Tantangan Dunia Perpuisian dan Kepenyairan di Era Kecerdasan Buatan (AI)


Puisi, sebuah seni yang lahir dari gejolak batin, kearifan lokal, dan pengalaman hidup yang tak terjamah, kini menghadapi sebuah paradoks kontemporer. Di era digital yang didominasi oleh kecerdasan buatan (AI), seni purba ini dihadapkan pada pertanyaan fundamental: apa yang membuat sebuah puisi menjadi puisi, dan apa peran penyair ketika algoritma mampu merangkai kata dengan kecepatan kilat?

Di tengah hiruk-pikuk revolusi teknologi ini, lanskap sastra Indonesia, dengan kekayaan tradisi lisan dan modernitasnya, menjadi cermin yang menarik untuk melihat bagaimana tantangan ini dimanifestasikan dan dihadapi. Tantangan ini bukan hanya soal persaingan, melainkan sebuah refleksi eksistensial tentang otentisitas, keaslian, dan makna seni itu sendiri.

Kemunculan AI generatif, seperti GPT-4, Bard, atau bahkan model yang lebih spesifik, telah mengubah cara kita memandang proses kreatif. Mesin-mesin ini, yang dilatih dengan miliaran data teks—termasuk ribuan, bahkan jutaan, puisi dari berbagai era dan budaya—mampu menghasilkan deretan larik yang terstruktur, memiliki rima, dan bahkan menyentuh tema-tema tertentu.

Mereka bisa meniru gaya Sapardi Djoko Damono yang puitis dan sederhana, atau meniru kejeniusan Sutardji Calzoum Bachri yang eksperimental. Keterampilan ini, yang dulunya membutuhkan bertahun-tahun pengembaraan batin dan pengasahan teknis, kini bisa diakses hanya dengan beberapa perintah.

Bagi penyair, ini adalah tantangan yang meresahkan. Tantangan pertama adalah kompetisi kuantitas. AI dapat menghasilkan ratusan puisi dalam waktu yang dibutuhkan seorang penyair manusia untuk menulis satu larik. Dalam dunia yang menuntut kecepatan dan produktivitas, penyair manusia seolah-olah tertinggal.

Di berbagai platform media sosial seperti Instagram atau TikTok, di mana puisi-puisi pendek sering dibagikan, sulit untuk membedakan mana yang ditulis oleh tangan manusia yang gemetar karena emosi, dan mana yang diracik oleh server yang dingin.

Tantangan kedua, dan yang paling krusial, adalah erosi otentisitas. Puisi selalu dianggap sebagai cerminan jiwa penyair. Latar belakang hidup, pengalaman cinta, duka, perjuangan, hingga momen-momen paling intim, semuanya terangkum dalam bait-bait.

Ketika Chairil Anwar menulis “Aku” dengan segala pemberontakannya, atau Wiji Thukul menulis “Peringatan” yang menggugah, kekuatan puisi mereka terletak pada pengalaman nyata dan penderitaan otentik yang melahirkannya. AI, sebaliknya, tidak memiliki pengalaman, tidak pernah jatuh cinta, dan tidak pernah merasa takut.

Ia hanya mengolah data, merangkai probabilitas kata. Puisi yang dihasilkan AI mungkin indah secara estetika, tetapi kosong dari napas kehidupan. Di sinilah letak perbedaan yang paling mendasar: puisi manusia lahir dari jiwa, sedangkan puisi AI lahir dari algoritma.

Dalam konteks sastra Indonesia, perdebatan ini bukan lagi wacana akademis belaka. Di berbagai grup diskusi kepenyairan di media sosial, atau di sela-sela acara pembacaan puisi di kafe-kafe literasi, pertanyaan ini mulai mengemuka.

Seorang penyair muda dari Yogyakarta, yang mungkin namanya tidak setenar para senior, bisa jadi merasa karyanya tenggelam di antara ribuan puisi instan yang diposting setiap hari, sebagian di antaranya mungkin adalah hasil karya AI. Ini menimbulkan kegamangan dan pertanyaan: apakah kerja kerasnya selama ini masih dihargai? Apakah makna dari sebuah puisi tidak lagi terletak pada siapa yang menulisnya, tetapi pada seberapa banyak 'like' yang didapatnya?

