Pintu yang Akhirnya Terbuka


Cerpen Nurhayati

Sudah hampir dua bulan sejak pertemuan terakhir Wardi dengan Sinta di kafe tepi sungai itu. Dua bulan yang sepi, tapi juga tak sama seperti sepi-sepi sebelumnya.
Ia mulai terbiasa membuka pesan WhatsApp dengan jantung berdebar kecil, menunggu balasan dari Sinta, meski kadang hanya sekadar sapaan ringan seperti “Jangan lupa makan siang, Mas.”

Namun, di balik rasa hangat yang perlahan tumbuh itu, ada juga sesuatu yang tak bisa ia abaikan—rasa takut yang masih hidup di sudut-sudut hatinya.
Setiap kali hubungan dengan seseorang terasa semakin dekat, pikirannya mulai bermain sendiri: “Bagaimana kalau dia berubah? Bagaimana kalau nanti aku disakiti lagi? Bagaimana kalau aku kehilangan diriku seperti dulu?”

Malam-malamnya kembali dipenuhi kegelisahan.
Wardi tahu, luka masa lalu tidak hilang hanya karena seseorang datang membawa senyum.

Dialog di Gym

Suatu sore, setelah sesi latihan di gym, Wardi duduk di ruang loker bersama Deni, temannya yang dulu sering menggoda soal status jomblo-nya. Kini Deni sudah punya dua anak dan wajahnya memancarkan kebahagiaan yang stabil.

“Bro, gue lihat lu makin beda. Tapi kayaknya lu masih mikir berat, ya?” tanya Deni sambil mengelap keringat di lehernya.

“Nggak juga,” jawab Wardi pelan, menatap lantai.

“Masih takut sama perempuan?” Deni terkekeh pelan, tapi tatapannya serius.

“Bukan takut, Den. Cuma… belum yakin aja. Gue ngerasa kalau gue buka hati, semuanya bakal berantakan.” (Nada suara Wardi nyaris seperti anak kecil yang bingung).

“Lu tahu nggak, Di,” kata Deni sambil menepuk bahunya, “kebahagiaan itu bukan soal nggak punya luka, tapi soal berani hidup di atas luka itu. Kalau lu terus sembunyi, luka lu nggak bakal pernah kering.”

Wardi terdiam. Kata-kata itu menancap perlahan, tapi dalam.
Malamnya, ia tak langsung tidur. Ia menatap langit-langit kamar, memikirkan apa yang Deni ucapkan.
Mungkin benar. Ia terlalu sibuk menjaga luka, sampai lupa hidup.

Pertemuan Kedua dengan Sinta

Beberapa hari kemudian, Sinta mengundang Wardi menghadiri seminar kecil yang ia adakan di sebuah kampus bisnis. Setelah acara selesai, mereka duduk di taman kampus, di bawah pohon flamboyan yang mulai gugur.

“Kamu tahu, Mas,” kata Sinta sambil menatap langit, “kadang yang paling sulit dalam hidup bukan memaafkan orang lain, tapi memaafkan diri sendiri.”

“Kamu ngomong gitu karena tahu aku belum bisa, ya?” tanya Wardi setengah tersenyum.

“Aku nggak tahu kamu bisa atau nggak. Tapi aku tahu kamu masih berjuang. Dan itu udah cukup hebat,” jawab Sinta lembut.

“Aku takut, Sin. Takut kehilangan kendali. Takut nanti semua jadi seperti dulu.”

“Mungkin karena dulu kamu kecil dan nggak berdaya. Tapi sekarang, kamu udah dewasa, Mas. Kamu bisa memilih cara hidupmu. Luka itu bukan lagi penjara, kecuali kamu sendiri yang ngunci pintunya.”

Wardi menatap Sinta lama sekali. Ada sesuatu di matanya yang membuatnya merasa aman.
Tapi bersamaan dengan itu, ia juga merasa kecil—karena selama ini ia mengira dirinya kuat, padahal sebenarnya hanya bersembunyi.

