Jalan Terjal Menuju Ketenangan
Cerpen: Beryl Abadi
Di bawah matahari sore yang mulai condong, Kadrun duduk di teras rumahnya, memandangi tanaman melati yang layu. Keringat dingin membasahi pelipisnya, bukan karena cuaca panas, melainkan karena ia sedang merancang strategi. Strategi untuk berbicara dengan Anjani, istrinya. Sejak Kadrun pensiun, Anjani menjelma menjadi perpaduan antara juru sita, hakim agung, dan alarm kebakaran yang siap meledak kapan saja.
"Hmm, aku harus mulai dari mana?" gumam Kadrun sambil menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal. Ia memikirkan insiden sarapan pagi tadi. Hanya karena Kadrun meletakkan sendok di sisi kiri piring, bukan di kanan, Anjani langsung "berpidato" selama 15 menit tentang pentingnya tata krama. "Seperti bukan orang terpelajar saja," Anjani menutup pidatonya dengan nada menusuk.
Kadrun mengambil selembar kertas dan spidol. Dengan hati-hati, ia menulis, "Abang mau bicara, tapi jangan marah ya." Ia menaruhnya di atas nampan berisi teh hangat dan biskuit kesukaan Anjani, lalu membawanya masuk.
Anjani sedang menyulam, dengan kacamata bertengger di ujung hidung. Wajahnya tegang seperti sedang memecahkan soal fisika kuantum.
"Ini tehnya, Nyonya Besar," kata Kadrun dengan suara selembut mungkin, sambil menyodorkan nampan.
Anjani melirik kertas itu, lalu wajahnya berubah. "Apa ini? Kamu pikir saya tidak bisa mendengar?" ia menyingkirkan nampan itu, hampir membuat tehnya tumpah. "Kamu pikir saya ini tuli? Atau bisu?"
"Bu-bukan begitu, Jani. Abang cuma..."
"Cuma apa? Ingin membuat saya merasa bersalah? Kamu pikir saya ini monster?"
"Tidak, Jani. Aku cuma..." Kadrun menelan ludah. "Cuma mau bilang... besok kita harus bayar listrik. Dan tagihan air. Dan iuran RT."
Anjani melotot. "Kenapa tidak bilang dari tadi? Kenapa pakai surat-suratan segala? Memangnya kita ini pacaran jarak jauh?" Anjani menghela napas panjang. "Berapa totalnya?"
Kadrun tergagap. "Ehh... totalnya... agak lebih besar dari bulan lalu, Jani. Karena Abang lupa matikan AC semalaman..."
Anjani langsung meletakkan sulamannya. "APA? AC?! Kamu sengaja mau bikin kita bangkrut, ya?"
"Bukan begitu, Jani. Abang ketiduran..."
"Ketiduran kok bisa bayar tagihan listrik? Kamu mau suruh saya kerja lagi?" Anjani menyilangkan tangan di dada. "Atau kamu mau pinjam uang sama Pak RT?"
Kadrun merasa seperti diserang dari segala penjuru. Ia menghela napas. "Jani, dengarkan Abang sebentar..."
"Saya sudah dengar! Saya dengar semuanya! Dan saya capek dengar alasan kamu! Dulu waktu kamu masih kerja, uang saku kamu saja lebih besar dari pensiun sekarang! Kamu tahu itu?!"
Kadrun terdiam. Matanya menatap sendu ke arah jendela. Ia tahu. Sangat tahu. Dan itulah yang membuatnya bertahan.
"Kenapa diam? Kamu pikir saya senang begini? Kamu pikir saya ini tukang marah?" Anjani menunjuk dadanya sendiri. "Saya ini sedang berhemat! Demi masa depan kita! Tapi kamu, kamu malah boros!"
Kadrun memberanikan diri. "Jani, Abang janji besok akan lebih hemat lagi. Abang akan matikan semua lampu, kecuali kalau mau ke toilet..."
"Cih! Toilet saja pakai dimatikan! Mau kejedot?"
"Ya... tidak begitu, Jani."
