Penantian Panjang
Cerpen: Beryl
Angin sore dari arah sawah membawa bau jerami basah ke serambi rumah. Laili duduk di kursi bambu, menatap halaman kosong tempat dulu Badrun sering berdiri, melambaikan tangan setiap kali hendak berangkat ke terminal. Sudah lima tahun sejak hari itu, ketika Badrun berpamitan untuk bekerja di negeri seberang, menjanjikan kehidupan yang lebih baik saat ia kembali.
Awalnya, setiap minggu ada kabar. Kadang lewat telepon, kadang lewat surat.
Pernah sekali ia menerima paket berisi selendang sutra dan boneka kecil.
“Buat Laili, biar tidak kesepian,” tulis Badrun dalam suratnya.
Namun setahun terakhir, semua berubah. Nomor teleponnya tak bisa dihubungi. Surat tak pernah datang lagi. Paket berhenti. Seolah Badrun lenyap ditelan bumi.
Malam-malam Laili sering terjaga, menatap bintang, berharap salah satunya membawa kabar. Tapi waktu terus berjalan, dan yang tersisa hanya kenangan samar tentang senyum dan janji pulang.
Kabar Baru dan Tekanan Orang Tua
“Laili, sudah lima tahun. Kamu mau sampai kapan menunggu?”
Suara ibunya, Mak Siti, terdengar tegas. Ia sedang menjemur pakaian di halaman, sementara ayahnya, Pak Harun, duduk di kursi panjang sambil mengasah sabit.
“Ayah dan Ibu bukan tak kasihan, Nak. Tapi hidup ini harus terus berjalan. Romli itu anak baik. Orangnya rajin, pekerja keras, dan keluarganya juga sopan. Apa lagi yang kamu cari?” kata Pak Harun menimpali.
Laili menunduk, jari-jarinya memainkan ujung kerudungnya. “Tapi, Yah... bagaimana kalau Badrun kembali?”
Mak Siti menatap anaknya lekat-lekat. “Kalau dia memang sungguh-sungguh, dia pasti sudah kembali, Nak. Lima tahun bukan waktu sebentar.”
Laili tak menjawab. Dadanya terasa sesak. Di satu sisi, ia tahu orang tuanya benar. Tapi di sisi lain, hatinya masih memegang janji Badrun: ‘Aku pulang untukmu, Laili.’
Romli Datang Melamar
Beberapa hari kemudian, Romli datang bersama orang tuanya. Rumah Laili mendadak ramai, aroma kopi dan pisang goreng memenuhi udara. Romli duduk di kursi tamu, wajahnya tegang tapi penuh harapan.
“Saya sudah lama menyimpan niat ini,” kata Romli, menatap Pak Harun dan Mak Siti. “Kalau diizinkan, saya ingin meminang Laili.”
Mak Siti tersenyum, sementara Laili di dapur mendengarkan dengan dada berdebar. Ia tidak membenci Romli. Romli pemuda baik, sopan, dan bertanggung jawab. Tapi setiap kali nama itu disebut, hatinya seperti berkhianat pada sesuatu yang pernah dijaga lama.
Sore itu, setelah tamu pulang, Laili duduk di tepi sumur.
“Laili,” suara ayahnya lembut, “kamu boleh pikir-pikir. Tapi jangan terlalu lama. Romli menunggu jawaban.”
Laili hanya mengangguk. Dan malamnya, ia menangis dalam diam.
Lamaran Diterima
Sebulan kemudian, dengan berat hati, Laili menerima pinangan Romli.
Pernikahan berlangsung sederhana di balai desa.
Banyak tetangga datang, memberi selamat, dan semua terlihat bahagia—kecuali satu orang: Laili sendiri.
Di pelaminan, senyumnya tampak kaku. Ia mencoba sekuat tenaga menampilkan wajah bahagia, tapi matanya berkabut. Dalam hati ia berbisik, “Maafkan aku, Badrun.”
Romli memperlakukan Laili dengan baik. Ia membantu pekerjaan rumah, bekerja keras di sawah, dan selalu berusaha membuat istrinya tersenyum. Namun sering kali Laili merasa seperti hidup dalam dua dunia—antara masa lalu dan kenyataan.
Dua Tahun Berlalu
Waktu berlalu cepat. Laili kini sudah menjadi seorang ibu. Bayi laki-lakinya, Rafi, menjadi sumber kebahagiaan di rumah kecil itu.
Romli semakin matang, dan hubungan mereka mulai hangat meski tidak pernah sepenuhnya menghapus bayangan masa lalu.
Namun suatu hari, ketika Laili berbelanja di pasar, ia bertemu seorang perempuan bernama Mira, pedagang sayur dari desa sebelah. Mereka berkenalan, lalu berbincang akrab. Tapi di akhir percakapan, sebuah kalimat dari Mira membuat tubuh Laili gemetar.
“Laili... kamu kenal Badrun, kan? Badrun dari Desa Sidoarum?”
Laili menatapnya tak percaya. “Kamu kenal Badrun?”
“Iya. Dia kerja di tempat saudara saya di Malaysia. Katanya sekarang sudah pindah ke Johor. Sehat, kok. Beberapa bulan lalu masih kirim kabar lewat orang.”
