Ketika Budaya dan Kewargaan Terabaikan: Tantangan Literasi untuk Bangsa Indonesia

Tradisi gotong royong, salah satu penerapan literasi budaya dan kewargaan

Negara kita, Indonesia, dikenal dengan keberagaman yang luar biasa — suku bangsa, bahasa, adat-istiadat, budaya lokal, serta sejarah yang panjang dan kaya. Keberagaman itu sesungguhnya adalah salah satu kekuatan bangsa, identitas yang mesti kita jaga dan rawat bersama. Dalam konteks ini, muncul dua konsep yang saling berkaitan erat: literasi budaya dan literasi kewargaan.

Literasi budaya bisa diartikan sebagai kemampuan untuk memahami, menghargai, dan menyikapi kebudayaan sendiri maupun kebudayaan orang lain dalam masyarakat. Literasi kewargaan berkaitan dengan pemahaman hak dan kewajiban sebagai warga negara, kesadaran akan keberadaan norma, aturan, kebijakan, serta tanggung jawab sosial kita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Ketika kedua literasi ini berjalan dengan baik, maka masyarakat tidak hanya menjadi “penghuni” sebuah bangsa, melainkan warga yang aktif, sadar, dan mampu menjaga identitas sekaligus berkontribusi positif. Namun kenyataannya, banyak masalah yang masih muncul — baik dalam lapangan kebudayaan maupun dalam ranah kewargaan — yang menunjukkan bahwa literasi budaya dan kewargaan belum terwujud secara optimal di Indonesia.

Dalam esai ini saya ingin menguraikan bagaimana literasi budaya dan kewargaan seharusnya menjadi fondasi identitas bangsa, kemudian melihat berbagai permasalahan yang muncul dalam praktik sehari-hari, serta merenungkan beberapa faktor penyebabnya dan arah pemecahan yang mungkin.

Literasi Budaya dan Kewargaan sebagai Landasan Identitas Bangsa
Bangsa Indonesia memiliki semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” — berbeda-beda tetapi tetap satu. Budaya lokal yang tersebar di ratusan suku dan ribuan pulau menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas nasional kita. Literasi budaya dalam konteks ini artinya mampu memahami bahwa adat, tradisi, bahasa daerah, serta nilai-nilai lokal bukan sekadar “untuk dipamerkan”, tetapi bagian dari cara kita melihat, merasakan, dan berinteraksi dalam kehidupan bersama.

Sebaliknya, literasi kewargaan mengajak kita untuk memahami bahwa sebagai warga negara Indonesia kita memiliki hak yang dilindungi (misalnya hak pendidikan, hak kebebasan beragama, hak atas identitas budaya) dan kewajiban (membayar pajak, mematuhi aturan, ikut serta dalam kehidupan sosial dan politik, menghormati hak orang lain). Pendidikan kewargaan dan budaya harus berjalan beriringan: ketika seseorang memahami budayanya, ia menjadi lebih kuat identitasnya; ketika seseorang memahami kewargaannya, ia menjadi warga yang lebih bertanggung­jawab.

Penelitian menunjukkan bahwa integrasi literasi budaya dan literasi kewargaan memiliki kontribusi yang signifikan dalam pendidikan, terutama di tingkat dasar. Ketika anak sejak kecil dibekali kemampuan untuk menghargai budaya lokal dan menyadari tanggung jawabnya sebagai warga negara, maka mereka tumbuh menjadi pribadi yang tidak hanya “ada” tetapi aktif dalam mewujudkan kebhinekaan dan keadaban bersama.

Dengan demikian, literasi budaya dan kewargaan bukan hanya sekadar “materi” di sekolah atau slogan nasional, melainkan mekanisme penting untuk menjaga identitas bangsa dan kualitas kehidupan bernegara. Tanpa itu, ada risiko identitas menjadi keropos, ada risiko warga kita menjadi pasif atau bahkan tidak memahami peran dan tanggung jawabnya dalam masyarakat.