Namun, di balik semua tantangan ini, ada juga peluang besar. AI, alih-alih menjadi musuh, dapat menjadi kolaborator atau alat bantu. Para penyair bisa menggunakan AI sebagai semacam "bengkel ide" untuk mencari inspirasi, mengeksplorasi diksi yang tidak terduga, atau bahkan sebagai penantang kreatif untuk menguji batasan-batasan gaya mereka.

Seorang penyair bisa meminta AI untuk membuat puisi dengan tema tertentu, kemudian membongkar dan merakit ulang puisi tersebut dengan sentuhan personal mereka, menjadikannya sebuah karya yang sepenuhnya baru. Proses ini menempatkan penyair dalam peran baru: dari sekadar pencipta menjadi kurator dan direktur artistik atas karyanya sendiri.

Lebih dari itu, kehadiran AI justru memaksa penyair untuk mendefinisikan kembali esensi kepenyairan. Jika AI bisa meniru teknik dan gaya, maka nilai seorang penyair tidak lagi terletak pada kemampuannya merangkai kata secara teknis, melainkan pada kemampuan untuk menghadirkan jiwa dan pengalaman tak tergantikan ke dalam karya.

Nilai puisi tidak lagi hanya pada produk akhirnya, tetapi pada proses penciptaannya yang penuh makna, serta pada konteks emosional dan historis yang melatarinya. Puisi manusia akan semakin dihargai karena ia membawa bukti keberadaan dan perjuangan manusia.

Fenomena ini juga mendorong komunitas sastra Indonesia untuk kembali ke akarnya, yaitu interaksi manusia. Di tengah banjirnya konten digital, acara-acara pembacaan puisi, lokakarya, dan diskusi tatap muka semakin relevan. Di acara-acara ini, audiens tidak hanya datang untuk mendengarkan puisi, tetapi juga untuk menyaksikan penyair membacakan karyanya, merasakan intonasi, emosi, dan energi yang mengalir.

Momen-momen ini, yang tidak bisa direplikasi oleh AI, menjadi pengingat bahwa puisi adalah tentang komunikasi dari hati ke hati. Puisi, pada akhirnya, adalah tentang manusia yang berbicara kepada manusia lain.

Kesimpulannya, era AI memang menghadirkan tantangan eksistensial bagi dunia perpuisian dan kepenyairan. Namun, ini bukanlah akhir dari puisi. Justru, ini adalah sebuah panggilan untuk kembali ke esensi. Puisi yang sejati tidak akan pernah tergantikan oleh algoritma karena ia membawa jejak sidik jari jiwa, yang tidak dapat dipindai atau ditiru.

Di era AI, peran penyair berevolusi: mereka tidak hanya lagi menjadi pencipta, tetapi juga penjaga api kebenaran batin dan otentisitas manusia. Tugas mereka kini adalah memastikan bahwa di tengah semua kebisingan digital, suara hati manusia tetap terdengar jelas dan lantang melalui bait-bait yang mereka tulis, yang lahir dari pengalaman hidup, bukan dari data.

(tulisan ini diproduksi oleh AI)

 

Pilihan

Tulisan terkait

Utama 1955708313560059079

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Daftar Isi

Loading....

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >

Pesan Buku

Pesan Buku

 Serpihan Puisi “Sampai Ambang Senja” merupakan buku kumpulan puisi Lilik Rosida Irmawati, penerbit Rumah Literasi Sumenep (2024).  Buku ini berjumlah 96 halaman, dengan pengantar Hidayat Raharja serta dilengkapi testimoni sejumlah penyair Indonesia.  Yang berminat, silakan kontak HP/WA 087805533567, 087860250200, dengan harga cuma Rp. 50.000,- , tentu bila kirim via paket selain ongkir.

Relaksasi


 

Jadwal Sholat

item
close