Pantun Jenaka Hari Jadi Sumenep ke 756


“Hari ini, 31 Oktober 2025, usia Sumenep genap 756 tahun, dari jejak ini kedepan semoga lahir keadilan sejati, tumbuh kesejahteraan merata, hukum tegak berwibawa, dan derajat daerah terangkat dalam terang keadaban dan kemanusiaan”

Sambil berharap, yuk nikmati masa kemarin dan masa  kini dalam pantun sambil tersenyum dan mengernyitkan dahi:

“SUMENEP 756”

Sumenep tua tujuh lima enam,
Lahir sejak zaman kerajaan,
Rakyat tersenyum, tapi masam,
Karena janji tinggal ucapan.

Pesta besar tiap tahunan,
Balon beterbangan, panggung gemerlap,
Kami ikut tepuk tangan,
Tapi perut masih tetap lapar.

Nelayan melaut pakai perahu bocor,
Balik ke darat cuma bawa karang,
Katanya makmur tapi kok kotor,
Yang kenyang malah para orang “karang”.

Di kota ramai pesta cahaya,
Di pulau sunyi dapur tak berasap,
Katanya adil seluruh wilayah,
Tapi beda nasib, beda nasab.

Sarjana pulang bawa ijazah,
Pakai map rapi, wajah penuh harap,
Tapi lowongan tak pernah basah,
Yang terima malah keponakan pejabat.

Kampus ramai wisuda saban tahun,
Topi melayang di langit biru,
Tapi kerja? jangan dulu,
Nunggu panggilan dari “tamu dulu”.

Pantai indah, laut berkilau,
Udang gemuk di tambak mewah,
Tapi rakyat di pinggir bawal,
Cuma bisa jadi penjaga sawah.

Tanah rakyat jadi papan nama,
Pemilik baru entah dari mana,
Katanya demi ekonomi bersama,
Nyatanya untuk isi saku si raja dana.

Aspal bolong kayak kue lapis,
Mobil lewat bunyinya “gedebang”,
Katanya maju, tapi makin tragis.

Tugu berdiri gagah di tengah alun,
Tapi sampah berserakan penuh pesona,
Katanya Sumenep kota taman,
Yang hijau cuma laporan saja.

Di pasar pagi harga naik,
Tukang sayur menjerit lirih,
Pembeli ngeluh dompet kempis,
Yang tersenyum cuma makelar miring.

Ibu-ibu hitung recehan,
Beli cabe sebiji dua,
Katanya rakyat dilindungi kebijakan,
Tapi yang dilindungi cuma kuasa.

Setiap tahun ratusan acara,
Bendera warna-warni menghias kota,
Tapi seniman lokal hanya jadi penonton,
Yang tampil orang luar sana.

Katanya Sumenep kota festival,
Padahal cuma pesta modal,
Anggaran cair, rakyat kesal,
Yang senang cuma kroni yang loyal.

Raja duduk di singgasana,
Rakyat datang bawa keluh,
Katanya pemimpin punya telinga,
Tapi yang didengar cuma gemerincing perutnya yang penuh.

Baju kebesaran, bicara santun,
Seolah hidup di masa lampau,
Kami di bawah panas terik,
Beliau di istana, kipas angin berbau daup.

Aktivis datang, minta bicara,
Pintu tertutup rapat terkunci,
Katanya pintu rakyat terbuka,
Mungkin maksudnya pintu parkir VIP.

Surat dikirim tak pernah dibalas,
Pesan WA hanya centang dua,
Katanya komunikasi kelas atas,
Padahal lupa, rakyat juga manusia.

Petani menanam tanpa pupuk,
Sawah kering tak disapa hujan,
Katanya bantuan sudah cukup,
Tapi ke desa belum pernah berjalan.

Nelayan tangkap ikan di laut,
Tapi solar mahal, kapal nganggur,
Katanya bantuan sedang dibuat,
Sudah sepuluh tahun — belum terukur.

Media ramai puji pemimpin,
Panggung disorot, naskah diatur,
Berita baik tiap pagi tampil,
Padahal kenyataan jauh kabur.

Yang kritik dibungkam halus,
Yang patuh dapat posisi empuk,
Loyalitas dijual perlus,
Etika cuma jadi pembungkus.

Selamat ulang tahun, Sumenepku,
Tujuh ratus lima puluh enam sudah berlalu,
Kami tak minta kue atau lagu,
Cukup pemimpin yang mau turun ke lalu.

Kalau terus begini gayanya,
Rakyat muak, bukan cuma pasrah,
Kami masih bisa tertawa,
Tapi tawa kami sedang marah.

*****

SUMENEP KOTAKU KINI

Pesta dan Perut

Pesta besar tujuh lima enam,
lampu gemerlap sampai ke kali.
Perut kosong tetap diam,
yang kenyang cuma kroni dan baliho sekali.

Rakyat Jadi Penonton

 

Gedung dihias warna mencolok,
lagu pesta bergema keras.
Rakyat menonton dari pojok,
uangnya habis—tepuk tangan pun terbatas.

