Ketika Hati Belajar Pulang
Cerpen Nurhayati
Di usia empat puluh tahun, Wardi sering merasa hidupnya seperti rumah tanpa jendela—aman dari gangguan luar, tapi gelap di dalam. Ia punya segalanya: bisnis properti yang sukses di Surabaya, rumah dua lantai yang tertata rapi, mobil mewah yang mengilap, dan tubuh atletis hasil disiplin gym setiap pagi. Namun setiap kali pulang ke rumah di sore hari, hanya suara langkahnya sendiri yang terdengar. Sunyi, seperti gema masa lalunya yang tak kunjung padam.
Bagi sebagian orang, Wardi adalah simbol kesuksesan. Tapi bagi dirinya sendiri, ia hanya seseorang yang belum selesai berdamai dengan kenangan.
Setiap kali seseorang bertanya, “Kapan nikah, Di?”, ia hanya tersenyum kecil. “Belum waktunya,” jawabnya singkat.
Tapi sebenarnya, bukan tentang waktu.
Ini tentang luka yang belum kering sejak lama.
Bayangan Ibu Tiri
Malam-malam tertentu, Wardi masih terbangun karena mimpi buruk. Dalam mimpi itu, ia kembali menjadi anak lima tahun yang memeluk boneka kayu buatan ayahnya, berjongkok di pojok dapur sambil menahan tangis.
“Kamu dasar anak tak tahu diri! Makan aja numpang!” bentak suara perempuan paruh baya. (Suara ibu tirinya dulu, Ny. Ratmi, bergema dalam ingatan Wardi).
Ia masih ingat betul, tangan kasar ibu tirinya yang sering melayang dengan sendok sayur panas. Kadang, hanya karena ia memecahkan gelas, atau karena tak sempat mencuci piring. Tapi yang lebih menyakitkan adalah ketika kakak tirinya, Janit, ikut menertawakannya di depan teman-temannya di sekolah.
“Itu Wardi, anak numpang! Ibu tirinya aja kasihan ngerawat dia!” kata Janit pada teman-teman sekolahnya. (Wardi masih bisa mendengar ejekan itu setiap kali ia menatap cermin).
Sejak itu, perempuan baginya adalah bayangan yang bisa menampar kapan saja. Mereka manis di luar, tapi menyakitkan di balik senyum. Begitulah Wardi belajar menutup diri, dan setiap luka di masa kecil itu berubah menjadi benteng besi yang tak bisa ditembus.
Kota dan Luka yang Dibungkus Rapi
Setamat SMA, Wardi minggat ke Surabaya dengan uang pas-pasan dan tekad penuh amarah. Ia bekerja serabutan: jadi tukang parkir, kuli bangunan, sampai penjaga toko. Tapi perlahan, keuletannya mulai membuahkan hasil.
Ia belajar bisnis properti dari bosnya, dan di usia 28 tahun, Wardi sudah punya proyek pertamanya sendiri.
Namun, di balik kesuksesannya, ia tetap menyimpan kebiasaan lama—menjaga jarak dari perempuan.
Kolega-koleganya sering bercanda soal itu.
“Gila, bro. Lu cakep, kaya, tapi masih jomblo. Mau nunggu malaikat turun apa?” tanya Deni, rekan kerjanya, sambil menepuk pundaknya.
Wardi hanya tersenyum. “Malaikat juga perempuan, Den. Jadi sama aja.” ujarnya ringan, meski nada suaranya getir. (Ucapan itu membuat Deni hanya bisa tertawa kaku).
Ada beberapa perempuan yang mencoba mendekat. Ada yang sekadar ingin berkenalan, ada pula yang sungguh-sungguh. Tapi semuanya kandas.
Suatu kali, seorang wanita bernama Rika, marketing di kantor rekanannya, sempat cukup dekat dengannya.
“Mas Wardi itu terlalu tenang. Kayak sungai yang nggak pernah mau kelihatan dalam,” kata Rika suatu malam di kafe setelah meeting. (Nada suaranya lembut, tapi matanya tajam).
