Lima Pentigraf ChatGPT


Payung Kuning di Tengah Hujan

Hujan deras mengguyur kota sore itu. Di depan halte yang penuh orang, seorang gadis berdiri canggung dengan baju yang sudah basah. Tiba-tiba, seorang pemuda datang dengan payung kuning cerah, menawarinya tempat berteduh. Gadis itu sempat ragu, namun tatapan tulus pemuda membuatnya mengangguk pelan.

Mereka berjalan beriringan, langkah disatukan oleh sempitnya payung yang hanya muat untuk dua orang. Hujan menetes di tepi bahu mereka, tapi entah mengapa dingin sore itu terasa hangat. Percakapan ringan mulai mengalir, dari topik cuaca hingga mimpi-mimpi kecil yang membuat mereka saling tertawa.

Saat hujan mereda, pemuda itu berhenti di persimpangan jalan. Ia tersenyum, lalu menyerahkan payung kuningnya kepada sang gadis. “Bawa saja, mungkin besok hujan turun lagi,” katanya singkat. Gadis itu terdiam, menatap langkah pemuda yang perlahan menghilang di balik genangan, meninggalkan payung kuning sebagai tanda pertemuan yang tak terlupakan.

 

 

Kursi Kosong di Perpustakaan

Di pojok perpustakaan sekolah, ada satu kursi kayu yang selalu dipenuhi tumpukan buku bacaan. Kursi itu dulunya milik Andra, sahabat baik Raka, yang tak pernah lelah membaca hingga lupa waktu. Sejak Andra pindah sekolah, kursi itu tetap kosong, seakan menunggu seseorang untuk kembali.

Raka sering datang ke perpustakaan hanya untuk duduk di meja yang sama. Ia membuka buku apa saja, tapi pikirannya selalu teringat pada suara tawa Andra dan debat kecil mereka tentang cerita yang dibaca. Hening perpustakaan kini terasa semakin sunyi tanpa sahabatnya.

Suatu hari, Raka menaruh sebuah catatan kecil di atas kursi kosong itu: “Aku masih membaca di sini. Semoga kamu juga tetap membaca di sana.” Ia tersenyum tipis, lalu pergi. Kursi itu tetap kosong, tapi kini menyimpan kenangan yang lebih dalam dari sekadar tumpukan buku.

 

 

Sepotong Roti untuk Kucing Jalanan

Pagi itu, Rini berjalan terburu-buru menuju sekolah sambil menggenggam sepotong roti dari bekal ibunya. Di tikungan jalan, seekor kucing kurus duduk meringkuk di bawah pohon, bulunya kusut dan matanya sayu. Rini berhenti, menatap roti di tangannya, lalu menunduk menatap kucing itu.

Tanpa banyak pikir, ia merobek roti menjadi bagian kecil dan meletakkannya di dekat kucing. Perlahan, hewan itu maju dan mulai melahapnya dengan lahap. Rini tersenyum, merasa hangat meski perutnya mungkin akan keroncongan sebelum jam istirahat. Ada rasa puas yang sulit ia jelaskan.

Saat Rini hendak beranjak, kucing itu mengeong pelan, seolah mengucapkan terima kasih. Rini menoleh sekali lagi, lalu melanjutkan langkah dengan ringan. Hari itu, ia belajar bahwa berbagi tidak selalu butuh banyak, cukup dengan sepotong roti dan hati yang tulus.

 

 

Jam Tua di Meja Belajar

Di meja belajar Arif, selalu ada sebuah jam tua dengan bingkai kayu yang warnanya mulai pudar. Jam itu peninggalan ayahnya, yang dulu rajin membangunkan Arif setiap pagi sebelum berangkat kerja. Kini, ayahnya sudah tiada, tapi jarum jam itu tetap berdetak, seolah menjaga kenangan yang tak ingin hilang.

Setiap kali merasa lelah belajar, Arif menatap jam itu. Ia teringat nasihat ayahnya tentang waktu yang tak akan kembali jika disia-siakan. Detik demi detik seakan berbisik, memberi semangat agar Arif terus berjuang mengejar mimpinya.

Malam itu, menjelang ujian penting, Arif menutup buku dengan lega. Ia menyentuh jam tua itu pelan, lalu tersenyum. “Aku tidak akan mengecewakanmu, Ayah,” bisiknya. Jam itu berdetak lebih jelas, seakan ikut menyemangatinya melewati malam panjang.

 

 

Balon Merah di Atas Langit Kota

Di sebuah taman kecil, seorang anak melepaskan genggamannya tanpa sengaja. Balon merah yang ia pegang terbang perlahan, menembus ranting pohon lalu melayang tinggi ke langit kota. Anak itu menatap ke atas, berlari-lari kecil seakan bisa mengejarnya, meski tahu balon itu tak mungkin kembali.

Balon merah itu melayang melewati gedung-gedung tinggi, memantul cahaya senja yang mulai merayap. Orang-orang yang melihat ke atas sempat berhenti sejenak, tersenyum kecil, seakan balon itu membawa keceriaan yang singkat namun tulus.

Sementara itu, sang anak berhenti berlari. Ia menatap balon yang semakin jauh, lalu mengangkat tangan seakan melambaikan perpisahan. “Selamat jalan,” gumamnya. Dalam hatinya, ia berjanji suatu hari akan membeli balon lagi, tapi kali ini akan dijaga lebih erat, meski sebagian dirinya ingin tetap membiarkan sesuatu bebas melayang.

(Rulis/ChatGPT)

Pilihan

Tulisan terkait

Utama 6751976584240203685

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Daftar Isi

Loading....

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >

Pesan Buku

Pesan Buku

 Serpihan Puisi “Sampai Ambang Senja” merupakan buku kumpulan puisi Lilik Rosida Irmawati, penerbit Rumah Literasi Sumenep (2024).  Buku ini berjumlah 96 halaman, dengan pengantar Hidayat Raharja serta dilengkapi testimoni sejumlah penyair Indonesia.  Yang berminat, silakan kontak HP/WA 087805533567, 087860250200, dengan harga cuma Rp. 50.000,- , tentu bila kirim via paket selain ongkir.

Relaksasi


 

Jadwal Sholat

item
close