Pentigraf Ken Agnibaya: Potret Sudut Kota
Potret Sudut Kota
(Yogyakarta - untuk anak yang tertidur beralas kardus di Jl. C Simanjuntak)
Di ujung gang sempit yang becek dan gelap, seorang anak lelaki duduk memeluk lututnya sambil menatap kosong ke langit yang mendung. Ibunya baru saja meninggal pagi tadi karena tak mampu membeli obat dari resep yang dokter beri dua minggu lalu. “Kalau kamu besar nanti, jangan tinggal di sini,” bisik ibunya terakhir kali dengan suara yang hampir tak terdengar.
Rumah satu-satunya kini telah menjadi milik tuan tanah yang datang membawa surat dan polisi, memaksanya pergi sebelum matahari terbenam. Ia hanya membawa tas kecil berisi foto keluarga yang telah usang dan sepotong roti basi yang diberi tetangga sebelah. “Maaf ya Nak, Ibu juga susah,” kata tetangga itu dengan tatapan sedih dan tangan yang gemetar.
Malam turun dengan cepat, dan anak itu masih berjalan tanpa arah, melewati keramaian kota yang tak peduli pada sepasang kaki kecil yang menggigil di trotoar. Lampu-lampu toko menyala terang, memantulkan senyum palsu di jendela manekin yang berpakaian mahal. “Kenapa orang miskin harus terus bertahan sendirian?” tanyanya lirih pada bintang yang sembunyi di balik awan.
April 2025
Pulang
Hujan turun deras ketika kereta perlahan meninggalkan stasiun, membawa serta perempuan tua yang duduk diam di balik jendela, menahan air mata yang sejak tadi tak terbendung. Tak ada satu pun dari kelima anaknya yang datang mengantar, meski ia telah menjual rumah demi membayar utang mereka satu per satu. “Ibu cuma ingin kalian bahagia, walau harus sendiri di akhir,” ucapnya lirih pada kursi kosong di sampingnya.
Di kampung tempat ia menuju, hanya ada sebuah rumah panggung tua warisan orang tuanya yang telah lama tak berpenghuni, tempat ia berharap bisa menutup mata dengan tenang suatu hari nanti. Ia menggenggam erat surat dari panti jompo yang telah disiapkan diam-diam oleh anak bungsunya, tak ingin lagi menjadi beban. “Maaf, Bu… bukan tak mau, kami benar-benar sibuk,” tulis si bungsu di secarik kertas yang dilipat terburu-buru.
Langit malam tak memberi jawaban saat ia tiba di stasiun terakhir, hanya suara jangkrik dan bau tanah basah yang menyambut, seolah ikut merasakan kesunyiannya yang tak bertepian. Ia melangkah perlahan, membawa seluruh hidupnya di tas kecil yang berat bukan karena isi, tapi karena kenangan. “Mungkin di sini, akhirnya Ibu bisa benar-benar pulang,” katanya pelan pada pintu coklat berkerak di depannya.
Yogyakarta, April – 2025
Perjumpaan
Di sebuah pelataran rumah sakit umum seorang pria paruh baya duduk dengan tangan gemetar memegang hasil rontgen anaknya. Ia terpekur menapaki masa lalu perbuatannya. Berhasil menjadi juragan sementara anak dan kekasihnya memungut makanan di tong sampah. Sang ibu mati dan anaknya menderita penyakit paru-paru kronis karena terlalu lama hidup di jalanan tanpa pelindung dan kasih sayang. “Ayah… aku nggak marah, aku cuma rindu,” kata anak itu saat mereka pertama kali bertatap mata di ruang IGD yang sesak.
Lima belas tahun lalu, ia tak siap menghadapi kenyataan kekasihnya hamil ‘anak haram’, sebutan orang-orang kala itu. Ia pergi jauh melanjutkan pendidikan hingga sukses menghampirinya. Sayang disayang ia tiada bisa beranak karena penyakit entah apa namanya, mungkin kutukan Tuhan. Dengan kuasanya ia mencari anak yang ditinggalkannya dulu. “Akhirnya kita bertemu, meskipun begini keadaannya,” ucap sang ayah sambil menggenggam tangan anaknya yang kurus, dingin, dan kumal.
Di balik dinding rumah sakit yang retak, dua hati yang lama hilang akhirnya saling menemukan dalam luka dan air mata yang terlambat. Dunia di luar tetap bising dan tak peduli, tapi di dalam ruangan kecil itu, waktu seolah berhenti hanya untuk mereka. “Terima kasih sudah datang, Ayah,” bisik sang anak sebelum tertidur; selamanya.
April – Yogyakarta
Au Revoir
Rumah sakit umum penuh sesak. Seorang ayah tua duduk sendirian di bangku besi dingin, menatap lantai dengan mata sayu yang kehilangan cahaya. Sudah tiga hari ia menunggu anaknya yang berjanji datang menjemput setelah operasi katarak yang membuatnya nyaris buta. “Katanya, Bapak jangan khawatir, nanti dijemput sore,” ucapnya pada perawat yang hanya mengangguk pelan.
Makanan rumah sakit sudah tak diberi lagi sejak kemarin dan uang di sakunya hanya cukup untuk segelas air hangat dari kantin. Ia mencoba berdiri, tetapi lututnya gemetar dan pandangannya buram oleh usia dan harapan yang mulai pudar. “Mungkin anak saya sibuk, dia orang penting sekarang,” katanya sambil tersenyum kecut pada petugas kebersihan yang lewat.