"Habis itu apa lagi? Mandi pakai air dingin? Nanti masuk angin! Makan nasi pakai garam saja?"
"Ya tidak lah, Jani! Itu kan buat orang yang lagi diet..." Kadrun berhenti sejenak, takut salah bicara. "Maksud Abang, kita bisa masak sendiri, tidak perlu beli makan di luar terus..."
"Beli makan di luar itu karena kamu tidak mau makan sayur yang saya masak! Kamu maunya makan gulai kambing, sate, nasi padang! Padahal sudah jelas-jelas kolesterol kamu tinggi!"
Kadrun menghela napas. Ia tahu ini tidak akan berakhir. Tapi ia harus mencoba. "Jani, begini. Abang ada ide. Kita bisa buka warung nasi pecel. Abang yang buat bumbu, Jani yang urus warungnya. Lumayan, bisa nambah penghasilan."
Anjani menatap Kadrun dengan tatapan aneh. "Warung nasi pecel? Kamu pikir saya ini apa? Tukang jualan?"
"Jani, kita kan cuma cari tambahan uang..."
"Tidak! Saya tidak mau! Nanti orang-orang pada bilang, 'Lihat tuh, Pak Kadrun, dulu pejabat, sekarang jualan pecel.' Malu saya!" Anjani menggeleng-gelengkan kepala.
Kadrun memejamkan mata. Ia tahu, Anjani hanya butuh waktu. Waktu untuk menerima kenyataan.
"Ya sudah, kalau begitu. Abang akan cari pekerjaan lain. Abang akan jadi tukang ojek online."
Anjani terkejut. "Tukang ojek? Kamu serius? Nanti kalau jatuh bagaimana? Terus kalau ketemu teman-teman arisan saya bagaimana?"
"Jani, ini kan buat kita..."
"Pokoknya tidak! Saya tidak mau! Kamu di rumah saja! Diam! Duduk! Jangan bikin masalah!" Anjani beranjak, wajahnya merah padam. "Sekarang, ambil sapu! Bersihkan debu-debu di jendela itu! Saya tidak mau rumah ini kotor!"
Kadrun hanya bisa menghela napas. "Baik, Nyonya Besar," gumamnya, sambil mengambil sapu. "Abang akan sapu. Tapi jangan marah ya..."
"Sapu, Kadrun! Bukan disapu-sapu seperti itu!" Anjani kembali dari dapur, membawa cangkir kosong yang tadi ia pakai. "Kamu pikir lagi menari? Ayunkan yang benar! Dari atas ke bawah! Jangan goyang-goyang begitu! Nanti debunya beterbangan ke mana-mana!"
Kadrun menghela napas. Memang benar kata orang, pensiun adalah ujian kesabaran yang sesungguhnya. Dulu, ia adalah Kadrun, Kepala Seksi Pengadaan Barang dan Jasa yang ditakuti. Sekarang, ia adalah Kadrun, asisten rumah tangga yang selalu salah. Ia merasa seperti sedang berada di dalam komedi putar, berputar-putar tanpa henti, dan setiap putaran pasti ada Anjani yang siap memarahinya.
"Iya, Jani... Abang usahakan," jawab Kadrun, mencoba menyapu dengan lebih semangat, meski sebenarnya tenaganya sudah habis.
"Usahakan? Kamu itu bukan mengusahakan, tapi mengacaukan!" Anjani menunjuk ke arah Kadrun. "Tuh, lihat! Jendelanya malah makin kotor!"
Kadrun menatap nanar. Ia sudah membersihkan jendela itu sampai kacaunya, tapi Anjani masih saja tidak puas. Ia merasa seperti berada di bawah pengawasan CCTV 24 jam. "Jani, Abang capek..."
"Capek? Kamu pikir saya tidak capek? Dulu saya harus mengurus anak-anak, mengurus rumah, dan mengurus kamu! Sekarang kamu cuma mengurus diri sendiri, tapi masih saja capek! Apa-apaan itu?"
Kadrun terdiam. Ia tahu, Anjani hanya butuh waktu. Waktu untuk menerima kenyataan bahwa hidup mereka sudah berubah. Dulu, ia bisa dengan mudah membeli apa pun yang ia mau. Sekarang, ia harus berpikir dua kali.
