Bulan Sedang Sakit


Cerpen: Fauzia Kirana

Bulan, sang ratu malam, sedang dalam mode terbaiknya. Penuh, bulat, dan bersinar dengan keanggunan yang sempurna. Sinarnya menembus atap-atap daun, menyapa setiap sudut Kampung Sarabi. Namun, malam ini bukanlah malam biasa. Atmosfernya terasa ganjil, dipenuhi bisikan-bisikan dan deru kegelisahan yang terpendam.

Sesuai kepercayaan turun-temurun, Gerhana Bulan akan datang. Konon, peristiwa alam ini bukan sekadar fenomena langit yang cantik, tapi sebuah peringatan dari semesta. Kabar yang beredar dari mulut ke mulut, gerhana adalah saat di mana bencana bisa datang menghampiri. Dan di Sarabi, tradisi kuno pun kembali bangkit.

"Gedor! Gedor! Jangan sampai tidur!" Mak Pariah, seorang nenek yang giginya tinggal dua, berteriak lantang sambil memukuli wajan dengan sendok kayu. Suaranya nyaring, memecah kesunyian malam. Beberapa tetangga lain mengikuti. Ada yang menabuh kentungan, memukul kaleng susu bekas, bahkan ada yang sengaja menggedor-gedor kandang kambing.

"Kenapa, sih, harus begini? Mereka pikir gerhana itu naga yang mau makan bulan, apa?" gumam Ipung  , mahasiswa urban yang baru pulang kampung. Rambut gondrongnya yang sebahu bergerak-gerak skeptis. Ipung   merasa asing dengan ritual yang ia saksikan. Di kampus, gerhana adalah momen langka untuk mengamati langit dengan teleskop, bukan untuk ribut-ribut.

Ipung   melihat sekeliling, dan matanya bertemu dengan Maksum, teman masa kecilnya yang kini menjadi pemuda panutan di kampung. Irfan tersenyum tipis, tapi raut wajahnya tampak khusyuk.

"Pend, kamu nggak ikut?" tanya Maksum, suaranya lembut.

Ipung   mendengus pelan. "Ikut apa, Sum? Ikut mengusir bulan? Emang bulan punya salah apa?"

Irfan tertawa kecil. "Bukan mengusir, Pend. Ini... semacam pengingat."

Di seberang jalan, berdiri sosok berwibawa yang dihormati seluruh kampung, Kiai Sapari. Jenggot putihnya tertata rapi, dan matanya memancarkan ketenangan. Suaranya yang serak namun tegas terdengar jelas.

"Dengarkan, wahai saudaraku!" serunya. "Tradisi leluhur itu baik, tapi jangan sampai kita melupakan substansinya. Membangunkan alam sekitar itu bagus, tapi yang lebih penting adalah membangunkan hati kita yang sering tertidur dalam kelalaian."

Para warga yang tadinya sibuk memukul, kini terdiam. Kiai Sapari melanjutkan, "Peristiwa gerhana ini adalah sebuah tanda kebesaran Allah. Bukankah bulan, yang tadinya bersinar terang, bisa saja redup dalam sekejap? Begitu pula hidup kita. Oleh karena itu, mari kita jadikan malam ini sebagai ajang introspeksi diri. Perbanyaklah zikir, salat gerhana, dan tadarus. Mohon ampunan-Nya agar kita terhindar dari segala bala."

Ipung   mendengarkan petuah itu. Ia melihat Irfan mengangguk setuju. Ia tahu Irfan sangat mengagumi Kiai Sapari. Mereka berdua memang berbeda. Ipung   dengan logikanya yang tajam, Irfan dengan imannya yang kokoh.

"Kamu percaya, Sum? Kalau ini ada kaitannya sama bencana?" tanya Ipung  , penasaran.

Irfan menghela napas. "Bukan soal percaya atau tidak, Pend. Tapi soal berserah diri. Bukankah lebih baik kita bersiap diri dengan doa dan amal baik, daripada hanya sekadar takjub melihat fenomena alam?"

Di dalam surau, suara takbir mulai berkumandang. Irfan bergegas masuk. "Sudah dimulai," bisiknya sebelum menghilang di balik pintu kayu.

Ipung   hanya berdiri, mengamati. Ia melihat bayangan gelap mulai merayap pelan, menutupi bulan. Cahaya bulan perlahan-lahan meredup, seolah enggan digantikan oleh kegelapan. Ia memotretnya dengan ponsel. Di balik lensa kamera, ia melihat sebuah keindahan. Namun, ia juga merasakan kekosongan.

Ipung   teringat kuliah astronomi di kampus. Dosennya menjelaskan tentang posisi bumi, bulan, dan matahari. Semua serba logis. Tapi malam ini, di tengah riuhnya Sarabi, ia merasa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar logika.

Tak lama, ia melihat seseorang berjalan mendekat. Ternyata itu Bapaknya, Pak Karta.