Dunia Laili seperti berhenti berputar.
“Badrun... masih hidup?”
“Iya, masih. Kenapa? Kamu kenal dekat, ya?”
Laili tidak menjawab. Ia hanya tersenyum kaku, lalu pamit dengan alasan harus pulang cepat.
Kegelisahan Baru
Malam itu, Laili duduk lama di teras, menatap bintang-bintang seperti dulu.
Romli datang menghampiri, duduk di sebelahnya.
“Kenapa, Laili? Sejak dari pasar kamu diam terus.”
Suara Romli lembut.
“Tidak apa-apa, Rom,” jawabnya pelan.
Romli tersenyum kecil. “Aku tahu ada yang kamu sembunyikan. Tapi aku tidak akan memaksa. Aku hanya ingin kamu tahu, aku akan tetap di sini. Apapun yang terjadi.”
Laili menunduk. Air matanya jatuh perlahan. “Terima kasih, Rom...”
Surat dari Negeri Seberang
Beberapa minggu kemudian, sebuah surat datang dari luar negeri.
Amplopnya lusuh, dengan tulisan tangan yang sangat dikenalnya.
Tangannya gemetar ketika membukanya.
“Laili,
Maafkan aku yang lama tak memberi kabar. Aku sempat kecelakaan di tempat kerja, dan semua barangku, termasuk ponsel, hilang. Aku berusaha mencari alamatmu lewat teman, tapi gagal. Baru sekarang aku dapat kabar dari seseorang bahwa kamu sudah menikah.
Aku bahagia mendengarnya, meski hatiku hancur. Aku hanya ingin kau tahu, aku menepati janji untuk kembali. Tapi mungkin aku terlambat.
Doakan aku bisa ikhlas, seperti aku mendoakan kebahagiaanmu.
—Badrun”
Laili menutup surat itu, dadanya sesak. Romli yang baru pulang dari sawah melihat wajah istrinya yang pucat.
“Ada apa, Laili?”
Laili menyerahkan surat itu tanpa bicara. Romli membaca dengan tenang, lalu menghela napas panjang.
“Jadi... dia masih hidup,” katanya pelan.
Laili menunduk. “Aku tidak tahu harus bagaimana.”
Romli menatap istrinya dalam diam. Lalu, dengan nada tenang namun berat, ia berkata,
“Laili, aku tidak ingin menjadi bayangan untuk seseorang. Tapi aku juga tak ingin memaksa cinta. Jika hatimu masih untuk dia, katakanlah sekarang.”
Laili menangis. “Rom... aku sudah berusaha mencintaimu. Aku sungguh berusaha...”
Romli tersenyum pahit. “Aku tahu. Dan aku menghargai itu.”
Pertemuan Tak Terduga
Beberapa bulan kemudian, kabar datang bahwa Badrun sudah pulang ke desa. Ia terlihat di rumah ibunya, meski tidak banyak orang berani datang.
Desa kecil itu mendadak ramai oleh gosip.
Suatu sore, Laili tanpa sengaja bertemu Badrun di jalan menuju surau.
Ia membawa sayur, sementara Badrun berdiri di pinggir jalan, mengenakan baju koko putih. Wajahnya agak tirus, tapi senyum itu masih sama—hangat dan tulus.
“Laili...” suaranya lirih.
Laili berhenti, jantungnya berdegup kencang. “Badrun... kau benar-benar kembali.”
“Ya. Tapi sepertinya aku datang terlambat.”
Keduanya diam cukup lama, hanya suara jangkrik yang terdengar.
Badrun menatap mata Laili, lalu berkata pelan, “Aku ingin bilang terima kasih, karena kau sudah menungguku begitu lama.”
Laili menatap tanah. “Aku menunggumu terlalu lama, Bad. Sampai akhirnya aku harus berhenti.”
Badrun mengangguk. “Aku mengerti.”
Sebuah Kebahagiaan
Beberapa minggu setelah pertemuan itu, Laili kembali duduk di teras rumahnya, kali ini bersama Romli dan anak kecil mereka yang tertawa di pangkuannya.
Langit senja berwarna jingga. Burung-burung pulang ke sarang.
“Rom,” kata Laili pelan, “kalau saja waktu bisa diputar...”
Romli tersenyum. “Aku tidak ingin memutar waktu. Karena kalau waktu diputar, mungkin aku tidak akan pernah memilikimu.”
Laili terdiam, lalu memandang anaknya yang tertawa kecil. “Mungkin ini memang jalan yang sudah digariskan.”
“Ya,” kata Romli, menatap jauh ke sawah, “Tuhan selalu punya cara mengembalikan kita ke tempat yang seharusnya.”
Dari kejauhan, Badrun berdiri di pinggir jalan, melihat mereka dalam diam. Ia tersenyum kecil, lalu melangkah pergi tanpa menoleh lagi.
Malam itu, Laili membuka jendela kamarnya. Angin berembus lembut, membawa bau tanah basah.
Ia menatap langit dan berbisik pelan:
“Terima kasih, Badrun. Aku sudah baik-baik saja.”
Dan di luar sana, mungkin di jalan yang sepi itu, seseorang juga menatap langit yang sama, mengucapkan doa yang sama.
.
Pilihan