"Jani..." Kadrun mencoba membuka mulut.
"Sudah! Jangan bicara lagi! Cukup! Sekarang kamu duduk! Saya mau bicara!"
Kadrun duduk dengan patuh. Ia menatap Anjani yang berdiri di depannya, berkacak pinggang, dengan wajah merah padam. Ia tahu, ini akan menjadi pidato yang panjang.
"Kamu tahu, Kadrun? Dulu saya itu terkenal di kalangan ibu-ibu arisan. Mereka semua iri pada saya. Suami saya pejabat, gajinya besar, dan kami bisa jalan-jalan ke mana-mana. Tapi sekarang? Mereka semua mengasihani saya!"
"Jani, kita masih bisa jalan-jalan..."
"Jalan-jalan ke mana? Ke depan gang?" Anjani memotong kalimat Kadrun. "Sekarang, kamu hanya bisa membuat saya malu! Kamu tidak bisa lagi membeli apa pun yang saya mau! Kamu tidak bisa lagi membawa saya ke restoran mahal! Kamu tidak bisa lagi..."
Kadrun menelan ludah. "Jani... Abang tahu. Tapi Abang akan berusaha... Abang akan cari cara..."
"Cara apa? Kamu mau jadi preman? Jualan narkoba? Atau jadi penipu?"
"Jani, dengarkan Abang dulu! Abang ada ide! Ide brilian!" Kadrun bersemangat, seolah-olah ia baru saja menemukan jalan keluar. "Kita bisa jadi... tukang foto!"
Anjani menatap Kadrun dengan tatapan aneh. "Tukang foto? Kamu mau foto-foto apa?"
"Ya... foto-foto. Foto prewedding. Foto wisuda. Foto ulang tahun. Abang kan punya kamera dari dulu. Lumayan, bisa nambah-nambah..."
"Tukang foto jalanan?" Anjani menggelengkan kepala. "Tidak! Saya tidak mau! Nanti orang-orang bilang, 'Tuh, si Anjani, suaminya jadi tukang foto keliling.' Malu saya!"
Kadrun terdiam. Ia tahu, Anjani hanya butuh waktu. Waktu untuk menerima kenyataan bahwa hidup mereka sudah berubah. Ia tahu, di balik semua omelan dan marah-marahnya, Anjani hanya takut. Takut akan ketidakpastian. Takut akan masa depan.
Kadrun mendekati Anjani, lalu memegang tangannya. "Jani... Abang janji. Abang akan cari cara. Kita akan lewati ini bersama. Apapun yang terjadi. Abang akan selalu ada untuk Jani."
Anjani menatap Kadrun. Perlahan, wajahnya melembut. Matanya berkaca-kaca. Ia memeluk Kadrun erat-erat. "Kadrun... saya takut... saya takut kita akan miskin... saya takut kamu tidak mencintai saya lagi..."
Kadrun membalas pelukan Anjani. "Jani... Abang tidak akan pernah meninggalkanmu. Kita akan lewati ini bersama. Kita akan bahagia, kok."
Anjani tersenyum. "Iya, Kadrun... kita akan bahagia."
Kadrun mencium kening Anjani. Ia merasa lega. Ia merasa bahagia. Ia merasa seperti baru saja memenangkan lotre. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi besok, tapi ia tahu, selama ia memiliki Anjani, ia akan baik-baik saja.
"Jani..." Kadrun berbisik. "Sekarang Abang boleh mandi?"
Anjani melepaskan pelukan Kadrun. Wajahnya kembali menjadi tegang. "Mandi? Kamu pikir jam berapa sekarang? Ini sudah sore! Mandi sore itu tidak sehat! Nanti masuk angin! Pergi! Bersihkan lagi jendelanya!"
Kadrun hanya bisa menghela napas. Ia tahu, ia harus bersabar. Ia harus bertahan. Karena inilah jalan yang menjaga sebuah rumah bertahan. Apalagi maki, tambah usia.
Pilihan