Siswa Merokok di Sekolah: Antara Etika, Sosial, Hukum, dan Peran Orang Tua


Fenomena siswa merokok di lingkungan sekolah bukanlah hal baru. Dari kota besar hingga pelosok daerah, pemandangan siswa yang menggenggam rokok di sudut halaman sekolah, di kamar mandi, atau di warung dekat pagar belakang sekolah seolah menjadi rahasia umum. Namun ketika tindakan itu berujung pada sanksi keras — seperti kasus kepala sekolah yang menempeleng siswa karena tertangkap merokok hingga memicu aksi mogok massal — persoalan ini kembali memantik perdebatan panjang: siapa yang salah, siapa yang berlebihan, dan bagaimana seharusnya pendidikan menyikapi perilaku ini?

Dari Kacamata Etika: Antara Moralitas dan Keteladanan

Secara etika, tindakan siswa yang merokok di sekolah jelas bertentangan dengan nilai-nilai moral dan karakter yang dijunjung lembaga pendidikan. Sekolah bukan sekadar tempat belajar akademik, melainkan ruang pembentukan watak, kebiasaan baik, dan kedisiplinan. Merokok — apalagi dilakukan di usia remaja dan di lingkungan pendidikan — merupakan pelanggaran terhadap norma kesopanan dan nilai tanggung jawab diri.

Namun, etika juga menilai cara penanganan masalah harus seimbang. Menempeleng siswa, meski dilakukan karena emosi atau niat mendidik, tetap melanggar prinsip moralitas dasar: bahwa kekerasan tidak bisa dijadikan jalan mendidik karakter. Etika mengajarkan bahwa tujuan baik tidak membenarkan cara yang salah. Kepala sekolah memang memiliki tanggung jawab moral menjaga wibawa sekolah, tetapi ekspresi kemarahan yang berujung kekerasan justru merusak esensi pendidikan itu sendiri.

Dengan kata lain, baik siswa yang merokok maupun guru yang menempeleng sama-sama berada di ranah etis yang keliru — yang satu melanggar moral disiplin, yang lain melanggar moral keteladanan.

Dari Kacamata Sosial: Cermin Krisis Keteladanan dan Kontrol Lingkungan

Secara sosial, perilaku siswa yang merokok adalah cerminan dari beberapa hal: lemahnya kontrol diri, pengaruh lingkungan, dan hilangnya figur teladan. Banyak siswa mulai merokok bukan karena kebutuhan, tetapi karena dorongan pergaulan, gaya hidup, atau simbol “kedewasaan semu”.

Dalam masyarakat kita, terutama di kalangan laki-laki muda, rokok masih sering dianggap bagian dari citra maskulin. Ketika figur dewasa di sekitar — termasuk orang tua, guru, atau tokoh masyarakat — juga merokok tanpa rasa bersalah, maka nilai moral itu kehilangan maknanya di mata anak-anak.

Kasus demo siswa setelah kepala sekolah menempeleng pelaku menunjukkan bagaimana solidaritas remaja sering berbalik arah. Alih-alih membela kebenaran, mereka membela teman sekelompok, meski salah. Ini memperlihatkan dinamika sosial di kalangan siswa yang lebih berorientasi pada rasa kebersamaan daripada pertimbangan etis atau rasional. Fenomena ini menandakan bahwa pendidikan karakter belum benar-benar tertanam sebagai budaya sosial di sekolah.

Dari Kacamata Aturan Sekolah: Antara Disiplin dan Pendekatan Edukatif

Hampir semua sekolah di Indonesia memiliki tata tertib yang melarang siswa merokok, baik di dalam maupun di luar lingkungan sekolah. Biasanya, sanksi yang diberikan bersifat bertahap — mulai dari teguran, pembinaan, pemanggilan orang tua, hingga skorsing. Namun dalam praktiknya, pelaksanaan aturan ini sering tidak konsisten. Ada sekolah yang tegas menindak, ada pula yang menutup mata karena menganggap merokok sudah “biasa”.

