Senyap di Rumah Duka; Kisah Pilu Mantan Anggota DPR

 

Cerpen: G. Amini

Matahari sudah sepenggalah, sinarnya menyengat kulit. Namun, suasana di Kampung Babadu terasa dingin, bahkan membeku. Di salah satu rumah paling megah di kampung itu, rumah berdinding beton dan berpagar tinggi, peti jenazah tergeletak di tengah ruang tamu. Harusnya, rumah itu dipenuhi suara isak tangis, lantunan doa, dan langkah kaki pelayat. Namun, yang ada hanya keheningan. Tak seorang pun warga Kampung Babadu datang. Tak ada satupun karangan bunga.

"Sudah kubilang, dia tidak akan datang," bisik Pak Bardi, seorang kakek tua yang sedang duduk di warung kopi milik Bu Narti. Matanya menatap tajam ke arah rumah mendiang Zutan. Di hadapannya, beberapa warga lain mengangguk setuju.

"Siapa juga yang mau mengantar jenazahnya? Dulu dia janji mau bikin jalan aspal, akhirnya cuma diuruk pakai batu kerikil. Janji mau bangun sekolah gratis, malah anak-anak kita disuruh bayar uang gedung mahal-mahal," sambung Bu Siti, ibu muda yang menggendong anaknya. Nadanya penuh kekecewaan.

"Dulu dia bilang, 'Saya akan jadi wakil rakyat yang berjuang untuk kalian, saya akan bawa kesejahteraan ke kampung kita'. Eh, ujung-ujungnya cuma bawa kesejahteraan untuk dirinya sendiri," timpal Pak Mamat, seorang petani yang mengenakan topi lusuh.

"Apa yang dia dapatkan dari jadi anggota DPR? Mobil mewah, rumah besar, dan bisnis di mana-mana. Sementara kita? Kita tetap saja jadi petani, tetap jadi buruh, dan tetap diinjak-injak," kata Pak Mamat.

"Ya, dia memang begitu. Dulu, dia pernah bilang, 'Rakyat itu bodoh, hanya tahu minta, tidak tahu bersyukur'. Saya dengar sendiri dia ngomong begitu," kata Pak Bardi.

"Dan dia merendahkan kita. Dia bilang, 'Kalian semua ini cuma tahu melarat. Makanya jangan malas kerja'," kata Bu Narti.

"Bahkan ketika dia sudah tidak jadi anggota DPR lagi, dia tetap sombong. Dia punya usaha galian C. Debu dari galiannya itu masuk ke rumah-rumah kita. Anak saya sampai batuk-batuk. Saya protes, dia cuma bilang, 'Kalau tidak mau kotor, jangan tinggal di dekat sini'," kata Bu Siti.

"Bagaimana tidak benci? Dia itu orang kaya, tapi tidak punya hati. Tidak pernah sedekah, tidak pernah bantu orang miskin. Dulu, Pak Jaya sakit, dia tidak mau bantu. Pak Jaya akhirnya meninggal," kata Pak Bardi.

"Dan yang paling sakit itu, dia pernah menghina kita. Dia bilang, 'Rakyat itu cuma bisa menadahkan tangan. Tidak tahu bekerja'," kata Bu Narti.

"Saya dengar dia meninggal di luar negeri," kata Pak Mamat.

"Iya, dia meninggal di luar negeri. Mungkin dia tidak mau kembali ke sini karena malu. Tapi setelah meninggal, dia harus kembali juga," kata Pak Bardi.

"Dia meninggal setelah bertahun-tahun tidak terdengar kabarnya. Tapi benci dan dendam kita belum juga padam," kata Bu Narti.

"Dia pikir dia bisa lari dari benci kita?" kata Pak Mamat. "Tidak. Kita tidak akan pernah melupakannya."

Tiba-tiba, seorang pemuda bernama Andi datang. Ia menatap ke arah rumah Zutan. "Kasihan ya, tidak ada yang melayat," katanya.

"Kasihan? Mengapa kasihan? Dia sudah dapat balasan atas perbuatannya," kata Pak Bardi.

"Tapi, bagaimanapun juga, dia sudah meninggal. Kita harus mengantar jenazahnya," kata Andi.

"Mengantar? Mengapa kita harus mengantar? Dia tidak pernah menganggap kita sebagai manusia," kata Pak Mamat.