"Kenapa kamu di luar, Pend? Tidak ikut salat gerhana?" tanya Pak Karta.

"Aku... ah, aku cuma lihat-lihat, Pak. Seru juga lihat orang-orang mukul-mukul begini," Ipung   mencoba mengelak.

"Jangan anggap remeh, Nak. Ini bukan cuma tradisi. Ini cara kita mengingat," ucap Pak Karta, matanya menatap tajam ke arah Ipung  . "Dulu, nenek moyang kita melihat gerhana sebagai peristiwa yang menakutkan. Jadi mereka menciptakan cara agar rasa takut itu bisa diolah menjadi doa. Tradisi memukul ini adalah wujud dari kepasrahan mereka. Mereka tahu mereka tidak bisa melawan alam, jadi mereka memohon pada Yang Kuasa."

Ipung   terdiam. Ia tak pernah berpikir sejauh itu.

"Kamu pikirkan ini, Pend," lanjut Pak Karta. "Gerhana bulan itu seperti cermin. Kita melihat bulan yang redup, dan itu seharusnya menjadi pengingat bagi kita. Apakah hati kita juga sudah redup? Apakah amal kita sudah meredup? Malam ini, kita diajak untuk kembali menyalakan cahaya dalam hati kita."

Kata-kata Pak Karta menampar Ipung  . Ia selalu menganggap dirinya modern dan berpikiran maju. Tapi ia lupa, ada kebijaksanaan yang tak terukur dalam tradisi yang ia anggap kuno. Ia melihat Pak Karta dan Maksum, dan ia melihat ketenangan yang tidak bisa ia dapatkan dari buku-buku tebalnya.

Tiba-tiba, suara riuh dari tadi berganti hening. Dari dalam surau, suara Kiai Sapari terdengar lebih khusyuk. Ipung   melihat ke langit. Bulan kini berubah menjadi merah tembaga. Pemandangan yang menakjubkan. Ada keindahan yang menyakitkan di sana.

"Cantik sekali, ya," bisik Ipung  .

"Cantik sekali. Sama seperti indahnya hati yang pasrah," timpal Pak Karta.

Ipung   kini tak hanya melihat gerhana dengan mata fisiknya, tapi juga dengan mata hatinya. Ia merasakan makna yang lebih dalam. Malam ini, ia tidak hanya belajar tentang astronomi, tapi juga tentang filosofi, tentang budaya, dan tentang iman. Ia menyadari, sikap apatisnya terhadap tradisi adalah wujud dari kesombongan intelektual. Ia merasa lebih hebat karena tahu alasan ilmiah, padahal ia melewatkan makna spiritual yang jauh lebih penting.

Setelah Salat Khusuf selesai, para warga keluar dari surau dengan wajah yang lebih damai. Mereka saling bertegur sapa, membagikan kue, dan berdiskusi. Suasana tegang tadi kini berganti dengan kehangatan.

Ipung   berjalan mendekat ke Maksum. "Sum, maaf, ya. Tadi aku sempat... meremehkan."

Irfan tersenyum. "Santai saja, Pend. Justru bagus. Kamu jadi bisa melihatnya dari sisi yang berbeda."

"Makasih. Malam ini aku belajar banyak," ujar Ipung  . "Gerhana itu ternyata bukan cuma soal sains, ya?"

"Bukan. Ini soal introspeksi, Pend. Soal berbenah diri. Bulan yang tertutup itu ibarat hati kita yang tertutup dosa. Dan ketika ia kembali bersinar, itu adalah janji ampunan dari-Nya," jawab Maksum, menepuk pundak Ipung  .

Ipung   mengangguk. Ia akhirnya mengerti. Ritual memukul panci, salat gerhana, dan doa-doa yang dilantunkan, semua itu adalah sebuah kesatuan. Sebuah jalan bagi warga Sarabi untuk merajut hubungan dengan Tuhan dan alam. Dan di malam yang hening itu, di bawah bulan yang kini perlahan kembali bersinar, Ipung   pun ikut berdoa dalam hati. 

Ia memohon ampunan, bukan karena takut pada bencana, tapi karena ia ingin menyalakan kembali cahaya di hatinya yang pernah redup. Dan ia tahu, di kampungnya, ia telah menemukan sebuah makna yang tak pernah ia dapatkan di kota.

 


Pilihan

Tulisan terkait

Utama 7589450263216248638

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Daftar Isi

Loading....

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >

Pesan Buku

Pesan Buku

 Serpihan Puisi “Sampai Ambang Senja” merupakan buku kumpulan puisi Lilik Rosida Irmawati, penerbit Rumah Literasi Sumenep (2024).  Buku ini berjumlah 96 halaman, dengan pengantar Hidayat Raharja serta dilengkapi testimoni sejumlah penyair Indonesia.  Yang berminat, silakan kontak HP/WA 087805533567, 087860250200, dengan harga cuma Rp. 50.000,- , tentu bila kirim via paket selain ongkir.

Relaksasi


 

Jadwal Sholat

item
close