Anggaran dan Anggapan

Katanya pesta demi kemajuan,
padahal cuma panggung janji.
Anggaran lari ke tangan kawan,
rakyat kebagian asap nasi.

Politik dan Pencitraan

Banner wajah tersenyum lebar,
seragam baru tiap pejabat.
Katanya cinta rakyat sabar,
tapi senyum palsu terasa jahat.

Buzzer dan Bupati

Buzzer berkicau malam dan pagi,
memuja pemimpin katanya suci.
Rakyat kecil tak dia peduli,
asal citra naik, hati mati.

Sumenep yang Sunyi

Festival ramai, nelayan diam,
laut tenang, dapur tak berasap.
Hari jadi, katanya istimewa—
bagi rakyat? Hanya rasa lelah yang tetap.

 Janji dan Jejak

Katanya rakyat nomor satu,
tapi yang dihitung suara, bukan nasib.
Hari jadi jadi panggung semu,
kebenaran tenggelam di balik musik yang ribib.

Gaya Aktivis Jalanan

Baliho terpasang di tiap tikungan,
foto senyum sampai ke tiang listrik.
Katanya pesta untuk kebangkitan,
nyatanya cuma pencitraan politik.

Lampu kelap-kelip, musik berdentum,
bupati menari, buzzer bersorak.
Rakyat menunduk, harga beras muram,
uang rakyat terbang entah ke mana arah.

Tujuh lima enam katanya sakral,
tapi rakyat hanya jadi hiasan.
Yang kenyang pesta para pejabat nakal,
yang lapar tetap diam—karena kebiasaan.

Festival meriah katanya budaya,
padahal anggaran sudah tak wajar.
Yang miskin disuruh ikut bangga,
padahal nasi di dapur pun tak lancar.

Buzzer berkoar “Sumenep hebat!”
netizen waras cuma geleng kepala.
Kalau pesta tandanya berkat,
kenapa rakyat malah makin susah pula?

*****

PANTUN DARI TANAH GARAM: SINDIRAN UNTUK SUMENEP

Pesta dan Anggaran

Pesta besar tujuh lima enam,
lampu gemerlap sampai ke kali.
Perut kosong tetap diam,
yang kenyang cuma kroni dan baliho sekali.

Gedung dihias warna mencolok,
lagu pesta bergema keras.
Rakyat menonton dari pojok,
uangnya habis—tepuk tangan pun terbatas.

Katanya pesta demi kemajuan,
padahal cuma panggung janji.
Anggaran lari ke tangan kawan,
rakyat kebagian asap nasi.

Buzzer berkicau malam dan pagi,
memuja pemimpin katanya suci.
Rakyat kecil tak dia peduli,
asal citra naik, hati mati.

Guru Non-ASN dan Ketimpangan

Guru datang naik sepeda,
pagi gelap tetap mengajar.
Gaji dua ratus cuma sebatas reda,
sementara pejabat duduk bergelar.

ASN ngopi tiap pagi,
absen jarang, gaji lancar.
Guru honorer kerja sepenuh hati,
uangnya tipis—hati pun gentar.

Yang rajin miskin, yang malas senang,
yang jujur malah disalahkan.
Pendidikan jadi barang dagang,
keikhlasan dibayar ucapan.

Pulau dan Rakyat Terlupakan

Pulau jauh ombaknya deras,
anak sekolah menunggu kapal.
Pemerintah sibuk pesta dan beras,
rakyat kepulauan tetap tertinggal.

Guru di pulau mengajar tanpa suara,
menulis nasib di pasir pantai.
Negeri sibuk merayakan istana,
tapi tak lihat peluh yang damai.

Jarak jauh, sinyal pun susah,
namun semangat guru tak pernah reda.
Mereka ajar meski hidup pasrah,
karena cinta negeri lebih besar dari renda.

Jabatan dan Uang Pelicin

Katanya mau jadi pejabat,
asal kuat setor di awal.
Yang pintar tersisih, yang tajir melesat,
moral pun dijual murah di pasar modal.

Pejabat lahir bukan karena jasa,
tapi karena dompetnya berbunyi nyaring.
Negeri pun kehilangan rasa,
tinggal pesta, janji, dan kering.

Sumenep di Cermin Rakyat

Festival ramai, rakyat berdiam,
suara kritik dianggap angin.
Sumenep katanya kota senyum,
tapi di baliknya banyak yang dingin.

Hari jadi jadi hari tanya,
siapa yang benar-benar bahagia?
Rakyat menonton dari kejauhan,
Sumenep berpesta—tapi sendiri di jiwa.

#sototan, #sorotansemua ,  #harijadisumenep, #756, #pantunjenaka, #kritikmembangun

Pilihan

Tulisan terkait

Utama 1388940728690263215

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Daftar Isi


 

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >

LOMBA BACA PUISI BAHASA MADURA

LOMBA BACA PUISI BAHASA MADURA
Info selengkapnya, klik gambar

Relaksasi


 


 

Jadwal Sholat

item
close