Beberapa Rupa Permasalahan Nyata
Namun di lapangan kita menemukan banyak problem yang menandakan bahwa literasi budaya dan kewargaan masih menghadapi tantangan besar. Beberapa di antaranya:

  1. Lunturnya budaya sopan santun dan penghargaan terhadap adat
    Sebuah studi menemukan bahwa pengaruh globalisasi, teknologi dan perubahan sosial membuat siswa dan generasi muda di Indonesia menunjukkan perilaku yang “meluntur” dari nilai-ke­santunan tradisional, seperti menghormati guru, menghargai orang tua, mematuhi norma sosial.Ketika nilai-nilai sopan santun yang khas dalam budaya kita mulai mengalami deviasi, maka adalah sinyal bahwa literasi budaya tidak hanya belum maksimal — bahkan mulai terkikis.
  2. Konflik akibat keberagaman budaya
    Meskipun keberagaman adalah kekayaan, ia juga mendatangkan tantangan besar. Dalam masyarakat yang multikultural, interaksi antarbudaya bisa memunculkan stereotip, diskriminasi, konflik antarsuku atau antaragama, jika kesadaran budaya rendah dan tidak diimbangi oleh literasi kewargaan. Sebagai contoh, artikel di media mencatat bahwa konflik antarsuku masih terjadi karena kurangnya penghargaan dan pemahaman budaya.
  3. Pengaruh globalisasi dan budaya asing
    Studi literatur menunjukkan bahwa globalisasi dan arus budaya asing tanpa filter yang tepat dapat mengancam identitas budaya lokal dan nasional. Sebuah penelitian menyebut bahwa warga Indonesia mulai “lebih memilih menerapkan budaya asing daripada budaya sendiri”, sehingga identitas nasional bisa digerogoti.
  4. Rendahnya literasi budaya dan kewargaan
    Ada pemetaan bahwa literasi ini masih rendah, sehingga nilai-karakter kebangsaan berisiko tereduksi. Sebuah penelitian menemukan bahwa minimnya literasi budaya dan kewargaan dapat mereduksi nilai karakter kebangsaan. Ketika warga negara tidak memahami hak dan kewajibannya, atau tidak memiliki kesadaran atas kekayaan budaya sendiri, maka kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara akan terasa rapuh.
  5. Pendidikan yang belum sepenuhnya memberdayakan literasi ini
    Meskipun kurikulum sudah memasukkan unsur kebudayaan dan kewargaan, realitas di lapangan menunjukkan bahwa integrasi tersebut belum berjalan optimal. Tantangan seperti sumber daya pendidik, pendekatan yang monoton, serta lingkungan keluarga dan masyarakat yang kurang mendukung menjadi hambatan.

Mengapa Hal Ini Terjadi? Sebab-Sebannya
Permasalahan di atas tentu bukan muncul begitu saja, melainkan didorong oleh berbagai faktor yang saling berkaitan. Berikut beberapa sebab utama:

  • Arus modernisasi dan globalisasi
    Teknologi, media sosial, budaya pop global — semua ini memberikan banyak pilihan baru bagi generasi muda kita. Sementara itu, nilai-nilai lokal dan budaya tradisional menjadi kalah “menarik” atau bahkan dianggap kuno. Ketika seseorang tidak punya literasi budaya yang kuat, maka mudah terbawa arus budaya luar tanpa filter nilai. Sebuah studi menyebut bahwa pengaruh lingkungan eksternal seperti media dan budaya luar menjadi faktor penyebab lunturnya nilai sopan santun. journal.ummat.ac.id
  • Kurangnya pendidikan yang menitikberatkan pada literasi budaya dan kewargaan secara interaktif
    Pendidikan formal terlalu sering fokus pada aspek kognitif (pengetahuan), namun kurang memberikan pengalaman konkret, dialog, refleksi atas identitas budaya dan peran warga negara. Integrasi literasi budaya dan kewargaan membutuhkan pendekatan yang kolaboratif, interaktif, kontekstual – dan ini belum selalu tersedia. journal.unpas.ac.id+1
  • Lingkungan keluarga dan masyarakat yang lemah dalam menanamkan nilai budaya dan kewargaan
    Pendidikan nilai memang dimulai dari keluarga dan masyarakat. Jika di rumah tidak dibiasakan menghormati adat, menghargai orang lain, memahami hak dan kewajiban sendiri sebagai warga, maka sekolah saja tidak cukup untuk “menyetarakan” kekurangan tersebut. Sebuah penelitian menyebut faktor keluarga dan lingkungan sebagai penyebab perilaku yang tidak menghargai guru atau norma sosial. journal.ummat.ac.id
  • Ketimpangan sosial dan ekonomi
    Dalam situasi masyarakat yang tidak merata, dimana akses pendidikan dan sumber daya budaya berbeda-beda antarwilayah, maka literasi budaya dan kewargaan bisa menjadi “lompong”. Daerah perifer atau yang kurang berkembang mungkin punya keterbatasan dalam akses pendidikan yang menguatkan literasi ini, dan bisa menjadi lebih rentan terhadap pengabaian identitas maupun kewargaan.
  • Kurangnya sosialisasi dan implementasi kebijakan budaya dan kewargaan yang efektif
    Memang sudah ada regulasi, misalnya dalam konstitusi dan undang-undang ke­budayaan. Namun regulasi saja tidak menjamin perubahan nyata jika implementasi di tingkat lokal masih lemah atau tidak dicover secara menyeluruh. Sebuah penelitian menyebut bahwa ada regulasi yang memadai tetapi belum diselenggarakan dengan baik.

Dampak Bila Tidak Ditangani
Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka konsekuensinya bisa sangat serius bagi kehidupan berbangsa dan bernegara:

  • Identitas nasional dapat melemah, warga menjadi kurang merasa “bersatu” dan memiliki kesadaran terhadap warisan budaya sendiri. Ketika budaya lokal mulai diabaikan atau digantikan secara pasif oleh budaya luar, maka jati diri bangsa bisa kabur.
  • Kehidupan sosial bisa menjadi rapuh, terutama dalam keberagaman. Tanpa apresiasi budaya dan pemahaman kewargaan yang baik, konflik antar­budaya atau antar­kelompok bisa muncul — bukan karena satu budaya lebih unggul, tapi karena kurangnya literasi dan penghargaan.
  • Warga negara bisa menjadi pasif: kurang memahami haknya atau bahkan kewajibannya. Jika banyak warga yang tidak tahu atau tidak peduli terhadap kewajiban seperti ikut serta dalam proses demokrasi, membayar pajak, menjaga lingkungan bersama, maka kualitas kehidupan publik akan menurun.
  • Kualitas pendidikan karakter dan budaya menjadi rendah, generasi muda tumbuh tanpa pemahaman yang kuat akan dirinya sebagai warga dan bagian dari bangsa, yang bisa berdampak pada masa depan demokrasi, toleransi, dan keadaban sosial.

Refleksi dan Arah Pemecahan
Meskipun tantangannya besar, bukan berarti kita menyerah. Ada beberapa refleksi dan arah pemecahan yang menurut saya penting untuk dipertimbangkan:

  1. Memperkuat pendidikan literasi budaya dan kewargaan secara holistik
    Kurikulum harus terus diperkaya dengan materi yang tidak hanya “mengetahui” budaya dan kewargaan, tetapi “mengalami” dan “menghayati”. Metode pembelajaran bisa menggunakan proyek-kelompok, kerja lapangan ke komunitas budaya, diskusi antarbudaya, simulasi kewargaan, hingga penggunaan media digital interaktif. Hal ini sesuai dengan penelitian bahwa integrasi literasi budaya dan kewargaan melalui metode interaktif sangat penting.
  2. Mendorong keluarga dan masyarakat untuk menjadi ruang utama penanaman nilai
    Sekolah memang penting, namun budaya rumah dan masyarakat tetap menjadi benteng awal. Perlu program-program edukasi orang tua, masyarakat, tokoh adat, tokoh agama agar mereka memahami bahwa nilai budaya dan kewargaan bukan hanya untuk anak sekolah, tetapi untuk seluruh kehidupan. Program budaya lokal yang melibatkan masyarakat juga bisa memperkuat literasi budaya.
  3. Menggunakan media dan teknologi sebagai alat memperkuat, bukan melemahkan, literasi budaya
    Daripada hanya menghadapi arus budaya luar dengan sikap defensif, lebih bijak bila kita memanfaatkan media sosial, platform digital, film, podcast, aplikasi untuk mengenalkan, menghidupkan dan menyebarluaskan nilai budaya lokal dan literasi kewargaan. Misalnya aplikasi yang memungkinkan generasi muda mengeksplorasi adat-istiadat daerahnya, membuat dokumentasi budaya, atau ikut serta dalam diskusi kewargaan secara daring.
  4. Mendorong partisipasi warga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
    Literasi kewargaan bukan sekadar pengetahuan, tapi juga aksi. Pemerintah, lembaga masyarakat, sekolah, dan komunitas harus memfasilitasi ruang untuk warga menjadi partisipan aktif — misalnya forum warga, komunitas budaya, organisasi masyarakat, kegiatan kebangsaan lokal. Ketika warga ikut serta secara nyata, maka pemahaman akan hak dan kewajiban menjadi hidup.
  5. Membangun kesadaran bahwa keberagaman budaya adalah kekayaan, bukan ancaman
    Penting sekali mengubah paradigma dari “perbedaan = masalah” menjadi “perbedaan = kekayaan”. Gerakan-gerakan literasi yang menekankan toleransi, saling menghormati antar­budaya, dialog antar­komunitas, dapat memperkuat ikatan sosial. Artikel media telah menunjukkan bahwa stereotip, diskriminasi, mikro­agresi masih cukup umum dalam interaksi antar­budaya di Indonesia.
  6. Memastikan kebijakan dan regulasi dijalankan secara nyata di tingkat lokal
    Regulasi kebudayaan dan kewargaan perlu diterjemahkan dalam program-nyata di masyarakat. Pemerintah daerah, sekolah, dan organisasi komunitas perlu diberi dukungan (sumber daya, pelatihan, anggaran) agar literasi budaya dan kewargaan bukan hanya slogan, tetapi praktik nyata yang berdampak.

Mengembalikan atau memperkuat literasi budaya dan kewargaan di Indonesia adalah tugas bersama—sekolah, keluarga, masyarakat, pemerintah, media dan generasi muda semuanya punya peran. Budaya kita bukanlah barang kuno yang hanya disimpan di museum, melainkan roh yang hidup dalam interaksi sehari-hari kita: bagaimana kita mengucapkan salam, bagaimana kita menghormati orang lain, bagaimana kita merayakan keberagaman, bagaimana kita ikut serta dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Sebagai warga negara Indonesia, kita tidak hanya mewarisi kebudayaan dan negara, tetapi juga mewujudkan dan menjaga keduanya. Literasi budaya dan kewargaan adalah “rumah” kita untuk memahami siapa kita, ke mana kita akan, dan bagaimana kita bersama hidup dalam bangsa yang besar dan beragam ini.

Jika kita membiarkan literasi ini melemah, kita akan kehilangan satu bagian penting dari diri kita — identitas bersama dan tanggung jawab bersama. Sebaliknya, jika kita berhasil menguatkannya, maka kita bisa menghadapi tantangan zaman, globalisasi, perubahan sosial dengan mantap, sambil tetap tegak sebagai bangsa yang menghargai akar budaya dan menyadari hak dan kewajibannya sebagai warga negara.

Semoga esai ini bisa menjadi refleksi bersama dan juga panggilan untuk bertindak: mari kita tingkatkan literasi budaya dan kewargaan — demi Indonesia yang kita cintai bersama.

(Rulis, dirangkum dari beberapa sumber)

Pilihan

Tulisan terkait

Utama 7310729638766339436

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Daftar Isi


 

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >

LOMBA BACA PUISI BAHASA MADURA

LOMBA BACA PUISI BAHASA MADURA
Info selengkapnya, klik gambar

Relaksasi


 


 

Jadwal Sholat

item
close