"Dia pernah merendahkan kita. Dia pernah menghina kita. Dia pernah menyakiti hati kita," kata Bu Siti.

"Dan dia tidak pernah minta maaf. Bahkan sampai dia meninggal, dia tidak pernah minta maaf," kata Bu Narti.

"Tentu saja dia tidak akan minta maaf. Dia terlalu sombong untuk itu," kata Pak Bardi.

"Dia berpikir dia bisa membeli segalanya, bahkan nyawa," kata Pak Mamat.

"Dia salah. Ada hal yang tidak bisa dibeli dengan uang, yaitu cinta dan penghormatan," kata Bu Narti.

Andi terdiam. Ia menatap ke arah rumah Zutan. "Jadi, kita akan membiarkan jenazahnya di sana?" katanya.

"Biarkan saja. Mungkin malaikat akan datang dan mengantarnya," kata Pak Bardi.

"Tidak. Malaikat pun tidak akan mau mengantar jenazahnya," kata Bu Narti.

"Dia sudah mendapatkan balasan atas perbuatannya," kata Pak Mamat. "Hidupnya hampa, dan matinya sepi."

"Tuhan tidak akan membiarkan orang yang sombong dan kejam hidup bahagia," kata Bu Narti.

"Kini, dia hanya seorang Zutan, yang meninggal sendirian, tanpa seorang pun yang mengantarnya," kata Pak Mamat.

Matahari sudah semakin tinggi, namun suasana di Kampung Babadu tetap membeku. Tak ada yang bergerak, tak ada yang berbicara. Mereka hanya menatap ke arah rumah Zutan. Rumah yang dulunya penuh dengan janji, kini penuh dengan kebencian.

"Ya, dia memang begitu," kata Pak Bardi. "Dia kaya, tapi tidak punya hati. Dia kuat, tapi tidak punya teman. Dia hidup, tapi tidak punya makna."

"Dan sekarang, dia mati. Matinya sepi, seperti hidupnya," kata Bu Narti.

"Tidak ada yang akan mengingatnya," kata Pak Mamat. "Kecuali kenangan buruk yang ditinggalkannya."

Andi terdiam. Ia menatap ke arah rumah Zutan, lalu berjalan menjauh. Ia tahu, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia tahu, kebencian warga sudah terlanjur dalam. Ia tahu, tidak ada yang bisa mengubahnya.

"Aku akan kembali ke rumah," kata Pak Bardi.

"Aku juga," kata Pak Mamat.

"Aku akan menyiapkan makan siang," kata Bu Narti.

Mereka pun beranjak dari warung kopi. Meninggalkan keheningan di sekitar rumah Zutan. Meninggalkan kenangan pahit yang tidak akan pernah hilang. Meninggalkan kebencian yang tidak akan pernah padam.

"Ya, dia memang begitu," kata Pak Bardi. "Dia adalah Zutan, yang matinya sepi."

Waktu berlalu. Matahari semakin terik. Namun, di rumah Zutan, tidak ada yang berubah. Peti jenazah masih di sana. Suasana masih hening. Tak ada yang datang. Tak ada yang pergi.

Tiba-tiba, sebuah mobil mewah berhenti di depan rumah Zutan. Seorang pria muda keluar dari mobil, mengenakan jas hitam. Ia terlihat bingung. Ia menatap ke arah rumah Zutan, lalu ke arah warga yang sedang berkumpul di warung kopi.

"Selamat siang," kata pria muda itu. "Apakah ini rumah Tuan Zutan?"

"Ya," jawab Pak Bardi.

"Saya ingin melayat," kata pria muda itu.

"Melayat? Anda siapa?" tanya Pak Mamat.

"Saya kenalan Tuan Zutan. Saya dari Jakarta," kata pria muda itu.

"Oh, jadi Anda kenal dia?" tanya Bu Narti.

"Ya, saya kenal dia. Dia adalah orang baik," kata pria muda itu.

Seketika, tawa sinis terdengar dari warga. "Orang baik? Anda pasti bercanda," kata Pak Bardi.

"Mengapa Anda tertawa? Dia adalah orang yang suka menolong. Dia adalah orang yang dermawan," kata pria muda itu.

"Dermawan? Anda pasti tidak mengenalnya," kata Pak Mamat. "Dia itu orang yang pelit. Dia itu orang yang sombong. Dia itu orang yang kejam."