“Karena kalau dalam, orang bisa tenggelam,” jawab Wardi pelan. (Rika terdiam beberapa detik, lalu tersenyum sedih).
Hubungan mereka berakhir tanpa alasan yang jelas. Hanya berhenti begitu saja, seperti hujan yang tiba-tiba reda. Dan sejak itu, Wardi semakin yakin bahwa perasaan hanya membawa bencana.
Rutinitas Tanpa Rasa
Hidup Wardi berjalan seperti jam tangan mahal—presisi, tapi dingin.
Pagi ia berlari di taman kota, siang rapat di kantor, sore di gym, malam di rumah besar yang sunyi. Tak ada ruang untuk spontanitas, tak ada celah untuk orang lain masuk.
Sesekali ia menatap cermin kamar tidurnya yang besar.
“Seharusnya aku bahagia,” gumamnya sendiri, tapi matanya kosong.
Kadang, di layar ponselnya muncul video-video pendek dari media sosial: suami takut istri, istri menuntut harta, pertengkaran rumah tangga viral. Semua itu seperti penguat keyakinannya: “Lihat, itulah kenapa aku tak butuh perempuan.”
Namun di sisi lain, tiap kali ia melihat keluarga muda di taman—anak kecil berlari diikuti tawa ibunya—ada sesuatu di dadanya yang terasa sesak. Seolah ada ruang kosong yang semakin menua bersamanya.
Pertemuan Tak Disengaja
Hari itu, Wardi sedang menghadiri seminar bisnis di Malang. Di sela acara, ia duduk di pojok ruang lobi hotel, menatap laptop.
Seorang perempuan menghampiri meja di depannya, membawa secangkir kopi. Rambutnya dikuncir sederhana, mengenakan blus krem dan celana panjang gelap.
“Boleh duduk di sini? Kursi lain penuh.” kata perempuan itu. (Nada suaranya sopan, tapi tegas).
“Silakan,” jawab Wardi tanpa banyak menoleh. (Ia tetap mengetik, tapi matanya sempat melirik sekilas).
Perempuan itu bernama Sinta, konsultan keuangan yang juga jadi pembicara di acara yang sama. Tanpa disangka, obrolan singkat tentang pekerjaan berlanjut menjadi diskusi panjang soal hidup.
“Kadang kita terlalu sibuk membangun tembok, sampai lupa menanam bunga di dalamnya,” ujar Sinta, sambil tersenyum setelah mendengar Wardi bicara soal trauma masa kecilnya.
“Kalau temboknya roboh, bunga itu bisa hilang,” jawab Wardi spontan. (Ia menatap kosong ke arah jendela).
“Tapi kalau tidak pernah menanam, kamu bahkan takkan tahu seperti apa warnanya,” balas Sinta lembut. (Kalimat itu membuat dada Wardi hangat entah kenapa).
Itu pertama kalinya dalam bertahun-tahun Wardi merasa nyaman berbicara dengan perempuan tanpa merasa terancam.
Sinta tidak menekan, tidak menuntut. Ia hanya mendengarkan, seperti air yang menerima bentuk wadahnya.
Surat dari Masa Lalu
Beberapa minggu setelah pertemuan itu, Wardi menerima sepucuk surat dari kampung halamannya di Bangkalan. Surat dari seorang tetangga lama. Isinya singkat:
“Janit meninggal dunia dua minggu lalu. Ibu Ratmi sakit parah di rumah sakit kabupaten. Katanya ingin bertemu kamu.”
Wardi menatap surat itu lama sekali.
Rasanya seperti menatap luka lama yang tiba-tiba membuka diri sendiri.
Malam itu, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, Wardi memutuskan pulang ke kampung halaman.
Rumah tua itu masih berdiri, tapi kusam. Di dalam kamar rumah sakit, seorang perempuan tua dengan rambut memutih menatapnya dengan mata lemah.
“Wardi... kamu datang juga…” suara itu bergetar. (Itu ibu tirinya, Ny. Ratmi).
Wardi tidak tahu harus menjawab apa. Bertahun-tahun ia memimpikan momen ini—bukan untuk memaafkan, tapi untuk menuntut penjelasan. Namun melihat sosok renta itu, amarahnya lenyap begitu saja.
