Gerhana Bulan di Kampung Partelon


Cerpen: Fauzia Kirana

Di kampung Partelon, suasana menjelang gerhana bulan penuh dengan kehebohan. Ini bukan sekadar fenomena alam bagi penduduk; melainkan sebuah penanda dari masa silam yang penuh dengan makna spiritual dan emosional.

Keyakinan ini berakar dari cerita-cerita rakyat yang diwariskan secara turun-temurun. Bagi warga setempat, gerhana bulan bisa membawa malapetaka. Mereka percaya bahwa ini adalah waktu di mana dunia nyata dan dunia supranatural menjadi sangat dekat, sehingga ancaman terhadap kehidupan semakin besar.

Tradisi ini sudah berakar kuat dalam budaya mereka dan menjadi bagian penting dari identitas kampung tersebut.

Dahulu, di masa yang jauh sebelum modernisasi menjamah desa, nenek moyang mereka menyaksikan peristiwa alam ini dengan penuh ketakutan. Mereka percaya bahwa gerhana bulan adalah sebuah upaya dari makhluk gaib untuk menelan bumi.

Keyakinan ini begitu tertanam, sehingga memengaruhi cara mereka menghadapi kehidupan sehari-hari, terutama saat gerhana terjadi. Para sesepuh desa sering menceritakan bagaimana dahulu kala langit tampak menyiratkan kengerian.

Suasana kampung yang biasanya penuh dengan tawa canda tiba-tiba berubah menjadi hening. Aroma dupa memenuhi udara sebagai upaya untuk melindungi desa dari keburukan yang mungkin mendekat.

Namun, tidak semua percaya dengan mitos tersebut. Generasi muda, yang lebih terdidik dan akrab dengan teknologi, mulai membicarakan fenomena ini dengan lebih logis. Mereka membaca artikel dan buku yang menjelaskan proses ilmiah di balik gerhana bulan.

"Gak ada itu makhluk gaib mau makan bumi, Mas," kata Laila, salah satu remaja desa yang kerap menjadi suara pembaruan di antara warga.

"Ini cuma bayangan bumi yang jatuh ke permukaan bulan aja. Semua bisa dijelaskan sains."

Meski ada perbedaan pandangan, tradisi gerhana bulan tetap dijalankan dengan khidmat di kampung Partelon. Setiap rumah diminta mematikan lampu sebagai simbol penyerapan energi buruk yang mungkin datang.

Para tokoh masyarakat, termasuk Pak Harto selaku kepala desa, memberikan instruksi kepada semuanya agar mengikuti cara tradisional merespons gerhana.

“Jangan lupa, malam ini kita padamkan lampu ya. Ini doa kita agar kampung ini dijauhkan dari malapetaka,” tegasnya dalam rapat desa yang berlangsung dua hari sebelum hari H.

Di tangan Bu Tanti, seorang wanita paruh baya yang dipercaya sebagai penjaga tradisi, rantai ritual ini dipasang dengan teliti.

"Anak-anak, kita harus siapkan sesaji yang terbaik. Ayam hitam, kopi pahit, dan berbagai kue tradisional," ujarnya dengan semangat.

Persiapannya melibatkan banyak orang, mulai dari memasak hingga menyiapkan lokasi ritual. Piting, seorang bocah lelaki berusia sepuluh tahun, tampak asik membantu mengangkat sesaji ke sebuah meja besar yang diletakkan di tengah lapangan desa.

"Masih kuat, Piting?" goda Pak Budi, tetangga sebelah yang ikut berpartisipasi. "Kuat, Pak! Nggak boleh kalah sama sesaji," jawab Piting sambil tersenyum lebar.

Meskipun dalam hati kecilnya Piting berpikir semua ini agak konyol, tetapi ia tetap membantu karena rasa tanggung jawab dan kebersamaan dalam menjaga tradisi.

Semua orang bekerja sama dalam persiapan tersebut, dan meskipun terdapat perbedaan kepercayaan, warga kampung sepakat untuk menghormati satu sama lain. Tradisi ini bukan hanya tentang keyakinan, tetapi juga tentang solidaritas sosial yang telah dipupuk sejak lama.

