Konoha: Luka di Balik Cermin Kekuasaan
Cerpen: Beryl Abadi
Malam di ruang tengah selalu terasa dingin dan sunyi. Angin semilir menyelinap lewat celah jendela, membawa bisikan daun-daun beringin yang bergesekan di halaman. Di dalam ruang yang luas, Joko Winarno, atau yang akrab dipanggil Jokowi, duduk termangu. Kursi yang diduduki terasa lebih berat dari biasanya, seolah menanggung beban seluruh Republik Konoha. Lampu temaram menerangi tumpukan koran dan majalah yang tak lagi ia sentuh. Pikirannya jauh melayang, melintasi lorong waktu ke masa-masa awal jabatannya.
"Pembohong. Korup. Ijazah palsu. Dinasti."
Kata-kata itu berputar-putar di kepalanya, seperti kaset rusak yang tak pernah berhenti. Ia menarik napas dalam-dalam, memejamkan mata, mencoba mengusir bisikan-bisikan itu. Namun, bisikan itu bukan datang dari luar. Itu adalah suara batinnya sendiri, memantul dari dinding-dinding ruang kerjanya yang sepi.
"Kau pikir kau benar, Joko?" sebuah suara serak tiba-tiba muncul di sampingnya. Jokowi membuka mata. Tak ada siapa-siapa, hanya bayangannya sendiri yang terpantul di jendela kaca.
"Tentu saja aku benar," jawabnya lirih, berbicara pada pantulan dirinya. "Semua yang kulakukan sudah sesuai aturan. Prosedur sudah dilalui. Pembangunan itu demi rakyat."
"Demi rakyat? Atau demi keluargamu?" suara itu menyergah. "Kau bilang tidak akan membangun politik dinasti. Kau bilang akan mendengarkan suara rakyat. Tapi apa yang terjadi? Anakmu jadi pejabat. Menantumu jadi pejabat. Kau biarkan semua itu terjadi."
Jokowi menunduk. "Mereka punya hak. Mereka dipilih rakyat."
"Dipilih? Atau diskenariokan? Kau tahu betul bagaimana sistem ini bekerja, Joko. Kau tahu betul siapa yang bermain di belakang layar. Dan kau membiarkannya. Kau menikmati kekuasaan itu."
"Itu bukan menikmati," bantah Jokowi, suaranya naik satu oktaf. "Itu konsekuensi. Aku hanya ingin melanjutkan program-programku. Aku butuh orang-orang yang bisa dipercaya untuk melanjutkannya."
"Dan orang yang paling bisa kau percaya adalah keluargamu? Begitu?" suara itu terdengar sinis. "Kau lupa janji-janjimu. Kau lupa sumpahmu. Rakyat menuntut perubahan, tapi kau justru mengabadikan kekuasaan."
Jokowi bangkit dari kursinya, berjalan mendekati jendela. Ia menatap pantulan dirinya, yang kini terlihat samar-samar di antara rintik hujan yang mulai membasahi kaca. "Aku tidak pernah berniat seperti itu," gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri. "Aku hanya ingin yang terbaik untuk Konoha."
"Tapi jalanmu salah, Joko. Jalanmu melukai banyak orang. Mahasiswa turun ke jalan. Rakyat berunjuk rasa. Mereka kecewa. Mereka merasa dikhianati. Tidakkah kau lihat penderitaan mereka?"
Jokowi memejamkan matanya, merasakan perih yang menusuk di dadanya. Ia teringat wajah-wajah marah yang ia lihat di televisi. Spanduk-spanduk berisi cacian. Slogan-slogan yang menuntut keadilan.
"Aku melihatnya," bisiknya. "Dan itu menyiksaku. Setiap malam, wajah-wajah itu menghantuiku. Aku bertanya-tanya, di mana salahku?"
"Salahmu adalah kau terlalu mencintai kekuasaan. Kau terlalu takut kehilangan," suara itu kembali berbisik, kali ini terdengar lebih lembut, namun menusuk. "Kau pikir dengan terus berkuasa, kau bisa menyelesaikan semua masalah. Tapi kenyataannya, kau justru menciptakan masalah baru."
Jokowi kembali ke kursinya, menopang dagu dengan kedua tangan. Ia merenung. Kata-kata itu benar adanya. Sejak menjabat, ia merasa selalu dikejar-kejar waktu. Proyek-proyek besar harus selesai. Janji-janji harus ditepati. Ia bekerja siang malam, merasa yakin bahwa semua itu adalah demi kemajuan. Namun, di tengah kesibukan itu, ia perlahan-lahan kehilangan dirinya sendiri.