"Anda salah. Dia adalah orang yang suka menolong. Dia pernah membantu saya," kata pria muda itu.

"Membantu? Anda pasti orang yang berbeda," kata Bu Narti.

"Tidak. Dia memang orang yang baik. Dia pernah membantu saya ketika saya kesulitan," kata pria muda itu. "Dia pernah meminjamkan uang kepada saya, tanpa bunga. Dia pernah memberikan saya pekerjaan."

"Anda pasti salah orang," kata Pak Bardi. "Zutan yang kami kenal, tidak seperti itu."

"Tidak. Saya yakin. Dia adalah Zutan. Saya tidak salah orang," kata pria muda itu. "Mengapa tidak ada yang melayatnya? Mengapa tidak ada yang mengantarnya?"

"Karena dia tidak pernah menganggap kita sebagai manusia," kata Pak Bardi. "Dia hanya menganggap kita sebagai budak. Dia hanya menganggap kita sebagai objek. Dia tidak pernah menganggap kita sebagai teman."

"Itu tidak benar," kata pria muda itu. "Dia adalah orang yang baik. Dia adalah orang yang suka menolong."

"Itu adalah Zutan yang Anda kenal. Bukan Zutan yang kami kenal," kata Pak Mamat. "Zutan yang kami kenal, adalah Zutan yang sombong, yang kejam, yang pelit."

"Anda salah," kata pria muda itu. "Dia tidak seperti itu. Dia adalah orang yang baik."

"Kalau dia orang yang baik, mengapa tidak ada yang melayatnya?" kata Pak Bardi. "Mengapa tidak ada yang mengantarnya?"

Pria muda itu terdiam. Ia menatap ke arah rumah Zutan. Ia tidak tahu harus berkata apa. Ia tidak tahu harus berbuat apa.

"Dia mendapatkan balasan atas perbuatannya," kata Bu Narti. "Hidupnya hampa, dan matinya sepi."

"Dia mendapatkan apa yang pantas dia dapatkan," kata Pak Mamat.

Pria muda itu terdiam. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia tidak tahu harus berkata apa. Ia hanya bisa menatap ke arah rumah Zutan.

"Kami tidak akan mengantarnya," kata Pak Bardi. "Kami tidak akan melayatnya. Kami tidak akan mendoakannya."

"Mengapa? Mengapa kalian begitu kejam?" tanya pria muda itu.

"Kami tidak kejam," jawab Pak Bardi. "Kami hanya membalas perbuatannya."

"Tapi dia sudah meninggal," kata pria muda itu. "Kalian harus memaafkannya."

"Memaafkan? Mengapa kita harus memaafkannya?" kata Pak Mamat. "Dia tidak pernah meminta maaf. Dia tidak pernah menyesal."

"Dia sudah meninggal," kata pria muda itu. "Kalian harus menguburnya."

"Menguburnya? Kami tidak akan menguburnya," kata Bu Narti. "Biarkan dia di sana. Biarkan dia merasakan apa yang kami rasakan."

Pria muda itu terdiam. Ia tidak tahu harus berkata apa. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia hanya bisa menatap ke arah rumah Zutan.

"Ya, dia memang begitu," kata Pak Bardi. "Dia adalah Zutan. Yang hidupnya sepi. Yang matinya hampa."

Pria muda itu hanya bisa terdiam. Ia menatap ke arah rumah Zutan, lalu masuk ke mobilnya. Ia meninggalkan Kampung Babadu, meninggalkan keheningan, meninggalkan kenangan pahit, meninggalkan kebencian.

Malam tiba. Bintang-bintang bersinar. Namun, di rumah Zutan, tidak ada cahaya. Hanya kegelapan. Peti jenazah masih di sana. Suasana masih hening. Tak ada yang datang. Tak ada yang pergi.

Tiba-tiba, suara tangisan terdengar. Bukan tangisan warga, melainkan tangisan seorang wanita. Wanita itu keluar dari mobil mewah, mengenakan gaun hitam. Ia adalah istri Zutan.

"Kenapa tidak ada yang melayat?" tanyanya.

"Karena suamimu tidak punya teman," jawab Pak Bardi.

"Suamiku adalah orang baik," kata wanita itu.

"Bohong," jawab Pak Mamat.

