Bahkan untuk Menghina pun Perlu Pendidikan
(Sebuah Renungan tentang Pentingnya Literasi dan Kecerdasan Berbahasa)
“Negara ini perlu literasi, bahkan untuk menghina pun perlu pendidikan.”
Kalimat singkat yang dilontarkan pengamat politik Rocky Gerung ini terdengar seperti sindiran, tapi sebenarnya adalah cermin dari kenyataan sosial yang kita hadapi hari ini. Ia menampar dengan halus, namun meninggalkan renungan yang dalam: betapa banyak orang yang pandai berbicara, tapi sedikit yang benar-benar mengerti makna kata.
Di era media sosial, setiap orang bisa berbicara apa saja, kepada siapa saja, kapan saja. Sayangnya, kebebasan berbicara tidak selalu diiringi dengan kemampuan berpikir. Banyak yang berkomentar tanpa membaca, menilai tanpa memahami, dan menghina tanpa alasan.
Kata-kata yang seharusnya menjadi jembatan pemahaman, justru berubah menjadi senjata yang melukai.
Di sinilah pentingnya pendidikan dan literasi — bukan sekadar untuk menambah wawasan, tetapi untuk membentuk kebijaksanaan dalam berbicara dan menulis. Orang yang berpendidikan tidak asal bicara. Ia memahami bahwa kata memiliki daya: daya untuk menyembuhkan, dan daya untuk menghancurkan. Ia tahu bahwa kritik tidak harus kasar, dan ketidaksetujuan tidak harus dibungkus dengan kebencian.
Seseorang yang berpendidikan tinggi tidak akan mudah tergoda untuk menghina. Ia akan memilih kata yang tepat, menyampaikan maksud dengan sopan, dan mengedepankan argumen, bukan amarah.
Sebaliknya, mereka yang miskin literasi sering kali merasa paling benar, padahal tidak paham apa yang dibicarakan. Ia memaki tanpa isi, menghakimi tanpa bukti. Ia lupa, bahwa semakin ia berbicara tanpa ilmu, semakin ia memperlihatkan ketidaktahuannya sendiri.
Ungkapan itu — “bahkan untuk menghina pun perlu pendidikan” — sesungguhnya bukan sekadar lelucon bernada sinis. Ia adalah cermin betapa rendahnya mutu literasi publik kita. Betapa banyak perdebatan berubah menjadi pertengkaran, dan kritik berubah menjadi hujatan.
Padahal, dengan literasi, manusia bisa berbeda pendapat tanpa kehilangan hormat. Dengan pendidikan, manusia belajar menyampaikan kritik dengan kepala dingin dan hati jernih.
Kita sering lupa bahwa literasi bukan hanya kemampuan membaca teks, tetapi juga kemampuan membaca situasi, memahami konteks, dan menimbang makna. Orang yang literat tidak akan langsung marah pada sesuatu yang ia tidak setujui; ia akan mencari tahu, memahami, dan baru kemudian berbicara. Ia tahu kapan harus diam, dan kapan harus bersuara.
Sebuah bangsa yang maju tidak hanya diukur dari banyaknya gedung sekolah, tetapi dari seberapa cerdas warganya menggunakan pikirannya. Literasi menjadikan masyarakat lebih rasional, lebih beradab, dan lebih manusiawi dalam berinteraksi.
Sebab, tanpa literasi, kebebasan berbicara hanyalah kebisingan.
Maka benar adanya, negara ini tidak hanya butuh infrastruktur dan teknologi, tetapi juga butuh literasi — butuh pendidikan yang menumbuhkan akal sehat dan kehalusan budi.
Karena tanpa itu, kita akan terus melihat bagaimana kata-kata digunakan bukan untuk membangun, tetapi untuk meruntuhkan.
Dan mungkin, ketika semua orang telah cukup terdidik, kita tak lagi perlu mengingatkan bahwa “bahkan untuk menghina pun perlu pendidikan.” Karena saat itu tiba, kita semua akan tahu bahwa menghormati sesama adalah bentuk tertinggi dari kecerdasan.
(Rulis)
Pilihan