Panggilan dari Masa Lalu

Beberapa minggu kemudian, Wardi menerima telepon dari salah satu tetangga lama di Bangkalan. Ternyata rumah peninggalan ayahnya yang sudah lama kosong mengalami kerusakan parah dan akan dirobohkan untuk jalan baru.
“Kalau Mas Wardi mau lihat terakhir kali, sebaiknya datang minggu ini,” kata suara di ujung telepon.

Malam itu, tanpa banyak pikir, Wardi memutuskan berangkat ke Bangkalan keesokan harinya.
Perjalanan empat jam itu terasa seperti menembus waktu. Begitu tiba, aroma tanah, angin laut, dan suara jangkrik malam mengembalikan semua kenangan.

Rumah itu masih berdiri, tapi reyot. Dindingnya retak, pintu utamanya miring. Di ruang tengah, masih tergantung foto ayahnya bersama dirinya kecil.
Wardi duduk di kursi kayu tua yang nyaris lapuk. Di sana, ia merasa seolah sedang berbicara dengan ayahnya yang sudah lama tiada.

“Pak… aku udah capek sembunyi,” bisiknya lirih.
“Aku marah, tapi aku juga kangen. Aku benci ibu tiri, tapi aku juga kasihan. Aku takut perempuan, tapi aku juga pengin dicintai.”

Angin sore masuk dari celah jendela, menggoyangkan tirai kusam.
Entah kenapa, Wardi merasa seperti ada yang menjawab dalam hening: “Hidup bukan tentang siapa yang dulu menyakitimu, tapi bagaimana kamu menyembuhkan dirimu.”

Ia menunduk lama, meneteskan air mata yang selama ini ia tahan. Tangisan yang bukan karena sedih semata, tapi karena lega.

Guru Spiritual

Sebelum kembali ke Surabaya, Wardi singgah ke pesantren kecil di tepi kota, tempat seorang guru spiritual yang sering disebut-sebut warga sebagai orang bijak: Kiai Mahfudz.
Wardi datang tanpa janji, tapi Kiai Mahfudz menerimanya dengan senyum hangat.

“Saya sering dengar nama panjenengan. Pengusaha muda yang sukses, tapi katanya jarang senyum,” kata sang kiai sambil tertawa kecil.

Wardi ikut tersenyum malu. “Mungkin karena saya lupa caranya, Yai.”

“Kenapa lupa?”

“Karena terlalu sibuk jadi kuat.”

Kiai Mahfudz mengangguk pelan. “Orang yang terlalu ingin kuat, biasanya sedang sembunyi dari luka. Padahal kekuatan sejati itu justru lahir dari kesediaan untuk rapuh. Air bisa menembus batu karena ia tidak keras.”

Kata-kata itu membuat Wardi terdiam lama.
Kiai Mahfudz melanjutkan, suaranya tenang namun menusuk lembut:

“Nak, perempuan bukan musibah. Mereka cermin. Kalau kamu takut menatap mereka, mungkin karena kamu belum berani melihat dirimu sendiri. Perempuan yang tepat tidak akan mengulang masa lalumu, tapi membantu menyembuhkannya. Asal kamu mau membuka pintu.”

Wardi menunduk, menatap telapak tangannya yang bergetar pelan.
Untuk pertama kalinya, ia merasa hatinya benar-benar disentuh bukan oleh kasih, tapi oleh kebenaran.

Kesadaran

Sepulang dari pesantren, Wardi berhenti di tepi pantai Bangkalan.
Senja sedang turun, langit berwarna oranye keemasan. Ia berjalan di atas pasir basah, membiarkan air laut menyentuh kakinya.
Suara ombak menenangkan, seperti menenangkan sesuatu yang lama tertahan dalam dadanya.

