Bayangan yang Tak Tumbuh di Tanah Basah
Cerpen Sulis
Randi duduk di halaman rumah barunya. Rumput tampak rapi, bata merah tersusun bersih tanpa lumut, udara lembab, tapi tidak ada aroma tanah yang hidup. Angin seolah hanya lewat tanpa menyentuh apa pun. Di depan sana, matahari seperti paku berkarat di langit — tidak panas, tidak hangat, hanya ada, tanpa makna.
Ia menatap bayangannya sendiri di permukaan kaca jendela. Bayangan itu tak bergerak serempak. Ada selisih sekian detik — kecil, tapi cukup untuk membuat dadanya sesak. Ia ingin berpaling, tapi tak bisa. Ia ingin tertawa, tapi tak tahu kenapa.
Di dalam bayangan itu, ia melihat seseorang yang tak lagi seperti dirinya. Rambutnya tampak lebih lebat, kulitnya lebih hidup, dan matanya seperti menyimpan sesuatu yang Randi lupa pernah miliki: nyala.
Sejenak ia teringat masa lalu — sebuah rumah tua yang ia tinggalkan bertahun-tahun lalu. Rumah itu penuh tawa, debu, dan cangkir-cangkir kopi. Orang-orang datang dan pergi, membaca puisi di bawah lampu redup, berdebat sampai dini hari tentang makna kesenian, tentang jiwa, tentang hidup yang absurd tapi indah. Sekarang, semuanya tinggal gema samar di dinding ingatannya.
Dan yang paling aneh, gema itu kini berbicara dengan suaranya sendiri.
Ia merasa dirinya sedang diawasi. Tidak oleh manusia, tapi oleh bayangan itu — oleh “aku” yang berdiri di balik kaca, memandang dari balik refleksi yang tak mau hilang bahkan ketika senja datang.
Malam tiba.
Rumah itu sunyi. Lampu ruang tengah berpendar kekuningan seperti sumbu yang hendak padam. Di meja, segelas teh hangat menua bersama pikirannya yang retak.
Ia menulis sesuatu di selembar kertas:
"Aku tidak tahu siapa yang tinggal di tubuh ini sekarang."
Tulisan itu berhenti di tengah. Tangannya gemetar. Ia mendengar langkah kaki di koridor. Padahal ia tinggal seorang diri.
Ia mencoba berdiri, tapi lututnya berat, seolah lantai menahannya. Dari arah jendela, terlihat bayangan bergerak. Bayangan yang bukan miliknya — karena arah cahaya tak sesuai dengan sumbernya.
Bayangan itu perlahan membesar, menelan bentuknya sendiri, lalu berhenti di ambang pintu. Tak bersuara, tak berwajah, tapi Randi tahu siapa itu. Itu dirinya — yang dulu.
Malam itu, Randi bermimpi.
Ia berjalan di koridor panjang yang temboknya terbuat dari foto-foto lama. Wajah-wajah masa lalu menatapnya: murid-muridnya, teman-teman yang dulu memanggilnya guru, sahabat-sahabat yang dulu tertawa bersamanya di rumah tua yang kini kosong. Tapi setiap wajah memiliki retakan kecil, seperti kaca yang siap pecah.
Setiap langkah Randi membuat satu wajah hancur menjadi serpihan cahaya. Hingga akhirnya, hanya satu foto tersisa — dirinya sendiri, duduk di kursi rotan, tersenyum samar.
Ketika ia menyentuh foto itu, kulitnya terasa dingin, seperti menyentuh kulit orang mati. Lalu dari balik foto, keluar tangan yang identik dengan tangannya sendiri. Tangan itu menariknya masuk ke dalam bingkai.
Ia terjerembab dalam ruang tanpa warna, tanpa suara. Di sana, bayangan itu menunggunya — versi dirinya yang dulu, muda, penuh gairah, penuh karya, penuh makna.
"Aku," pikir Randi, "ini aku yang dulu."
Namun tak ada suara.
Bayangan itu menatapnya dengan mata kosong. Ia tidak marah, tidak sedih — hanya menatap seperti seseorang yang menilai apakah tubuh itu masih layak dihuni.
Pagi tiba dengan rasa janggal.
Randi terbangun, tapi tidak di tempat tidurnya. Ia duduk di kursi dekat jendela, tepat di tempat ia biasa merenung. Di tangannya, segelas teh dingin yang sama. Di meja, kertas dengan tulisan yang kini berbeda:
"Aku sudah kembali. Sekarang giliranmu beristirahat."
Randi menatap tulisan itu lama. Tulisan itu bukan miliknya — tapi hurufnya persis sama.
Ia menatap bayangan di kaca. Kali ini, bayangan itu tersenyum lebih dulu.
Ia mencoba tersenyum juga, tapi wajahnya tak bergerak. Bibirnya kaku, matanya membeku, seolah tubuhnya sedang dipinjam oleh sesuatu yang lain.
Hari-hari berikutnya berjalan aneh.
Ia mulai menemukan benda-benda di tempat yang tak seharusnya. Lukisan lama muncul di ruang tamu, padahal dulu sudah ia buang. Buku-buku puisi yang ia pikir hilang, kini tersusun rapi di rak, dengan debu yang seolah berasal dari dua puluh tahun lalu.