"Suamiku adalah orang yang suka menolong," kata wanita itu.

"Bohong," jawab Bu Narti.

"Suamiku adalah orang yang dermawan," kata wanita itu.

"Bohong," jawab Pak Bardi.

Wanita itu terdiam. Ia menatap ke arah peti jenazah suaminya. "Dia tidak punya teman?" tanyanya.

"Ya," jawab Pak Bardi. "Tidak ada yang menyukai dia."

"Mengapa?" tanya wanita itu.

"Karena dia sombong. Karena dia kejam. Karena dia pelit," jawab Pak Mamat.

"Dia tidak seperti itu," kata wanita itu.

"Dia seperti itu. Kami kenal dia. Kami tahu siapa dia," jawab Bu Narti.

Wanita itu terdiam. Ia tidak tahu harus berkata apa. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia hanya bisa menatap ke arah peti jenazah suaminya.

"Aku akan menguburnya," katanya.

"Kami tidak akan membantu," jawab Pak Bardi.

"Mengapa?" tanya wanita itu.

"Karena kami tidak punya kewajiban untuk membantu orang yang tidak pernah membantu kami," jawab Pak Mamat.

Wanita itu terdiam. Ia tidak tahu harus berkata apa. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia hanya bisa menatap ke arah peti jenazah suaminya.

"Dia mendapatkan balasan atas perbuatannya," kata Bu Narti. "Hidupnya hampa, dan matinya sepi."

"Dan tidak ada yang akan mengingatnya," kata Pak Mamat. "Kecuali kenangan buruk yang ditinggalkannya."

Wanita itu hanya bisa menangis. Ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa menatap ke arah peti jenazah suaminya. Ia tahu, suaminya mendapatkan apa yang pantas dia dapatkan. Ia tahu, suaminya tidak punya teman. Ia tahu, suaminya tidak punya makna.

"Ya, dia memang begitu," kata Pak Bardi. "Dia adalah Zutan. Yang matinya sepi."

Wanita itu hanya bisa menangis. Ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa menatap ke arah peti jenazah suaminya. Ia tahu, suaminya mendapatkan apa yang pantas dia dapatkan. Ia tahu, suaminya tidak punya teman. Ia tahu, suaminya tidak punya makna.

"Dan sekarang, dia mati," kata Bu Narti. "Matanya sepi, seperti hidupnya."

Wanita itu hanya bisa menangis. Ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa menatap ke arah peti jenazah suaminya. Ia tahu, suaminya mendapatkan apa yang pantas dia dapatkan. Ia tahu, suaminya tidak punya teman. Ia tahu, suaminya tidak punya makna.

"Dia mendapatkan apa yang pantas dia dapatkan," kata Pak Mamat. "Kami tidak akan menguburnya. Kami tidak akan melayatnya. Kami tidak akan mendoakannya."

Wanita itu hanya bisa menangis. Ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa menatap ke arah peti jenazah suaminya. Ia tahu, suaminya mendapatkan apa yang pantas dia dapatkan. Ia tahu, suaminya tidak punya teman. Ia tahu, suaminya tidak punya makna.

"Ya, dia memang begitu," kata Pak Bardi. "Dia adalah Zutan. Yang matinya sepi."

Wanita itu hanya bisa menangis. Ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa menatap ke arah peti jenazah suaminya. Ia tahu, suaminya mendapatkan apa yang pantas dia dapatkan. Ia tahu, suaminya tidak punya teman. Ia tahu, suaminya tidak punya makna.

"Dan sekarang, dia mati," kata Bu Narti. "Matanya sepi, seperti hidupnya."

Malam semakin larut. Lampu-lampu di rumah Zutan padam. Hanya kegelapan. Di rumah itu, peti jenazah masih di sana. Suasana masih hening. Tak ada yang datang. Tak ada yang pergi.

Tiba-tiba, suara tangisan terdengar lagi. Bukan tangisan wanita, melainkan tangisan seorang pria. Pria itu keluar dari mobil mewah, mengenakan jas hitam. Ia adalah anak Zutan.

"Kenapa tidak ada yang melayat?" tanyanya.

"Karena ayahmu tidak punya teman," jawab Pak Bardi.

"Ayahku adalah orang baik," kata pria itu.

"Bohong," jawab Pak Mamat.

"Ayahku adalah orang yang suka menolong," kata pria itu.

