Ketika Cinta Melintasi Samudra: Kisah Hidayati dan Hiroshi
Cerpe: Cicipanda
Di sebuah desa kecil yang tenang di Sumenep, Madura, suasana tengah hari itu terasa berbeda dari biasanya. Udara hangat berbaur dengan aroma dupa dan bunga melati yang menghiasi pelaminan sederhana di halaman rumah Hidayati. Hari itu adalah hari pernikahan Hidayati, gadis desa yang dikenal ramah dan ceria, dengan Hiroshi, pemuda Jepang yang telah mencuri hatinya.
Perjalanan cinta mereka bukanlah kisah biasa. Mereka bertemu secara tak sengaja, namun kisah mereka berkembang melewati jarak dan perbedaan budaya yang begitu besar.
*****
Sekitar setahun yang lalu, Hiroshi datang ke Madura untuk berwisata sekaligus belajar sejarah dan budaya lokal. Sejak kecil, Hiroshi sudah tertarik dengan budaya Indonesia, terutama Madura yang kaya akan tradisi dan cerita rakyat.
Hari itu, di Keraton Sumenep yang megah, Hiroshi sedang mengamati relief kuno yang menceritakan sejarah kerajaan. Sambil mencatat di buku kecilnya, tanpa sengaja ia bertabrakan dengan seorang gadis muda yang sedang mengambil foto.
“Sumimasen! Maaf, saya tidak sengaja…” ucap Hiroshi dalam bahasa Jepang dengan aksen halus.
Gadis itu tersenyum, sedikit terkejut namun ramah. “Tidak apa-apa. Kamu dari Jepang?” tanyanya dalam bahasa Indonesia yang sederhana.
“Iya, saya Hiroshi. Sedang belajar tentang sejarah Madura,” jawabnya, sambil tersenyum.
“Saya Hidayati,” jawab gadis itu. “Kalau begitu, saya bisa bantu jelaskan sedikit tentang keraton ini.”
Mereka pun berbincang, meski Hiroshi hanya mengerti sedikit bahasa Indonesia, dan Hidayati hanya bisa beberapa kata bahasa Jepang yang pernah dipelajarinya dari internet. Namun, dengan sabar dan penuh semangat, mereka saling mengerti. Hiroshi menunjukkan gambar-gambar di ponselnya, dan Hidayati menjelaskan cerita-cerita di baliknya.
*****
Setelah pertemuan singkat itu, Hiroshi kembali ke Jepang. Namun hati mereka tetap terikat. Lewat ponsel, mereka terus berkomunikasi. Pesan demi pesan dikirimkan, video call yang kadang terputus-putus karena jarak dan jaringan, menjadi jembatan yang menghubungkan dua hati di dua benua berbeda.
Suatu malam, saat video call, Hiroshi berkata dengan suara lembut, “Hidayati, aku ingin bertemu lagi. Aku ingin lebih mengenalmu... dan budayamu.”
Hidayati tersipu. “Aku juga ingin, Hiroshi. Tapi kamu tahu, ada banyak hal yang harus kita hadapi... terutama agama kita.”
Benar, perbedaan keyakinan adalah sebuah hal yang tidak mudah. Hidayati adalah seorang muslimah yang taat, sementara Hiroshi beragama Shinto, sebuah kepercayaan tradisional Jepang.
Namun, Hiroshi memiliki tekad lain. Ia mulai mempelajari Islam secara serius, membaca Al-Qur’an, berbicara dengan ustadz di komunitas Muslim di Jepang, hingga akhirnya memutuskan untuk pindah agama.
Pada suatu hari, Hiroshi mengirim pesan suara yang membuat hati Hidayati bergetar, “Hidayati, aku sudah memutuskan. Aku ingin menjadi Muslim. Bukan hanya untukmu, tapi juga untuk hatiku sendiri.”
Hidayati menangis bahagia, “Alhamdulillah, Hiroshi. Aku bersyukur... kita bisa bersama dengan restu dari Allah.”
*****
Persiapan pernikahan pun dimulai. Keluarga Hidayati sibuk mengatur segala sesuatunya di desa. Ibu Hidayati, Bu Sari, seorang wanita sederhana namun tegas, berkata kepada suaminya, Pak Hasan, “Pak Hasan, kita harus sambut tamu dari Jepang dengan baik. Ini bukan cuma pernikahan anak kita, tapi juga jembatan budaya.”
Pak Hasan mengangguk, “Betul, Bu. Kita harus tunjukkan keramahan Madura yang sebenarnya.”
Sementara itu, di Jepang, keluarga Hiroshi juga sibuk mempersiapkan keberangkatan mereka ke Indonesia. Ayah Hiroshi, Mr. Takashi, adalah seorang pria yang disiplin dan agak konservatif. Awalnya, ia ragu dengan keputusan putranya menikah dengan gadis dari negara yang jauh dan berbeda budaya.
Namun, setelah berbicara dengan Hiroshi, dan mengetahui bahwa putranya sudah memeluk Islam, Mr. Takashi mulai menerima. “Hiroshi, aku tidak mengerti semua ini, tapi aku percaya kamu sudah memilih jalanmu dengan hati yang tulus.”
Ibu Hiroshi, Mrs. Yumi, lebih terbuka. “Aku ingin pergi ke Indonesia. Melihat langsung bagaimana hidup anak kita dan keluarga barunya.”
*****
Hari pernikahan tiba. Penduduk desa berdatangan, membawa berbagai hidangan tradisional Madura. Terlihat juga rombongan dari Jepang, lengkap dengan pakaian formal dan wajah-wajah penasaran dengan budaya baru yang mereka saksikan.
Di pelaminan yang dihiasi kain batik dan bunga melati, Hidayati berdiri dengan baju pengantin putih berhias sulaman emas. Hiroshi tampil dalam busana jas hitam dengan peci Madura yang dipasangkan oleh Pak Hasan.
Saat akad nikah, Ustadz Muhsin, yang menjadi penghulu, membacakan doa dengan suara khusyuk. Hiroshi mengucapkan ijab kabul dengan lancar, dan mata Hidayati berkaca-kaca.
“Dengan ini, Hiroshi dan Hidayati resmi menjadi suami istri,” ujar Ustadz Muhsin.
*****
Di tengah pesta, suasana hangat terasa saat keluarga kedua belah pihak mulai berbincang.
Mr. Takashi, dengan bahasa Inggris yang terbata-bata, berbicara kepada Pak Hasan, “I am glad to meet you. Your hospitality is very kind.”
Pak Hasan membalas dengan senyum, “Kami senang bisa menyambut keluarga Hiroshi. Semoga hubungan ini membawa kebaikan untuk kedua keluarga.”
Ibu Hidayati, Bu Sari, tersenyum sambil menawarkan teh manis, “Silakan, Bu Yumi. Ini teh khas Madura, semoga Anda suka.”
Mrs. Yumi membalas, “Terima kasih, teh ini sangat enak. Saya senang sekali bisa berada di sini.”
Di sudut lain, Hiroshi dan Hidayati duduk berdua, saling menggenggam tangan. “Aku tidak pernah menyangka bisa menjalani semua ini, dari jauh dan berbeda budaya,” kata Hiroshi.
Hidayati tersenyum, “Cinta memang tidak mengenal batas, Hiroshi. Kita sudah membuktikan itu.”
Malam itu, di bawah langit penuh bintang di desa kecil Madura, tawa dan doa mengiringi langkah baru dua insan yang bersatu dalam cinta dan keyakinan.
Pilihan