Tibalah malam gerhana yang dinantikan. Langit Partelon kembali mendung, menambah kesan mistis pada suasana desa. Tidak ada lampu yang menyala di seluruh kampung, kecuali cahaya bulan yang perlahan redup tertutup bayangan bumi.

Warga berkumpul di lapangan desa, bersembunyi di balik tabir doa dan sesaji yang telah dipersiapkan.

"Ingat, malam ini jangan keluar rumah setelah acara selesai. Tetap di dalam dan berdoa," pesan Pak Harto mengingatkan.

Suasana khusyuk terasa begitu pekat. Bayi-bayi yang biasanya menjerit pun seakan mengerti kebersahajaan malam itu.

Namun tak semua larut dalam suasana yang sama. Laila, dengan rasa ingin tahunya, memutuskan untuk melihat lebih dekat apa yang sebenarnya terjadi pada gerhana ini. Bersama Piting, yang diam-diam penasaran, mereka menyelinap ke belakang rumah, mencoba melihat potongan gerhana dari sudut lainnya.

"Lihat, Pit! Bulan dan bumi cuma saling bertemu bayangan. Nggak ada itu, urusan gaib. Semua sudah dijelaskan ilmiah," seru Laila berbisik penuh semangat.

Meski terdengar remeh, namun aksi kecil kedua anak muda ini menjadi simbol akan perubahan pandangan generasi yang akan datang. Piting yang biasa mengikuti tradisi tanpa banyak bertanya, kali ini merasa terpicu untuk berpikir lebih jauh.

"Betul juga, Laila. Tapi sepertinya, bikin semua jadi seru, ya. Aku suka ramai-ramai desa begini," ujarnya sambil tersenyum. Keduanya pun bersepakat bahwa apapun yang terjadi, tradisi akan dihormati, meski dipahami dari sudut pandang berbeda.

Saat gerhana mencapai puncaknya, beberapa warga merasakan semacam firasat. Kurnia, seorang ibu rumah tangga yang dikenal tajam intuisinya, merasa ada sesuatu yang berbeda.

"Pak Budi, entah kenapa, malam ini rasanya agak lain ya? Apa mungkin ini pertanda?" tanyanya penuh kekhawatiran. Pak Budi mencoba menenangkan,

"Biasanya hal yang paling kita takutkan itu malah nggak benar terjadi. Tapi kalau pun iya, kita sudah berdoa dan berupaya melindungi kampung kita sesuai kemampuan."

Dialog-dialog semacam ini tidak jarang menjadi pengikat hubungan antarwarga yang kian erat. Pembicaraan antara Laila dan Piting juga menyebar perlahan ke warga lainnya, menyulut percakapan baru mengenai sains dan agama, tradisi dan modernitas.

"Kalian tahu, Laila bener tuh. Gerhana itu fenomena alam biasa," bisik Siti kepada teman-teman arisannya. Namun, Bu Tanti, yang mendengar pembicaraan tersebut, hanya tersenyum.

"Ya, ya, betul kata anak muda. Tapi tradisi melestarikan kita juga. Kita jaga tradisi, termasuk memahami dunia dengan lebih baik," tanggapnya bijak.

Sementara itu, Malam terus bergulir, membawa warga ke dalam berbagai bentuk refleksi pribadi. Tradisi lama dan sains modern saling bersenandung, masing-masing mencari tempatnya di pemikiran warga.

Mereka tidak lagi hanya mempertanyakan hal-hal supranatural, namun bagaimana menggabungkan iman dan ilmu. Pendidikan terkesan menjadi gerbang bagi transformasi ini, sebagaimana obrolan-obrolan ini semakin menunjukkan bahwa kampung mampu beradaptasi dan menghargai dua sisi dari satu mata uang.

Ketika akhirnya gerhana berakhir, bulan perlahan kembali bersinar penuh. Warga kampung membubarkan diri sembari menghela napas lega. Meski tidak ada bencana seperti yang dikhawatirkan, mereka merasa pengalaman tersebut sebagai sebuah pengingat bahwa tradisi dan ilmu tidak harus selalu bertentangan.

Laila dan Piting pun kembali ke tengah kerumunan, disambut dengan hangat oleh warga yang lain.

"Nah, kalian kemana aja? Bikin cemas aja," sindir Pak Harto sedikit lega. Kedua anak itu hanya tersenyum, berbagi pandangan saling mengerti.

