Bayang-bayang Kesibukan


Cerpen: Rulis


Rapat segera akan dimulai di ruang pertemuan Rumah Literasi Sumenep. Namun, hanya Yuli, ketua organisasi, bersama beberapa anggota yang sudah hadir: Budi, Taufik, Wiwin, dan Fifin. Suasana ruang rapat terasa hampa, berbeda dari biasanya yang penuh semangat dan keramaian.

Yuli menatap jam di dinding, kemudian ke pintu yang tertutup rapat. Ia menghela napas panjang, gelisah. “Kenapa mereka belum datang? Padahal sudah lewat dari jadwal sepuluh menit,” gumamnya pelan.

Budi yang duduk di sampingnya mencoba menghibur, “Mungkin mereka masih macet, atau ada keperluan mendadak. Sabar, Bu Yuli.”

“Tapi ini sudah lebih dari satu jam, Budi. Ini bukan pertama kali mereka datang terlambat, malah ada yang tidak hadir sama sekali,” balas Yuli dengan nada cemas.

Taufik mengangguk setuju. “Kalau cuma terlambat, masih bisa dimaklumi. Tapi ini sudah seperti ada yang tidak beres.”

Wiwin dan Fifin saling bertukar pandang, keduanya juga merasa ada sesuatu yang mengganjal.

Yuli kemudian berdiri dan mengeluarkan ponselnya. Ia menelepon Tika, sekretaris organisasi yang biasanya sangat teliti dan disiplin.

“Hallo, Tika? Ini Yuli. Kamu di mana? Rapat sudah dimulai, tapi hanya kami yang datang,” suara Yuli terdengar tegas.

“Tadi aku ada urusan mendadak, Bu. Maaf sekali, aku baru bisa ke sana,” jawab Tika dengan suara berat.

Yuli merasakan kekhawatiran makin bertambah. “Kamu tahu kan, ini rapat penting untuk membahas program kerja selanjutnya. Kalau kamu tidak hadir, administrasi akan berantakan.”

Tika terdiam sejenak. “Iya, Bu. Aku memang sedang banyak urusan di kantor. Sejak aku menjabat sebagai sekretaris, pekerjaan di lembaga ini bertambah banyak.”

Yuli menghela napas. “Aku paham, Tika. Tapi kita harus bisa membagi waktu dengan baik. Kalau administrasi terganggu, organisasi kita yang rugi.”

Setelah menutup telepon, Yuli kembali duduk dan memandang ke arah kursi kosong yang seharusnya sudah diisi anggota lain.

“Sepertinya kita harus memutuskan, apakah rapat ini bisa dilanjutkan atau tidak,” ucap Yuli.

Budi mengusulkan, “Kalau memang yang datang cuma kita berlima, mungkin lebih baik kita tunda. Nanti kalau anggota yang lain sudah lengkap, kita bisa rapat kembali.”

Taufik mengangguk setuju. “Betul, Bu. Rapat tanpa korum itu tidak efektif.”

Wiwin menambahkan, “Tapi sebenarnya, kenapa ya mereka pada tidak datang? Apakah mereka benar-benar sibuk atau ada masalah lain?”

Fifin terlihat berpikir keras. “Mungkin kita perlu komunikasi lagi dengan mereka. Kalau memang ada kendala, kita harus tahu biar bisa membantu.”

Yuli menatap wajah teman-temannya satu per satu. “Aku juga bingung. Seperti Fendi, Yani, Mieke, Kiki, Sudahri, dan yang lain. Mereka biasanya aktif. Tapi setelah perjalanan wisata ke Bali, mereka tampak mulai lesu dan jarang berkomunikasi.”

“Perjalanan wisata itu memang melelahkan,” kata Budi. “Mungkin mereka butuh istirahat lebih.”

“Kalau begitu, kita harus cari tahu secara langsung,” kata Yuli. “Aku akan coba hubungi mereka satu per satu.”

Sejenak, suasana ruang rapat menjadi sunyi. Yuli mulai menghubungi anggota lain.

Di tempat lain, Fendi sedang duduk di depan laptopnya. Ia tampak sibuk dengan pekerjaannya yang menumpuk. Ponselnya bergetar, ada panggilan masuk dari Yuli.

“Halo, Bu Yuli. Ada apa?” Fendi menjawab sambil menatap layar.

“Fendi, kamu kenapa tidak datang ke rapat? Kami sudah tunggu lebih dari satu jam,” tanya Yuli dengan nada prihatin.

Fendi menghela napas. “Maaf, Bu. Aku sedang sibuk kerjaan kantor yang mendadak. Sejak pulang dari Bali, aku memang belum bisa fokus ke organisasi.”

