Wisata Literasi ke Pantai Badur
https://www.rumahliterasi.org/2025/09/wisata-literasi-ke-pantai-badur.html?m=0
Cerpen: Rulis
Pukul enam pagi, langit mulai cerah dengan semburat jingga yang menyambut hari baru. Di sekretariat Rulis, lima sahabat sudah berkumpul dengan semangat yang menggebu. Yuli, Wiwin, Taufik, Fifin, dan Lilik, pembina sekaligus mentor mereka, siap berangkat menuju Pantai Badur untuk wisata literasi.
“Sudah sarapan belum? Karena nanti kita cuma makan sekali, jadi pastikan perut kenyang ya,” pesan Lilik sambil memeriksa perlengkapan.
“Sudah, aku bawa bekal juga kok. Nanti kita makan siang di tepi pantai sambil menikmati suasana,” jawab Fifin sambil mengangkat tas ranselnya.
Mobil Rulis sudah menunggu di halaman. Mereka berempat masuk ke dalam mobil, dan Lilik duduk di kursi depan bersama sopir. Mesin menyala, dan perjalanan pun dimulai.
*****
Perjalanan sekitar 60 menit dari kota Sumenep menuju Kecamatan Batuputih itu terasa menyenangkan. Jalanan yang berkelok dan pemandangan sawah menghampar di kiri kanan membuat mata segar.
“Aku bawa buku catatan dan pena. Nanti aku mau langsung menulis apa yang kita lihat,” kata Yuli antusias.
Wiwin membuka jendela sedikit, membiarkan angin segar masuk ke dalam mobil, “Aku pengin bikin puisi tentang perjalanan kita hari ini. Rasa angin dan suara alam bisa jadi inspirasi.”
Taufik mengeluarkan kamera dari tas, “Aku juga akan banyak foto. Nanti bisa jadi dokumentasi dan bahan ilustrasi tulisan kita.”
Fifin tersenyum, “Seru ya, wisata literasi ini. Jadi nggak cuma jalan-jalan, tapi juga belajar dan berkarya.”
Lilik menambahkan, “Betul. Ingat, kita cuma makan sekali nanti. Jadi jangan lupa istirahat dan nikmati setiap momen perjalanan ini.”
*****
Setibanya di Pantai Badur, mereka disambut pemandangan luas pantai dengan pasir putih yang bersih dan ombak yang tenang. Matahari sudah mulai naik, memberikan sinar hangat yang menyelimuti.
“Lihat, sungai di tepi pantainya itu! Ayo kita cek,” ajak Yuli sambil berjalan cepat.
Mereka mendekati sungai kecil yang airnya tampak jernih dan segar. Meski air laut pasang dan bercampur, rasa tawar sungai itu tetap terjaga. Wiwin tanpa ragu merasakan air sungai itu.
“Ini benar-benar unik. Aku belum pernah lihat seperti ini sebelumnya,” kata Wiwin dengan takjub.
Lilik mengajak untuk duduk di bawah pohon rindang, “Ini waktu yang tepat untuk kita mulai menulis, membaca, dan berdiskusi. Pantai ini punya banyak cerita yang bisa kita gali.”
*****
Mereka membuka tas masing-masing dan mengeluarkan buku catatan, pena, dan kamera. Suasana pantai yang tenang dan angin sepoi-sepoi menjadi latar yang pas untuk berkarya.
Yuli mulai menulis cerita pendek tentang petualangan seorang anak yang menemukan sungai ajaib di pantai ini. Wiwin sibuk menciptakan puisi yang menggambarkan keindahan alam dan misteri sungai.
Taufik mengambil foto-foto detail air sungai dan panorama pantai, sambil mencatat narasi visual. Fifin menggali informasi dari beberapa penduduk lokal yang sedang memancing, menanyakan sejarah dan legenda setempat.
Lilik mengamati sambil memberikan masukan, “Coba kalian eksplorasi juga sisi budaya dan alamnya. Bagaimana pengaruh pantai ini terhadap kehidupan masyarakat sekitar.”
*****
Menjelang tengah hari, perut mulai berbunyi. Mereka memutuskan makan siang bersama di tepi pantai. Dengan pemandangan laut yang indah, mereka membuka bekal yang sudah dibawa.
“Enak banget ya makan di sini. Suasananya bikin kita makin rileks,” kata Fifin sambil menikmati nasi bungkus.
“Ini kesempatan bagus untuk saling bertukar ide sambil makan. Kalian sudah dapat inspirasi apa dari pagi tadi?” tanya Lilik.
Yuli menjawab, “Aku makin semangat menulis cerita pendek. Suasana dan pengalaman di sini benar-benar mengalir ke dalam tulisanku.”
Wiwin berbagi, “Puisi aku juga sudah beberapa baris, tentang air sungai yang bertahan tawar di tengah laut.”
Taufik menimpali, “Foto-foto sudah cukup banyak. Nanti aku akan buat album kecil untuk dokumentasi Rulis.”
Fifin menambahkan, “Aku juga mau coba menulis artikel pendek tentang sejarah Pantai Badur dari cerita warga lokal.”
Obrolan santai diiringi suara deburan ombak membuat waktu terasa cepat berlalu.
*****
Setelah makan, mereka berjalan menyusuri garis pantai yang panjang. Angin laut yang semakin sejuk membawa aroma segar dan suara burung camar yang terbang rendah.
“Ini waktu yang tepat untuk refleksi dan menulis apa yang kita rasakan hari ini,” ujar Lilik.
Mereka duduk di batu-batu besar, menulis dan menggambar sketsa pemandangan. Beberapa saling membaca hasil tulisan dan memberi komentar membangun.
“Tapi jangan lupa, nanti kita harus pulang sebelum malam ya. Supaya perjalanan kembali nyaman,” ingat Lilik.
“Aku setuju. Tapi aku juga nggak mau buru-buru, suasananya terlalu indah,” kata Yuli dengan senyum.
*****
Menjelang sore, langit mulai berubah warna menjadi jingga lembut. Mereka berkemas dan naik ke mobil, siap kembali ke kota.
“Perjalanan pulang ini bisa jadi waktu untuk diskusi lagi,” kata Taufik sambil menyalakan musik ringan.
Di dalam mobil, mereka berbagi pengalaman, saling bercerita hal-hal menarik yang ditemukan, dan merencanakan karya-karya yang akan mereka buat.
“Momen hari ini benar-benar berharga. Wisata literasi yang singkat tapi penuh makna,” kata Wiwin.
Lilik mengangguk, “Ini bukti kalau literasi bisa dilakukan dimana saja, selama kita punya semangat dan rasa ingin tahu.”
Matahari mulai tenggelam ketika mobil memasuki kota Sumenep. Mereka turun dengan hati penuh inspirasi dan semangat baru.
*****
Satu hari di Pantai Badur menjadi pengalaman tak terlupakan bagi Rulis. Dengan perjalanan singkat yang padat kegiatan, mereka tidak hanya menikmati keindahan alam, tapi juga memperkaya jiwa lewat literasi. Kisah, puisi, foto, dan artikel yang lahir dari sana menjadi bukti bahwa perjalanan singkat bisa memberi dampak besar bagi kreativitas dan persahabatan.