Dan setiap malam, ia mendengar suara samar di ruang belakang — suara tawa, tepuk tangan, denting gelas. Seperti pesta kecil di rumah tuanya dulu. Tapi tak ada siapa pun di sana.
Ketika ia memberanikan diri memeriksa, ruang itu kosong, hanya cermin besar berdiri di dinding. Di dalam cermin, ia melihat ruangan lain — ruangan yang lebih hidup, dengan orang-orang tertawa, dengan dirinya di tengah mereka, berbicara, tersenyum, menjadi pusat dunia yang dulu ia rindukan.
Ia menatap lama.
Bayangan di cermin menatap balik.
Lalu sesuatu di dalam dirinya mulai retak.
Ia mulai menulis kembali.
Setiap malam, tangannya menari di atas kertas tanpa kendali. Kata-kata keluar begitu saja, tanpa ia tahu maknanya. Ia hanya merasa perlu menulis, seperti sedang menjadi alat dari sesuatu yang lebih besar darinya.
Karya-karya itu semakin banyak, semakin dalam, tapi juga semakin gelap. Ia menulis tentang kehilangan yang menelan dirinya sendiri, tentang cahaya yang takut pada siang, tentang manusia yang menulis surat kepada bayangannya.
Setiap kali selesai, ia merasa kosong, tapi bahagia — bahagia dengan cara yang tidak wajar, seperti seseorang yang baru saja mengubur dirinya sendiri dan tersenyum melihat pusaranya.
Suatu malam, ia mendengar suara dari ruang depan — seperti seseorang sedang berjalan di dalam rumahnya. Langkah itu berat, pasti, dan akrab.
Ia keluar dengan hati-hati. Lampu remang, udara tebal seperti kabut. Di sana, di depan cermin besar itu, berdiri sosok dirinya sendiri — tapi bukan bayangan. Ia berdiri nyata, dengan pakaian yang sama seperti Randi kenakan di masa mudanya: kemeja lusuh, celana catatan puisi di saku, mata penuh nyala.
Sosok itu menatap Randi dengan tatapan yang tak bisa dijelaskan: antara iba, dendam, dan kasih.
Randi ingin bicara, tapi ingat — ia tidak boleh bicara. Tidak dalam dunia ini.
Bayangan itu mendekat. Langkahnya pelan, tapi setiap langkah membuat lampu bergetar, udara berdesir, dan jantung Randi berdetak seolah hendak pecah.
Ketika jarak tinggal sejengkal, bayangan itu mengangkat tangan, menyentuh wajah Randi. Sentuhannya dingin tapi familiar.
Dan tiba-tiba, Randi merasakan tubuhnya ringan, sangat ringan — seperti sedang keluar dari kulitnya sendiri.
Ia melihat dirinya jatuh ke lantai, matanya terbuka, tapi tak bernyawa. Sementara bayangan itu perlahan menegakkan tubuh, tersenyum, lalu berbalik menuju jendela.
Di kaca jendela, kini hanya ada satu bayangan.
Keesokan paginya, tetangga melihat Randi duduk di kursi depan rumah, menatap taman. Ia tampak tenang, bahkan lebih segar dari biasanya.
Ketika disapa, ia tersenyum. Katanya, malam tadi ia mendapat mimpi indah — mimpi tentang rumah lamanya, tentang tawa teman-temannya, tentang dirinya yang kembali menemukan semangat yang hilang.
Tetangga itu ikut tersenyum, lalu berlalu.
Tapi ketika matahari bergeser sedikit, bayangan Randi di tanah tak bergerak. Ia tetap di tempatnya, beku, tak mengikuti arah cahaya.
Dan jika diperhatikan lebih dekat, bayangan itu tersenyum — dengan cara yang berbeda dari Randi yang duduk di kursi.
Hari berganti.
Rumah itu kini lebih ramai. Banyak orang datang, teman-teman lama, murid-muridnya dulu. Mereka berkata Randi akhirnya “kembali seperti dulu.” Ia kembali menulis, mengajar, tertawa, bahkan bernyanyi.
Namun setiap orang yang datang pulang dengan perasaan ganjil — seperti berbicara dengan seseorang yang mirip Randi, tapi bukan Randi.
Ada sesuatu yang terlalu tenang di wajahnya, terlalu dalam di matanya, terlalu asing dalam suaranya.
Dan di ruang belakang, cermin besar itu tertutup kain putih. Tapi kadang, di malam hari, dari balik kain itu terlihat cahaya redup — seperti seseorang sedang menulis di sana, menulis tanpa henti, tanpa suara.
Suatu sore, hujan turun deras.
Randi duduk di kursi depan, memandang langit yang kelabu. Air menetes dari atap, menyapu halaman yang mulai hijau. Ia menatap tanah basah di depannya.
Tapi aneh — tak ada bayangan di sana.
Ia tersenyum samar, lalu memejamkan mata. Dalam diam, ia merasa dua dunia saling bertukar posisi: yang hidup menjadi bayangan, dan yang bayangan menjadi nyata.
Dan pada saat itu, entah siapa yang duduk di kursi itu.
Hujan berhenti.
Di kaca jendela, ada tulisan samar yang muncul dari uap dingin:
"Aku masih di sini, hanya tanahnya yang tak lagi mengenali bayangan





