Musibah Tukang Becak yang Tak Terduga
https://www.rumahliterasi.org/2025/08/musibah-tukang-becak-yang-tak-terduga.html?m=0
Cerpen: Beryl
Sore itu, ketika matahari mulai redup di ufuk barat, Amri mendorong becaknya melewati penempatan jalan utama yang selalu padat kendaraan. Sebagai tukang becak yang sudah puluhan tahun berkeliling kota, Amri terbiasa dengan arus lalu lintas yang ramai. Namun, saat hendak melewati lampu merah, sesuatu yang tidak terduga terjadi sehingga hidupnya berubah dalam sekejap.
Amri mengayuh becaknya dengan ritme pelan tapi pasti. Ketika lampu di penempatan jalan itu menunjukkan warna hijau yang mulai berubah ke kuning, Amri sudah hampir melewati persimpangan. Namun, tiba-tiba becaknya tersendat. Kaki Amri terasa kram dan kehilangan tenaga, membuat becak itu berhenti di tengah jalan.
Tanpa diduga, dua polisi lalu lintas mendekat dengan segera. Sambil cemberut, salah satu dari mereka berkata dengan nada tinggi.
“Bro! Kamu mau terobos lampu merah? Gila, ini kota, bukan lapangan mainmu!” seru polisi itu dengan marah.
Amri mencoba menjelaskan dengan suara pelan tapi tegas, “Pak, saya tidak menerobos lampu merah. Waktu saya masuk lampu masih hijau hampir kuning. Tapi tiba-tiba kaki saya kesemutan, jadi becak ini berhenti sendiri.”
Namun, polisi yang satunya tampak tidak mau mendengar penjelasan tersebut. Ia melangkah mendekat dan menyela, “Kalau alasanmu sudah nggak penting! Kamu melanggar aturan, harusnya nggak boleh berhenti di tengah jalan seperti ini.”
Sambil masih menatap tajam, polisi itu tiba-tiba menampar bahu Amri kuat-kuat. Amri terkejut dan mundur beberapa langkah. “Pak, saya mohon…” katanya terhenti karena satu pukulan keras mendarat di sisi wajahnya.
“Kamu pikir kamu siapa? Mau melawan polisi?” bentak polisi itu sambil meninju perut Amri berulang kali. “Kalau nggak tegas, warga lain malah semaunya!”
Amri terjatuh ke aspal, berlumuran debu dan rasa sakit yang tak tertahankan. Warga yang melihat kejadian itu segera berkerumun dan berusaha menenangkan situasi. Salah satu warga, Pak Dedi, menghampiri dan memanggil temannya.
“Ayo, kita bawa Pak Amri ke rumah sakit. Kondisinya serius,” katanya serius.
“Polisi itu kejam banget, Amri cuma di situ karena becaknya mogok tapi malah dihajar seperti penjahat,” ujar ibu-ibu yang ikut menyaksikan sambil menangis.
Sementara itu, dua polisi tersebut berdiri terpaku sejenak, lalu segera menghilang dalam keramaian tanpa memberi penjelasan atau pertolongan.
Di rumah sakit, Amri mendapat perawatan intensif. Dokter mengatakan bahwa pukulan itu menyebabkan luka dalam dan memar berat. “Kita harus rawat kamu beberapa hari, Pak. Kondisimu butuh istirahat dan pemeriksaan lebih lanjut,” kata dokter dengan suara empati.
Amri hanya bisa termenung, mengingat kejadian yang mengubah hidupnya dalam hitungan menit. Ia tidak pernah menyangka, hanya karena keadaan tak terduga, dirinya harus mengalami kekerasan yang seharusnya tidak terjadi.
Sepulang dari rumah sakit, berita tentang kejadian itu mulai beredar di lingkungan tempat tinggal Amri. Warga ramai-ramai mendukungnya dan berharap ada tindakan hukum yang diambil terhadap kedua polisi tersebut agar kejadian serupa tidak terulang lagi.
Di sudut lain, di ruang kantor polisi yang jauh dari keramaian, dua anggota polisi yang terlibat itu duduk dengan raut wajah serius. Mereka saling diam, mungkin merenungi tindakan yang baru saja dilakukan atau mencari cara agar hal itu tidak tersebar luas.
Namun, hal ini menjadi panggilan bagi masyarakat untuk memperhatikan hak-hak warganya, khususnya mereka yang lemah dan sering menjadi korban kekerasan yang tidak adil. Kasus Amri menjadi simbol bahwa perlindungan hukum harus benar-benar ditegakkan, bukan malah menjadi alat penindasan.
******
Di rumah sakit, Amri terbaring lemah di ranjang rumah sakit, ditemani oleh Pak Dedi yang setia mendampinginya.
“Pak Amri, saya benar-benar nggak nyangka polisi bisa berlaku seperti itu. Kamu cuma lagi sulit aja.” Ujar Pak Dedi yang mengantar ke rumah sakit
“Ya, Pak. Saya nggak pernah nyangka mereka gengsi segitunya sampai harus pukul saya. Padahal saya cuma mau cari nafkah.”
“Tenang, Pak. Warga sini pasti dukung kamu. Kita usahakan biar pihak berwajib tahu kejadian sebenarnya.” harapnya
“Saya cuma berharap kejadian ini nggak menimpa orang lain. Kadang saya tanya, kita ini salah apa, Pak?” kata Amrin sedih
“Salahnya cuma hidup di dunia yang kadang nggak adil, Amri. Tapi kita bersama, kita kuat.” Ungkap Pak Dedi
Amri mengangguk perlahan, matanya berkaca-kaca, merasakan hangatnya solidaritas di tengah luka yang dalam.
Kisah Amri masih berlanjut, menjadi pengingat bagi kita semua bahwa kerja dan kehidupan yang sederhana pun layak mendapat perlakuan yang adil. Dalam badai ketidakadilan, harapan tumbuh di hati yang tidak menyerah.
Pilihan