Ia membuka ponsel, mengetik pesan kepada Sinta. Tapi kali ini bukan tentang bisnis, bukan tentang pertemuan.
Isinya hanya satu kalimat:

“Aku ingin belajar untuk tidak takut lagi.”

Pesan itu terkirim. Tak lama, balasan muncul:

“Aku tunggu, Mas. Tapi jangan buru-buru. Takut pun butuh waktu untuk sembuh.”

Wardi tersenyum kecil. Ia menatap langit senja yang perlahan memudar, dan entah kenapa, untuk pertama kalinya ia merasa benar-benar damai.

Ia menutup mata, membiarkan angin laut membelai wajahnya.
Dalam hati, ia tahu, perjalanan hidupnya belum selesai. Tapi kini ia punya arah—arah menuju dirinya sendiri.

Pintu yang Terbuka

Beberapa minggu setelah kepulangannya, Wardi menghadiri acara reuni kecil di kantor lamanya. Di sana, Deni memperkenalkan Wardi kepada seorang guru meditasi yang juga teman lamanya, Pak Rendra.
Wardi tertarik dengan cara pria itu berbicara tentang ketenangan dan “pintu hati”.

“Setiap manusia itu punya dua pintu,” kata Pak Rendra dalam percakapan mereka di teras malam itu.
“Satu pintu menuju masa lalu, satu lagi menuju masa depan. Masalahnya, kebanyakan orang justru hidup di depan pintu yang tertutup, sambil terus menatap ke belakang.”

“Jadi harus gimana?” tanya Wardi pelan.

“Hadapi yang di belakang, lalu jalan ke depan. Pintu masa depan itu nggak akan kebuka kalau kamu masih duduk di depan pintu lama.”

Malam itu, setelah pulang, Wardi berdiri di depan cermin kamarnya.
Ia menatap dirinya sendiri cukup lama, lalu berkata pelan:

“Sudah cukup, Ward. Sekarang, waktunya hidup.”

Ia menyalakan lampu kamar, membuka jendela lebar-lebar, membiarkan udara malam masuk.
Di meja, ada pesan masuk dari Sinta. Kali ini hanya emotikon 🌼—bunga sederhana yang dulu pernah ia sebutkan di kafe.

Wardi menatapnya lama, lalu tersenyum lebar untuk pertama kali dalam bertahun-tahun.

Bukan karena cinta sudah datang, tapi karena ia akhirnya siap menerima kemungkinan untuk mencinta.

Harapan di Ujung Senja

Beberapa hari kemudian, Wardi mengajak Sinta berjalan-jalan di taman yang sama tempat mereka pertama kali bicara lama. Pohon flamboyan kini sedang berbunga.
Wardi membawa dua gelas kopi hangat, dan keduanya duduk di bangku yang sama seperti dulu.

“Aku mau bilang sesuatu, Sin,” ucap Wardi sambil menatap lurus ke depan.

“Apa?”

“Aku masih takut, tapi sekarang aku tahu, takut bukan alasan untuk berhenti melangkah.”

Sinta tersenyum kecil. “Itu sudah lebih dari cukup, Mas.”

Di antara bunga flamboyan yang berjatuhan, keduanya diam cukup lama.
Tidak ada janji, tidak ada deklarasi cinta. Hanya dua orang yang sama-sama belajar untuk hidup lebih jujur pada dirinya sendiri.

Dan di hati Wardi, sesuatu terasa berbeda—seolah pintu yang selama ini tertutup rapat, kini terbuka sedikit.
Tidak lebar, tapi cukup untuk membiarkan cahaya masuk.

 *****

Cerita bersambung:

1. Ketika Hati Belajar Pulang
2. Pintu yang Akhirnya Terbuka 

Pilihan

Tulisan terkait

Utama 3683057595347922324

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Daftar Isi


 

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >

LOMBA BACA PUISI BAHASA MADURA

LOMBA BACA PUISI BAHASA MADURA
Info selengkapnya, klik gambar

Relaksasi


 


 

Jadwal Sholat

item
close