Menuju Gerbang Impian
Cerpen: Claudia
Di bawah langit Jakarta yang sering mendung, di sebuah sudut kota yang tersembunyi dari gemerlap gedung-gedung tinggi, tinggallah Mina bersama kedua anaknya, Ali dan Aliyah. Gubuk reyot mereka, yang terbuat dari triplek dan seng bekas, seolah menjadi saksi bisu perjuangan hidup seorang ibu.
Setiap pagi, sebelum matahari benar-benar menampakkan diri, Mina sudah bergegas, menyusuri gang-gang sempit, menembus tumpukan sampah demi mencari rezeki. Bagi Mina, hidup adalah pertarungan, dan ia adalah seorang petarung yang gigih.
"Bu, Ali lapar," rengek Ali suatu pagi, suaranya parau menahan lapar. Aliyah, adiknya yang masih balita, hanya bisa menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca.
Mina mengusap kepala kedua anaknya dengan lembut. "Sabar ya, Nak. Ibu sebentar lagi pulang bawa rezeki. Kalian tunggu di sini, jangan kemana-mana."
Ali dan Aliyah adalah anak yatim. Setahun yang lalu, sebuah tragedi merenggut ayah mereka. Kecelakaan tabrak lari di jalan raya, tanpa jejak, tanpa pertanggungjawaban. Dunia Mina seolah runtuh saat itu, namun demi kedua buah hatinya, ia harus bangkit. Mengumpulkan botol plastik, kardus bekas, dan besi rongsokan adalah satu-satunya cara untuk menyambung hidup.
"Lihat ini, Bu! Ali nemu boneka!" seru Aliyah suatu sore, matanya berbinar memegang boneka lusuh yang ditemukannya di tumpukan sampah.
Mina tersenyum tipis, hatinya terenyuh melihat kebahagiaan sederhana anaknya. "Bagus, Nak. Sekarang Aliyah punya teman main."
Meskipun hidup dalam keterbatasan, Mina tak pernah berhenti berdoa. Setiap sujudnya, ia selalu memohon agar Tuhan memberikan jalan keluar. Doa itu, seolah dijawab oleh semesta, datang dalam wujud seorang perempuan muda bernama Dindy.
Dindy adalah pemilik sebuah butik fashion ternama di pusat kota. Ia sering melakukan kegiatan sosial, dan suatu hari, saat sedang membagikan sembako di daerah kumuh, matanya tak sengaja menangkap sosok Ali yang sedang membantu ibunya memilah sampah. Ada sesuatu di mata anak itu, sebuah ketegaran dan kepolosan yang menarik perhatian Dindy.
"Anak ini sepertinya cerdas," batin Dindy. Ia mendekati Mina. "Ibu, maaf mengganggu. Saya Dindy. Saya perhatikan anak Ibu. Dia lucu sekali."
Mina terkejut, sedikit sungkan. "Oh, iya, Bu. Ini Ali. Dan ini Aliyah."
"Apakah Ali sudah sekolah, Bu?" tanya Dindy lembut.
Mina menunduk, "Belum, Bu. Kami tidak punya biaya."
Mendengar itu, hati Dindy tergerak. Ia melihat potensi besar pada Ali. "Bagaimana kalau saya yang menyekolahkan Ali? Saya ingin menjadikan dia anak asuh saya."
Mina terperangah. Air matanya menetes. "Benarkah, Bu? Tapi kami..."
"Jangan khawatir soal itu, Bu. Saya akan menanggung semua biaya sekolahnya, dari seragam, buku, sampai kebutuhan lainnya," jelas Dindy.
Bukan hanya itu, Dindy juga menawarkan pekerjaan kepada Mina di perusahaannya sebagai staf kebersihan, lengkap dengan gaji yang layak dan jaminan kesehatan. Mina seolah tidak percaya dengan kebaikan yang datang tiba-tiba ini.
"Saya tidak tahu harus berterima kasih bagaimana, Bu Dindy," ucap Mina, suaranya tercekat.
