Ambisi Sang Ketua RT Bruddin


Cerpen: Nunung

Di sebuah kampung kecil bernama Tapak Asri, suasana sore itu tampak berbeda dari biasanya. Angin membawa aroma tanah basah yang sedikit tercium dari saluran irigasi di pinggir jalan, meski sebenarnya saluran itu sudah lama tersumbat dan tak pernah diperbaiki.

Di balai pertemuan RT 03/RW 02  Tapak Asri,  Samsuri, serta puluhan warga berkumpul, mata mereka penuh kecemasan dan ketegangan. Hari ini adalah hari musyawarah pemilihan Ketua RT yang sangat dinanti, sekaligus ditakuti oleh banyak warga. Mereka harus memutuskan apakah Bruddin, Ketua RT yang sudah menjabat selama tiga periode, akan diberi kesempatan lagi atau diganti.

Bruddin berdiri di depan ruangan, mengenakan kemeja lengan panjang yang sudah kusut, wajahnya tampak tegas tapi ada sedikit kecemasan yang mencoba disembunyikannya. Ia membuka pembicaraan dengan suara yang cukup lantang untuk didengar seluruh ruangan.

“Saya minta kesempatan lagi untuk memimpin RT ini. Saya yakin, dengan pengalaman saya, saya bisa membawa perubahan yang lebih baik. Jangan cepat menilai saya hanya dari apa yang sudah terjadi selama ini,” katanya dengan nada membela diri.

Namun, suara-suara protes mulai bergema. Sari, seorang ibu rumah tangga berusia 40-an yang sudah tinggal di sini selama puluhan tahun, berdiri dan menyela dengan suara yang penuh emosi.

“Pak Bruddin, kami sudah lelah! Lingkungan ini masih sama saja, tidak berubah dari awal Anda menjabat. Selokan itu tetap mampet, jalanan berlubang tak kunjung diperbaiki, dan hubungan antar warga malah semakin renggang akibat pertikaian dukung mendukung posisi Ketua RT sebelumnya.”

Dedi, seorang pemuda berusia 25 tahun yang baru saja kembali dari kota, ikut berbicara, “Pak, kami ingin pemimpin yang bisa melakukan aksi nyata. Bukan cuma duduk menunggu warga datang minta tanda tangan surat atau mengurus administrasi. Apa gunanya jabatan kalau tidak membawa perubahan?”

Bruddin menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Saya sudah berusaha, tapi ada banyak kendala. Dana terbatas, dan saya harus berurusan dengan birokrasi yang rumit. Saya juga tidak bisa bekerja sendiri tanpa dukungan warga.”

Suasana pertemuan makin memanas. Suara-suara pro dan kontra bersahutan. Ada yang membela Bruddin, ada yang menuntut pergantian segera. Pak Harun, seorang pensiunan guru yang dihormati warga, mencoba memberi pandangan bijak.

“Saudara-saudara, kita harus lihat dari semua sisi. Bruddin memang belum membawa banyak perubahan, tapi kita juga harus ingat bahwa ini bukan tugas gampang. Kita harus cari solusi bersama, bukan malah saling menyalahkan.”

Namun, tak semua puas dengan jawaban itu. Rina, seorang ibu muda yang baru tinggal di sini dua tahun, dengan tegas berkata, “Kalau begini terus, kapan lingkungan kita akan maju? Kami butuh perubahan, dan itu harus dimulai dari pemimpin yang benar-benar peduli.”

Ketua RW, Pak Hasan, yang sejak awal mencoba menjaga ketenangan, akhirnya angkat bicara dengan suara tegas namun menenangkan. “Cukup! Kalau kita terus bertengkar seperti ini, bukan solusi yang kita dapat. Saya putuskan untuk menunda pemilihan Ketua RT sampai situasi benar-benar kondusif. Kita harus cari cara damai, bukan konflik.”

Warga pun terdiam sejenak, menyadari bahwa perpecahan hanya akan merugikan mereka semua. Beberapa warga mengangguk setuju, sementara yang lain masih terlihat kecewa.

Bruddin menunduk pelan, lalu berkata, “Saya akan gunakan waktu ini untuk memperbaiki diri dan lingkungan. Saya harap warga juga memberi kesempatan untuk kami semua bekerja sama.”

Musyawarah itu pun berakhir dengan keputusan menunda pemilihan, memberi waktu bagi warga untuk merenung dan mencari pemimpin yang bisa menyatukan mereka.

*****

Di hari-hari berikutnya, suasana di Tapak Asri mulai berubah. Warga yang dulu saling berseteru mulai mengobrol dan bekerja sama membersihkan selokan yang mampet. Sari dan Rina bersama beberapa ibu lainnya mengorganisir gotong royong, sementara Dedi mengajak pemuda lain untuk memperbaiki jalan berlubang. Bruddin, meski belum resmi terpilih kembali, ikut turun tangan membantu.