"Bohong," jawab Bu Narti.

"Ayahku adalah orang yang dermawan," kata pria itu.

"Bohong," jawab Pak Bardi.

Pria itu terdiam. Ia menatap ke arah peti jenazah ayahnya. "Dia tidak punya teman?" tanyanya.

"Ya," jawab Pak Bardi. "Tidak ada yang menyukai dia."

"Mengapa?" tanya pria itu.

"Karena dia sombong. Karena dia kejam. Karena dia pelit," jawab Pak Mamat.

"Dia tidak seperti itu," kata pria itu.

"Dia seperti itu. Kami kenal dia. Kami tahu siapa dia," jawab Bu Narti.

Pria itu terdiam. Ia tidak tahu harus berkata apa. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia hanya bisa menatap ke arah peti jenazah ayahnya.

"Aku akan menguburnya," katanya.

"Kami tidak akan membantu," jawab Pak Bardi.

"Mengapa?" tanya pria itu.

"Karena kami tidak punya kewajiban untuk membantu orang yang tidak pernah membantu kami," jawab Pak Mamat.

Pria itu terdiam. Ia tidak tahu harus berkata apa. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia hanya bisa menatap ke arah peti jenazah ayahnya.

"Dia mendapatkan balasan atas perbuatannya," kata Bu Narti. "Hidupnya hampa, dan matinya sepi."

"Dan tidak ada yang akan mengingatnya," kata Pak Mamat. "Kecuali kenangan buruk yang ditinggalkannya."

Pria itu hanya bisa menangis. Ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa menatap ke arah peti jenazah ayahnya. Ia tahu, ayahnya mendapatkan apa yang pantas dia dapatkan. Ia tahu, ayahnya tidak punya teman. Ia tahu, ayahnya tidak punya makna.

"Ya, dia memang begitu," kata Pak Bardi. "Dia adalah Zutan. Yang matinya sepi."

Pria itu hanya bisa menangis. Ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa menatap ke arah peti jenazah ayahnya. Ia tahu, ayahnya mendapatkan apa yang pantas dia dapatkan. Ia tahu, ayahnya tidak punya teman. Ia tahu, ayahnya tidak punya makna.

"Dan sekarang, dia mati," kata Bu Narti. "Matanya sepi, seperti hidupnya."

Pagi tiba. Matahari bersinar. Namun, di rumah Zutan, tidak ada yang berubah. Peti jenazah masih di sana. Suasana masih hening. Tak ada yang datang. Tak ada yang pergi.

Di warung kopi, warga kembali berkumpul. Mereka berbicara tentang Zutan. Tentang hidupnya, tentang matinya. Mereka berbicara tentang kebencian, tentang dendam. Mereka berbicara tentang karma, tentang balasan.

"Aku tidak tahu mengapa aku merasa lega," kata Pak Bardi. "Aku merasa beban berat sudah terangkat."

"Aku juga," kata Pak Mamat. "Aku merasa damai. Aku merasa puas."

"Aku merasa adil," kata Bu Narti. "Dia mendapatkan apa yang pantas dia dapatkan."

Mereka semua mengangguk setuju. Mereka tidak merasa bersalah. Mereka tidak merasa berdosa. Mereka merasa, apa yang mereka lakukan adalah hal yang benar. Mereka merasa, mereka telah melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan.

"Ya, dia memang begitu," kata Pak Bardi. "Dia adalah Zutan. Yang matinya sepi. Dan tidak ada yang peduli."

Mereka semua mengangguk setuju. Mereka tidak peduli. Mereka tidak akan pernah peduli.

Pilihan

Tulisan terkait

Utama 7834785340707108117

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Daftar Isi

Loading....

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >

Pesan Buku

Pesan Buku

 Serpihan Puisi “Sampai Ambang Senja” merupakan buku kumpulan puisi Lilik Rosida Irmawati, penerbit Rumah Literasi Sumenep (2024).  Buku ini berjumlah 96 halaman, dengan pengantar Hidayat Raharja serta dilengkapi testimoni sejumlah penyair Indonesia.  Yang berminat, silakan kontak HP/WA 087805533567, 087860250200, dengan harga cuma Rp. 50.000,- , tentu bila kirim via paket selain ongkir.

Relaksasi


 

Jadwal Sholat

item
close