“Aku dulu jahat, ya?” tanya Ny. Ratmi lirih. (Air matanya menetes).
“Saya cuma anak kecil waktu itu, Bu. Saya nggak tahu kenapa harus dibenci,” jawab Wardi pelan. (Suara tenggorokannya tercekat).
“Saya takut... takut kehilangan suami saya. Dan kamu selalu jadi pengingat bahwa saya bukan ibu kandungmu. Saya bodoh, Ward...” (Ny. Ratmi menatap kosong ke langit-langit, suaranya hampir tak terdengar).
Malam itu, Wardi duduk lama di kursi ruang pasien.
Di luar, hujan turun pelan. Ia tak tahu apakah air di wajahnya air hujan, atau air mata yang selama ini ia tahan.
Kembali ke Kota
Beberapa hari kemudian, setelah pemakaman Ny. Ratmi, Wardi pulang ke Surabaya. Tapi entah kenapa, kali ini kota itu terasa berbeda.
Setiap sudut rumahnya yang dulu terasa nyaman kini seperti terlalu luas.
Ia menatap foto lamanya di dinding—wajah muda yang keras kepala tapi penuh harapan. “Aku sudah memaafkan, Bu,” bisiknya pelan.
Di meja makan, ponselnya bergetar. Pesan dari Sinta:
“Masih di Malang minggu depan? Aku ada proyek baru. Mungkin kita bisa diskusi sambil ngopi lagi.”
Ia menatap pesan itu lama. Tangannya sempat ragu mengetik.
Beberapa kali ia menulis lalu menghapus kalimatnya. Hingga akhirnya ia hanya menulis:
“Boleh. Aku yang traktir kali ini.”
Bunga di Dalam Tembok
Hari pertemuan itu, mereka bertemu di kafe kecil di tepi sungai. Sinta datang dengan senyum hangat. Obrolan mereka ringan—tentang proyek, tentang hidup, dan sedikit tentang masa lalu.
“Kamu terlihat beda sekarang,” kata Sinta sambil menatap Wardi.
“Mungkin karena aku baru menanam sesuatu,” jawab Wardi. (Sinta tertawa kecil).
“Apa itu?” tanyanya sambil menatap penasaran.
“Bunga di dalam tembokku,” ucap Wardi. (Nada suaranya tenang, tapi matanya berkilat pelan).
Sinta hanya diam. Ia tahu maksudnya, tapi tak perlu menanyakannya.
Keduanya larut dalam keheningan yang tak canggung—hening yang penuh makna.
Di luar, hujan turun pelan. Tapi kali ini, Wardi tidak merasa sendirian.
Ada sesuatu yang tumbuh di dadanya—rapuh, tapi nyata.
Epilog yang Menggantung
Malam itu, setelah mengantar Sinta ke mobilnya, Wardi berdiri di depan kafe sambil menatap lampu-lampu kota yang memantul di air sungai.
Pikirannya melayang jauh, ke masa kecilnya, ke ibu tirinya, ke setiap ketakutan yang pernah ia pelihara.
Ia tahu, luka tidak bisa sembuh begitu saja. Tapi ia juga tahu, mungkin untuk pertama kalinya, ia tidak ingin terus bersembunyi.
“Mungkin aku belum siap menikah,” gumamnya pelan, “tapi aku siap untuk tidak menutup hati lagi.” (Ucapannya hanya terdengar oleh dirinya sendiri).
Wardi melangkah pelan menuju mobilnya. Di ponselnya, pesan masuk dari Sinta:
“Hati-hati di jalan, Wardi. Jangan lupa hidup bukan cuma soal kerja.”
Ia tersenyum kecil. Di langit, hujan berhenti.
Entah kenapa, malam itu terasa sedikit lebih hangat daripada biasanya.
Dan mungkin, untuk pertama kalinya, Wardi benar-benar mulai pulang.
*****
Cerita bersambung:
1. Ketika Hati Belajar Pulang
2. Pintu yang Akhirnya Terbuka