Malam datang bersama suara sirine dan langkah tergesa-gesa, namun tak satu pun langkah itu menuju bangku tempat ia duduk menanti. Hanya kucing liar yang mendekat, mengendus sisa roti di tangannya dan tidur di bawah kakinya yang lelah. “Bapak nggak kemana-mana, Bapak tunggu di sini saja,” gumamnya pada bayangan anak yang terus ia panggil dalam diam. Dan malam semakin larut.
April – Yogyakarta
Paket Tanpa Nama
Di balik dinding rumah reyot yang hampir roboh, seorang ibu renta terbaring lemah dengan tubuh kurus terbungkus kain tipis, menanti suara langkah anaknya yang dulu berjanji akan pulang setelah sukses di kota. Sudah lebih dari lima belas tahun surat-suratnya tak berbalas, hanya bingkisan sesekali yang datang tanpa nama pengirim, seolah kasih sayang bisa dibungkus kardus dan dikirim lewat kurir. “Ibu nggak butuh apa-apa selain kamu pulang,” bisiknya pada foto lama yang digenggamnya erat.
Hari itu hujan turun deras saat tetangga menemukan tubuh sang ibu yang sudah dingin, masih dalam posisi memeluk foto, dengan senyum kecil yang entah karena harapan atau penyesalan yang tak selesai. Mereka menguburkannya di tanah kecil di samping rumah, karena tak ada keluarga yang datang atau mengaku. “Kami cuma tetangga, tapi rasanya beliau seperti ibu sendiri,” ucap salah satu dari mereka sambil menabur bunga liar di atas makam sederhana itu.
Pemulung berkaki satu itu memasuki kantor jasa pengiriman saat berita kematian seorang ibu sebatang kara muncul di layar tv. Paket tanpa nama di tangannya terlepas, ia terduduk dengan tangis meraung. Dirabanya kaki buntungnya yang kecelakaan kerja saat awal merantau. Kesuksesan yang ia janjikan berubah malu yang tak terperikan. Hanya paket-paket sederhana tanpa nama yang ia kirimkan. Tak ada pelukan terakhir, tak ada kata maaf yang sempat disampaikan. Hanya sunyi yang abadi. “Maaf, Bu...,” bisiknya tanpa alamat.
April 2025 – Yogyakarta
Pentigrafis: Ken Agnibaya
Pesan Pesan Tak Terdengar
Di bawah kolong jembatan yang bising oleh kendaraan, tiga anak kecil duduk berdesakan dalam kardus bekas, berbagi selimut tipis yang lebih sering basah daripada hangat. Mereka sudah terbiasa tidur dengan perut kosong, menanti pagi untuk kembali mengamen di lampu merah demi beberapa receh. “Kak, nanti kalau kita punya rumah, boleh nggak aku tidur pakai bantal?” tanya si bungsu sambil memeluk lutut.
Hari itu petugas datang membawa truk, menggusur tempat mereka berteduh tanpa penjelasan yang bisa dimengerti, hanya teriakan dan dorongan. Boneka kumal milik si tengah terlempar ke selokan, dan ia hanya bisa menatapnya hilang terbawa arus air kotor. “Mainanku… itu satu-satunya,” bisiknya dengan suara pecah.
Malam berikutnya mereka tertidur di emper toko yang dingin, dikurung oleh hujan dan dunia yang selalu menutup mata. Tak ada yang tahu bahwa si bungsu demam tinggi sejak pagi, dan tubuhnya mulai menggigil hebat di balik jaket kakaknya yang tipis. “Nanti kalau aku nggak bangun, jangan tinggalin aku sendirian ya, Kak” ucapnya pelan sebelum matanya tertutup dalam sunyi yang tak seharusnya dimengerti anak sekecil itu.
April 2025 - Yogyakarta
Merdeka
Hujan menetes pelan di teras rumah reyot itu, seolah ikut menertawakan hidup Siti yang kian ringkih. Di tangannya, secarik foto pudar suaminya, Hasan, terselip di sela kain lusuh. “Katanya, merdeka itu bahagia,” gumamnya, menatap langit yang tak pernah memberi jawaban. Ironis—kemerdekaan justru meninggalkan dirinya sendirian dengan perut kosong.
Dulu, Hasan berangkat dengan janji pulang setelah perang usai, membawa cerita kemenangan dan secangkir teh hangat. Nyatanya, yang kembali hanyalah kabar samar bahwa ia gugur entah di mana. “Pahlawan itu mati untuk bangsa,” katanya pada dirinya sendiri, sambil menghitung lubang di dinding rumah yang tak kunjung tertambal. Bangsa merdeka, tapi dapurnya tetap dingin.
Kini Siti duduk di bawah lampu minyak yang berkelip, mengusap foto yang hampir rapuh. Ia tersenyum tipis, getir, seperti menertawakan takdir. “Ah, merdeka… rasanya seperti ini, rupanya.” Dan hujan pun reda, meninggalkan sunyi yang lebih bising daripada mesiu yang berdesing.
Yogyakarta, Agustus 2025
Sumenep pentigraf: FB Ken Agnibaya
Pilihan