Ketua RW Pak Hasan mengawasi dengan bangga, berharap perubahan kecil ini menjadi awal dari perubahan besar.

*****

Beberapa minggu setelah musyawarah yang panas itu, suasana di kampung Tapak Asri mulai menunjukkan tanda-tanda perubahan. Meskipun pemilihan Ketua RT masih ditunda, warga dan para tokoh di lingkungan itu mulai berinisiatif melakukan hal-hal kecil demi kebaikan bersama.

Pagi itu, di sebuah sudut jalan yang berlubang, Dedi bersama beberapa pemuda lainnya tengah sibuk mengisi lubang dengan pasir dan batu. “Kalau kita hanya menunggu pemimpin, kapan perbaikan ini terjadi? Yuk, kita mulai dari diri sendiri dulu,” katanya sambil menyeka keringat.

Sari, yang sehari-hari dikenal ramah, sekarang lebih sering terlihat mengorganisir ibu-ibu untuk membersihkan selokan yang sudah bertahun-tahun mampet. “Kalau selokan bersih, banjir bisa diminimalisir. Lingkungan juga jadi lebih sehat,” ujarnya.

Bruddin, yang sebelumnya sering dikritik karena kurang bergerak, kini tampak berbeda. Ia mulai berkeliling ke rumah-rumah warga, meminta maaf atas kekurangan selama ini dan menawarkan bantuan. “Saya sadar banyak yang harus diperbaiki. Saya ingin berkontribusi, bukan hanya duduk menunggu,” ucapnya tulus.

Sore harinya, di balai pertemuan RW, Pak Hasan mengundang beberapa tokoh penting dari lingkungan tersebut untuk berdiskusi. “Kita sudah lihat perubahan positif. Tapi kita tidak boleh berhenti sampai di sini,” katanya.

Rina, yang selama ini menjadi salah satu suara kritis, mengangguk. “Kita perlu rencana yang jelas dan keterlibatan semua pihak. Tak hanya Ketua RT, tapi juga warga.”

Pak Harun menambahkan, “Kepemimpinan itu memang penting, tapi kepedulian dan gotong royong warga juga tak kalah penting.”

Musyawarah kecil itu menghasilkan keputusan untuk membentuk sebuah tim kecil yang terdiri dari perwakilan berbagai kelompok, termasuk pemuda, ibu-ibu, dan tokoh masyarakat. Tim ini bertugas menyusun program kerja lingkungan yang akan diajukan dalam pemilihan Ketua RT nanti.

Hari-hari berlalu, dan warga Tapak Asri mulai merasakan manfaat dari kerja sama ini. Jalan mulai diperbaiki secara bergotong royong, selokan mengalir lancar, dan suasana antarwarga menjadi lebih hangat dan bersahabat.

Ketika akhirnya pemilihan Ketua RT digelar kembali, suasana sudah jauh berbeda dari sebelumnya. Debat dan adu argumen masih ada, tapi dengan sikap saling menghormati. Bruddin kembali mencalonkan diri, namun kali ini dengan program kerja yang jelas dan didukung oleh timnya.

Dedi, yang kini menjadi salah satu pendukung utama, berkata pada warga, “Kita semua punya peran dalam membangun lingkungan ini. Pilihlah pemimpin yang bukan hanya janji, tapi juga mau bekerja bersama kita.”

Setelah pemilihan selesai, Bruddin terpilih kembali dengan suara mayoritas, tapi dengan komitmen baru yang lebih kuat dan dukungan penuh dari warga.

Tapak Asri pun perlahan berubah menjadi lingkungan yang lebih bersih, aman, dan harmonis. Cerita ini menjadi bukti bahwa perubahan sejati bukan hanya soal jabatan, tapi kolaborasi dan niat baik dari semua pihak.

 

Pilihan

Tulisan terkait

Utama 5039372432980376049

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Daftar Isi

Loading....

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >

Pesan Buku

Pesan Buku

 Serpihan Puisi “Sampai Ambang Senja” merupakan buku kumpulan puisi Lilik Rosida Irmawati, penerbit Rumah Literasi Sumenep (2024).  Buku ini berjumlah 96 halaman, dengan pengantar Hidayat Raharja serta dilengkapi testimoni sejumlah penyair Indonesia.  Yang berminat, silakan kontak HP/WA 087805533567, 087860250200, dengan harga cuma Rp. 50.000,- , tentu bila kirim via paket selain ongkir.

Relaksasi


 

Jadwal Sholat

item
close