"Dulu, aku hanya seorang tukang kayu. Aku hidup sederhana. Aku tahu penderitaan rakyat kecil," gumamnya, mengenang masa lalu. "Kenapa sekarang aku jauh dari mereka? Kenapa aku tidak bisa lagi merasakan apa yang mereka rasakan?"
"Karena kau sudah menjadi bagian dari sistem yang kau benci," jawab suara itu. "Kau sudah menjadi bagian dari elite yang kau kritik. Kau sudah terlalu lama berada di atas. Udara di puncak gunung itu tipis, Joko. Kau lupa bagaimana rasanya bernapas di lembah."
Jokowi menunduk, air mata menetes di pipinya. Ia merasa sangat lemah, sangat rapuh. Semua kegagahan yang ia tunjukkan di depan publik, semua senyum yang ia paksakan, kini luruh.
"Aku menyesal," bisiknya, suaranya serak. "Aku menyesal telah membiarkan ini semua terjadi."
"Menyesal saja tidak cukup," suara itu menyergah. "Kau harus bertanggung jawab. Kau harus menghadapi konsekuensi dari perbuatanmu. Hukum akan datang. Dan kau harus siap."
Jokowi mengangkat kepalanya, menatap pantulan dirinya yang kini terlihat lebih jelas. Ia melihat sorot mata yang lelah, garis-garis kerutan yang dalam, rambut yang memutih. Itu adalah wajah seorang pria yang sudah terlalu lama bersembunyi di balik topeng.
"Aku tahu," katanya. "Aku sudah siap. Aku akan menunggu kepastian hukum itu."
"Tapi apakah itu cukup, Joko? Apakah itu akan mengembalikan kepercayaan rakyatmu? Apakah itu akan menghapus luka-luka yang kau sebabkan?"
Pertanyaan itu menggantung di udara, tak terjawab. Jokowi terdiam. Ia tahu, pengadilan tidak akan pernah bisa mengembalikan kepercayaan yang hilang. Hukuman apapun tidak akan pernah bisa menghapus luka-luka di hati rakyat.
"Tidak," bisiknya. "Tidak akan pernah cukup. Luka itu akan selalu ada."
Ia berjalan mendekati jendela, membuka sedikit celah, membiarkan angin dan rintik hujan menyentuh wajahnya. Dinginnya air itu terasa seperti air mata yang tak pernah berhenti.
"Aku hanya bisa berharap," gumamnya. "Semoga generasi selanjutnya tidak mengulangi kesalahanku. Semoga mereka belajar dari perjalananku. Semoga mereka tidak pernah melupakan janji-janji yang mereka ucapkan."
Ia menutup matanya, membiarkan suara batinnya terus berdialog. Dialog yang tak pernah berakhir. Antara kebenaran dan kesalahan. Antara kekuasaan dan pengabdian. Antara harapan dan kenyataan. Ia tahu, perjalanannya belum selesai. Kisahnya belum usai. Dan ia hanya bisa berdoa, semoga di akhir cerita, ia tidak hanya dikenang sebagai seorang mantan presiden, tetapi juga sebagai seorang manusia yang pernah mencoba, dan pernah mengakui kesalahannya. Meskipun, pengakuan itu hanya bisa ia ungkapkan kepada dirinya sendiri, di tengah sunyinya malam yang dingin.
Jokowi kembali ke meja kerjanya, mengambil pena, dan mulai menulis. Bukan sebuah surat keputusan, bukan sebuah pidato kenegaraan, melainkan sebuah pengakuan. Pengakuan yang ia tulis untuk dirinya sendiri, untuk sejarah, dan untuk rakyat yang pernah ia pimpin.
"Saya, Joko Winarno, mantan presiden Republik Konoha, ingin mengakui...."
Ia berhenti, berpikir. Kata-kata itu terasa berat, sulit untuk diucapkan, bahkan dalam tulisan. Namun, ia tahu ia harus melakukannya. Ia harus menghadapi dirinya sendiri, dengan segala kelemahan dan kesalahannya. Karena hanya dengan begitu, ia bisa benar-benar berdamai dengan masa lalunya, dan menatap masa depan dengan hati yang lebih ringan.
Ia melanjutkan menulis, pena bergerak perlahan, merangkai kata demi kata, kalimat demi kalimat. Pengakuan itu mengalir, seperti air mata yang tak pernah berhenti.
Malam semakin larut. Rintik hujan di luar jendela semakin deras, membasahi kaca, seperti air mata yang tak pernah kering. Di dalam ruang kerja yang sepi, seorang mantan presiden terus menulis, mencoba menemukan kedamaian dalam pengakuan.
Pilihan