Sesaji dibawa kembali ke rumah, doa-doa telah dipanjatkan, dan kini saatnya bagi warga untuk melanjutkan kehidupan mereka.

"Kalau dipikir-pikir, mungkin kita nggak harus takut lagi sama gerhana," celetuk Piting. "Tapi kalau gak takut, gak seru," tabahnya lagi diikuti tawa kecil.

Di balik semua itu, gerhana ini tanpa disadari telah menjadi titik pertemuan antara masa lalu dan masa depan; antara keyakinan lama yang menghormati takdir alam dan pandangan baru yang menyambut pengetahuan.

Saat desa asri Partelon kembali bercahaya, warganya pun kian sadar bahwa kemajuan tidak harus menggantikan tradisi, tetapi bisa berjalan berdampingan dengan harmoni. Kedamaian yang mereka raih bukanlah akhir dari suatu periode gerhana, melainkan lembaran baru dari sebuah cerita berlanjut yang tak kunjung usai.

Fenomena gerhana bulan telah membuktikan dirinya sebagai pengaruh yang tak disangka-sangka dalam komunitas Partelon. Melalui sekilas perubahan di langit, terciptalah rentetan efek domino yang melibatkan rasa penasaran, diskusi, kekhawatiran, serta persahabatan yang lebih erat di antara warganya.

Pengalaman malam itu menyajikan pelajaran bagi semua, bahwa di antara mitos dan kenyataan, tersimpan hikmah yang dapat membimbing langkah lebih lanjut.

Tidak diragukan lagi bahwa setiap warga memiliki penafsiran personal terhadap kejadian ini. Bu Tanti, contohnya, tetap teguh pada tradisi dan melihat fenomena ini sebagai kesempatan untuk merangkul solidaritas sosial.

Bagi Pak Harto dan tokoh masyarakat lain, momen ini adalah refleksi dari perbedaan pandangan yang harus disikapi dengan dewasa, menyadari bahwa ilmu pengetahuan dan adat bisa saling mengisi.

Menariknya, para remaja seperti Laila dan Piting menjadi simbol perubahan dan harapan. Dengan rasa ingin tahu yang kuat, mereka membawa angin segar di kampung kecil tersebut, memosisikan diri mereka sebagai jembatan antara tradisi dan modernisasi.

Pandangan mereka membantu membuka dialog yang lebih luas tentang bagaimana seharusnya komuniti menghadapi fenomena alam berdasarkan pengetahuan yang sudah diperbarui.

Tantangan bagi berbagai generasi di Partelon kini adalah bagaimana menjaga keseimbangan ini. Dengan mempertahankan elemen-elemen dari cerita nenek moyang sambil mengadopsi pengetahuan baru, mereka menciptakan pengalaman yang lebih berharga bagi setiap individu. Ini adalah pelajaran bahwa meski kekhawatiran mungkin tak terhindarkan, persatuan dan pemahaman lebih penting dalam menghadapi apa pun, termasuk bayangan waktu yang sebentar singgah di wajah bulan.

Di ujungnya, apakah benar gerhana bulan adalah pelindung atau mantranya tersendiri menjadi tidak lagi penting. Yang lebih esensial adalah bagaimana kita memilih untuk merespon, dengan rasa hormat pada masa lalu dan keberanian menatap masa depan.

Dengan ini, kampung Partelon membuktikan bahwa dalam kegelapan sesaat, cahaya kebijaksanaan bisa ditemukan, dan bahwa setiap gerhana adalah kesempatan untuk pembaruan.

 

Pilihan

Tulisan terkait

Utama 1405748873534893318

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Daftar Isi

Loading....

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >

Pesan Buku

Pesan Buku

 Serpihan Puisi “Sampai Ambang Senja” merupakan buku kumpulan puisi Lilik Rosida Irmawati, penerbit Rumah Literasi Sumenep (2024).  Buku ini berjumlah 96 halaman, dengan pengantar Hidayat Raharja serta dilengkapi testimoni sejumlah penyair Indonesia.  Yang berminat, silakan kontak HP/WA 087805533567, 087860250200, dengan harga cuma Rp. 50.000,- , tentu bila kirim via paket selain ongkir.

Relaksasi


 

Jadwal Sholat

item
close