Legenda Gua Jeruk: Pertapaan Sang Sultan Bijaksana
![]() |
Prasasti yang tertulis di dinding gua jeruk pada masa kepemimpinan Bupati Ramdan Sora |
Di lereng perbukitan Desa Kebunagung, Sumenep, tersembunyi sebuah gua yang oleh masyarakat setempat disebut Gua Jeruk. Dari luar, gua itu tampak biasa—hanya lubang besar di antara bebatuan kapur yang ditumbuhi semak dan pepohonan liar. Namun, siapa sangka, di balik kesunyian gua itu tersimpan kisah kebijaksanaan seorang raja besar yang pernah memerintah Sumenep: Sultan Abdurrahman Pakunataningrat.
Awal Kisah
Pada abad ke-19, Sumenep berada dalam masa kejayaannya. Sultan Abdurrahman dikenal sebagai pemimpin yang cerdas dan arif. Di bawah kepemimpinannya, rakyat hidup makmur, pasar ramai, dan keamanan terjaga. Namun, di tengah kemegahan istana dan hiruk-pikuk pemerintahan, Sultan Abdurrahman kerap merasa gelisah.
Setiap malam, ia termenung di serambi keraton, menatap langit timur yang gelap. Dalam hatinya terbersit satu pertanyaan:
“Apakah aku telah memimpin dengan benar, atau hanya mencari pujian manusia?”
Kegelisahan itulah yang menuntunnya meninggalkan sejenak kehidupan istana dan mencari tempat sunyi untuk bertapa. Ia ingin menenangkan batinnya, mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, dan memohon petunjuk agar tetap menjadi pemimpin yang adil.
Pertapaan di Gua Jeruk
Suatu pagi, ditemani dua abdi setia, Sultan Abdurrahman berjalan ke arah barat laut Sumenep. Setelah menempuh perjalanan melewati ladang dan hutan, ia tiba di sebuah dataran tinggi yang sejuk. Di sana terdapat sebuah gua yang oleh penduduk disebut “Gua Jeruk”, karena di sekitar mulut gua tumbuh pohon-pohon jeruk liar yang harum.
Sultan Abdurrahman merasa damai di tempat itu. Ia memutuskan untuk bertapa di sana, meninggalkan kemewahan dunia, hanya ditemani cahaya lampu minyak dan suara gemericik air yang mengalir dari dalam gua. Hari demi hari, beliau berzikir, bermunajat, dan memohon agar rakyat Sumenep senantiasa diberi kesejahteraan.
Konon, selama beliau bertapa, gua itu sering dipenuhi cahaya lembut berwarna keemasan setiap malam Jumat. Penduduk sekitar yang melihatnya mengira cahaya itu sebagai tanda bahwa Sang Sultan tengah mendapat petunjuk Ilahi.
Kembali ke Istana
Beberapa bulan kemudian, Sultan Abdurrahman kembali ke keraton. Namun beliau telah berubah. Wajahnya tampak lebih tenang, tutur katanya lebih lembut, dan setiap keputusannya mengandung kebijaksanaan yang luar biasa. Ia menata kembali pemerintahan dengan hati yang jernih. Pajak diperingan, tanah pertanian digarap bersama, dan rakyat hidup damai tanpa kekurangan.
Sejak itu, masyarakat percaya bahwa ketenangan dan kemakmuran Sumenep tidak lepas dari “berkah pertapaan” di Gua Jeruk. Gua itu menjadi lambang ketenangan jiwa dan kebijaksanaan hati.
Warisan yang Abadi
Kini, ratusan tahun telah berlalu, namun Gua Jeruk tetap berdiri tegak di antara bebatuan sunyi Desa Kebunagung. Banyak orang datang berziarah, berdoa, atau sekadar menikmati kesejukan udara di sekitarnya. Mereka percaya, siapa pun yang datang dengan hati bersih dan niat baik akan mendapat ketenangan batin seperti halnya Sultan Abdurrahman dahulu.
Dan setiap kali angin bertiup lembut melewati mulut gua, masyarakat percaya itu adalah sapaan Sang Sultan bijaksana yang seolah berkata,
“Kekuatan seorang pemimpin bukanlah pada tahtanya, melainkan pada kejernihan hatinya.”
Pesan Moral:
Kebijaksanaan lahir dari hati yang tenang dan pikiran yang bersih. Gua Jeruk bukan sekadar peninggalan sejarah, melainkan simbol bahwa kekuasaan sejati berasal dari pengendalian diri dan kedekatan dengan Tuhan.
(Rulis)
Pilihan
Terima kasih, mencerahkan
BalasHapus