Padahal, tindakan disiplin bukan sekadar hukuman. Ia harus memiliki nilai edukatif. Hukuman tanpa pembinaan hanya melahirkan perlawanan, bukan kesadaran. Dalam konteks ini, kepala sekolah semestinya dapat menggunakan pendekatan restoratif: menghadirkan dialog, memberikan tanggung jawab sosial (misalnya membersihkan lingkungan sekolah, membuat kampanye anti rokok), atau mengajak siswa mengikuti konseling.

Pendidikan bukan tentang membuat takut, melainkan membangun kesadaran. Ketika sanksi diberikan dengan tujuan memperbaiki, bukan mempermalukan, maka aturan menjadi sarana pendidikan yang bermartabat.

Dari Kacamata Hukum: Perlindungan Anak dan Tanggung Jawab Lembaga

Secara hukum, kasus siswa merokok dan kepala sekolah yang melakukan kekerasan fisik memiliki dua sisi yang berbeda tetapi saling terkait.

Dari sisi siswa, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menegaskan bahwa setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari pengaruh zat adiktif termasuk rokok. Artinya, siswa yang merokok masih berada dalam posisi sebagai korban — korban dari pengaruh lingkungan, lemahnya pengawasan, dan pemasaran rokok yang masih mudah dijangkau anak-anak.

Sementara dari sisi kepala sekolah, tindakan menempeleng termasuk kekerasan fisik. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, setiap bentuk kekerasan terhadap anak di lingkungan pendidikan dapat dikenakan sanksi hukum, baik administratif maupun pidana. Meskipun niatnya mendidik, hukum tidak melihat niat tetapi akibat perbuatan. Kekerasan fisik tetap dilarang di institusi pendidikan.

Dengan demikian, baik perilaku siswa maupun reaksi kepala sekolah sama-sama memerlukan penanganan hukum yang berimbang, proporsional, dan berorientasi pada pembinaan, bukan penghukuman semata.

Peran Orang Tua: Pondasi Moral yang Sering Terlupakan

Perilaku merokok di kalangan siswa tidak lahir dari ruang kosong. Rumah menjadi sekolah pertama, dan orang tua adalah guru pertama. Ketika anak tumbuh dalam lingkungan yang permisif terhadap rokok, maka batas benar dan salah menjadi kabur.

Orang tua perlu lebih dari sekadar melarang — mereka perlu memberi contoh. Jika seorang ayah merokok di rumah, anak melihat dan meniru. Jika seorang ibu diam saja, maka diam itu menjadi bentuk pembenaran. Pendidikan karakter bukan hanya tugas sekolah, tetapi kerja sama antara rumah, sekolah, dan masyarakat.

Orang tua juga perlu hadir secara emosional. Banyak siswa yang merokok justru melakukannya karena tekanan, stres, atau mencari pengakuan. Komunikasi yang terbuka, perhatian yang tulus, dan bimbingan yang konsisten dapat menjadi vaksin moral bagi anak di tengah derasnya arus pergaulan.

Mendidik Tanpa Menyakiti

Kasus siswa merokok dan penempelengan kepala sekolah seharusnya menjadi cermin, bukan sekadar sensasi berita. Ia menunjukkan bahwa pendidikan karakter di Indonesia masih rapuh jika tidak diiringi keteladanan dan dialog.

Siswa memang harus belajar disiplin, tapi guru dan kepala sekolah juga harus belajar menahan emosi dan menjadi teladan moral. Masyarakat harus berhenti menormalisasi rokok sebagai bagian budaya laki-laki, dan orang tua harus kembali menjadi benteng utama pendidikan karakter.

Kedisiplinan tidak lahir dari ketakutan, melainkan dari kesadaran. Hukuman tidak seharusnya menimbulkan luka, melainkan membuka jalan menuju perbaikan.

Karena pada akhirnya, pendidikan bukan hanya mengajar tentang benar dan salah, tetapi mengajarkan bagaimana tetap manusiawi dalam setiap keadaan.

(Rulis) 

 

 

Pilihan

Tulisan terkait

Utama 3073930547677833487

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Daftar Isi


 

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >

LOMBA BACA PUISI BAHASA MADURA

LOMBA BACA PUISI BAHASA MADURA
Info selengkapnya, klik gambar

Relaksasi


 


 

Jadwal Sholat

item
close