai-nilai puitika yang tidak saja romantik, melainkan juga edukatif dan transformatif.
Lampiran Ketiga, lebih fokus pada sosok Sudiha, simbol wanita kampung yang memiliki daya tarik kepesonaan dan senantiasa mendeburkan rasa setiap lelaki yang melihat, me-mandang, mengenal, serta mendekatinya. la bukan hanya menawan karena bentuk mata, rupa pipi, dan lengkung alis serta hidung yang dimiliki, tetapi benar-benar melelehkan rasa dan cinta setiap lelaki yang menyelami berbasis naluri.
Sudiha, gadis desa bersahaja, santriwati yang dikenal kemolekan dan karakteristik tutur sapanya. la seperti tak manja. Namun memancarkan kelembutan cukup menggoda rasa. Meskipun ia "abekalan" atau "bertunangan" dengan Martawi, pada akhirnya ia menikah dengan lelaki lain yang tidak pernah diikatkan sejak masa kecil.
la dilema. Kadang salah tingkah dan kelak mulai tahu betapa debur rasa seorang lelaki yang "getar rindu"-nya selalu ia abaikan, ternyata memiliki nilai tersendiri untuk meng-ukir, melukis, dan memapah masa depan. Pada angin rantau, konon Sudiha selalu bertanya, "Debur rasa itu milik siapa?"
***
Tulisan ini merupakan pengantar penulisnya
Pilihan