“Kalau begitu, coba atur waktu, Fendi. Organisasi ini juga butuh perhatian kita semua.”

Fendi tersenyum lemah. “Iya, Bu. Aku akan coba usahakan.”

Sementara itu, Yani sedang berbaring di sofa ruang tamunya. Ia merasa kurang enak badan sejak beberapa hari terakhir.

Ponsel berbunyi, ada pesan dari Yuli, menanyakan keberadaannya.

Yani membalas, “Maaf, Bu. Aku sedang kurang sehat. Aku tidak ingin menularkan ke teman-teman lain.”

Yuli membalas dengan cepat, “Jaga kesehatanmu, Yani. Kita tunggu kapan kamu sudah siap.”

Mieke di kantornya juga menerima pesan serupa. Ia sedang menghadapi deadline pekerjaan yang menumpuk.

Sambil mengetik balasan, ia berkata dalam hati, “Kalau aku ikut rapat sekarang, pekerjaan ini bakal tertunda.”

Ia membalas pesan Yuli, “Maaf, Bu. Aku sedang sangat sibuk. Tolong sampaikan ke teman-teman.”

Kiki yang sedang mengurus keluarganya juga mengalami hal serupa. Ia merasa bersalah karena tidak bisa hadir.

“Yuli, maaf ya. Aku harus urus anak-anak hari ini,” tulis Kiki.

Sudahri yang biasanya rajin malah sedang mengalami masalah keluarga yang cukup berat. Ia pun tidak bisa hadir.

Setelah mendapatkan berbagai kabar, Yuli mengumpulkan kembali teman yang sudah hadir.

“Kalian lihat kan, ada banyak alasan kenapa mereka tidak bisa datang,” kata Yuli. “Tapi ini harus menjadi perhatian kita bersama. Organisasi bukan cuma tentang hadir di rapat, tapi bagaimana kita bisa saling memahami dan membantu.”

Budi menimpali, “Mungkin kita perlu sistem komunikasi yang lebih baik. Biar kalau ada anggota yang berhalangan, bisa segera diberitahu dan kita bisa atur jadwal ulang.”

Taufik menambahkan, “Setuju. Kita juga perlu evaluasi apakah jadwal rapat kita sudah sesuai dengan kondisi masing-masing anggota.”

Wiwin mengusulkan, “Bagaimana kalau kita buat grup chat khusus untuk koordinasi? Jadi semua bisa update keadaan dan jadwal.”

Fifin menyetujui, “Itu ide bagus. Dengan begitu, kita bisa lebih fleksibel dan tidak ada yang merasa terbebani.”

Yuli tersenyum lega. “Baiklah, mari kita buat sistem itu mulai hari ini. Untuk rapat hari ini kita batalkan dan akan dijadwalkan ulang setelah koordinasi lebih baik.”

Beberapa hari kemudian, Rumah Literasi Sumenep mengadakan rapat ulang. Kali ini, hampir semua anggota hadir, suasana lebih hangat dan penuh semangat.

Yuli membuka rapat, “Terima kasih atas kehadiran kalian. Aku senang kita bisa berkumpul kembali. Dari pengalaman kemarin, kita belajar bahwa komunikasi dan pengertian itu penting.”

Fendi mengangguk, “Aku juga minta maaf karena tidak bisa hadir. Aku akan usahakan lebih baik lagi.”

Yani menambahkan, “Dan aku berterima kasih karena teman-teman mengerti kondisiku.”

Mieke, Kiki, dan Sudahri juga mengungkapkan hal serupa.

Yuli melanjutkan, “Mulai sekarang, kita akan lebih terbuka dan fleksibel dalam berorganisasi. Kita bukan hanya bekerja bersama, tapi juga saling mendukung.”

Rapat pun berjalan lancar, penuh diskusi dan tawa. Rumah Literasi Sumenep kembali bersemangat menjalankan program-programnya.

.

Pilihan

Tulisan terkait

Utama 7090332033907132169

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Daftar Isi

Loading....

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >

Pesan Buku

Pesan Buku

 Serpihan Puisi “Sampai Ambang Senja” merupakan buku kumpulan puisi Lilik Rosida Irmawati, penerbit Rumah Literasi Sumenep (2024).  Buku ini berjumlah 96 halaman, dengan pengantar Hidayat Raharja serta dilengkapi testimoni sejumlah penyair Indonesia.  Yang berminat, silakan kontak HP/WA 087805533567, 087860250200, dengan harga cuma Rp. 50.000,- , tentu bila kirim via paket selain ongkir.

Relaksasi


 

Jadwal Sholat

item
close