Dindy tersenyum hangat. "Jangan sungkan, Bu. Kita semua adalah keluarga. Saya percaya, Ali punya masa depan yang cerah."
Sejak hari itu, kehidupan Mina dan anak-anaknya berubah drastis. Ali mulai bersekolah, mengenakan seragam baru, membawa tas baru, dan memiliki buku-buku pelajaran yang bersih. Setiap pulang sekolah, ia akan bercerita dengan semangat tentang apa yang dipelajarinya.
"Bu, hari ini Ali belajar tentang hewan laut! Kata Bu Guru, ada ikan yang bisa menyala di gelapnya laut!" seru Ali penuh antusias.
Mina tersenyum, hatinya menghangat mendengar cerita anaknya. "Wah, hebat sekali anak Ibu."
Sementara itu, Mina bekerja dengan giat di perusahaan Dindy. Ia tidak lagi memulung, tidak lagi harus bersusah payah mengais rezeki di tumpukan sampah. Gaji yang didapatnya cukup untuk menyewa sebuah rumah kecil yang lebih layak, jauh dari gubuk reyot yang dulu mereka tinggali. Aliyah pun kini bisa bermain dengan tenang di halaman rumah.
Suatu malam, saat Mina sedang menyiapkan makan malam, Dindy datang berkunjung.
"Bagaimana kabar kalian, Bu Mina?" tanya Dindy.
"Baik sekali, Bu Dindy. Terima kasih atas semua kebaikan Ibu. Hidup kami jadi jauh lebih baik," jawab Mina tulus.
Dindy menatap Ali yang sedang asyik mengerjakan PR. "Ali anak yang pintar, Bu. Gurunya sering memuji dia."
"Itu semua berkat Ibu Dindy," kata Mina, menatap Dindy dengan mata berkaca-kaca. "Saya tidak tahu apa jadinya kami tanpa Ibu."
"Sudah kewajiban kita untuk saling membantu, Bu Mina," sahut Dindy. "Semua ini juga berkat ketekunan dan doa Ibu."
Waktu terus berjalan. Ali tumbuh menjadi remaja yang cerdas dan berprestasi. Ia berhasil mendapatkan beasiswa penuh untuk melanjutkan pendidikannya hingga ke perguruan tinggi. Aliyah pun menyusul kakaknya, tumbuh menjadi gadis periang yang juga rajin belajar. Mina, dengan pekerjaan tetapnya, bisa hidup mandiri dan bahkan menyisihkan sebagian uangnya untuk ditabung.
Pada hari wisuda Ali, Mina dan Aliyah duduk di antara para hadirin, mata mereka berbinar bangga. Dindy juga hadir, tersenyum haru melihat hasil dari benih kebaikan yang ia tanam bertahun-tahun lalu.
Setelah acara selesai, Ali menghampiri Mina dan Dindy. "Bu, Bu Dindy, terima kasih banyak atas segalanya. Tanpa kalian, Ali tidak akan sampai di titik ini."
Mina memeluk anaknya erat. "Nak, ini semua buah dari doamu dan kerja kerasmu."
Dindy tersenyum. "Ali, kamu adalah bukti bahwa mimpi bisa diraih, tidak peduli seberapa sulit awalnya."
Kisah Mina, Ali, dan Aliyah menjadi bukti nyata bahwa di tengah kerasnya hidup, selalu ada harapan dan kebaikan yang bisa mengubah segalanya. Sebuah kisah pilu yang berakhir bahagia, menunjukkan bahwa keajaiban bisa datang dalam bentuk uluran tangan sesama, dan doa seorang ibu adalah kekuatan tak terbatas yang mampu menembus langit.
Mina memandangi kedua anaknya dan Dindy. Ia teringat akan masa lalu yang penuh air mata, dan kini, air mata yang menetes adalah air mata kebahagiaan. Hidup memang sebuah pertarungan, namun kali ini, Mina merasa menjadi pemenang sejati.
Pilihan