Bayangan di Tepian Sungai
Cerita Anak Beryl Abadi
Di Kampung Kebunagung, ada satu kebiasaan yang nyaris tidak pernah hilang, dari dulu hingga sekarang: anak-anak kampung mandi di sungai setiap akhir pekan. Mereka selalu berbondong-bondong membawa ember kecil, ban bekas, dan cemilan seadanya. Di sungai itu mereka tertawa—tawa yang mengalun jauh mengiringi suara aliran air.
Bagi anak-anak Kebunagung, sungai bukan hanya tempat mandi. Ia adalah taman bermain gratis, pusat petualangan, tempat menaklukkan arus, dan sekaligus tempat berbagi cerita. Setiap kali libur sekolah, anak-anak langsung berlari ke sana seperti burung-burung yang terbang ke langit tanpa bisa dicegah.
Mereka juga sering memancing ikan kecil-kecilan. Setelah mendapatkan dua atau tiga ekor, mereka membuat api kecil di pinggir sungai, lalu memanggang ikan itu dengan garam seadanya. Rasanya tidak selalu enak, tetapi mereka selalu tertawa puas. Bagaimanapun, kebersamaan membuat segalanya terasa lezat.
Namun, musim hujan tahun ini berbeda.
Hujan turun hampir setiap hari. Kadang pelan seperti rintik yang malu-malu, kadang deras seperti tirai air yang turun dari langit. Sungai yang biasanya tenang tiba-tiba berubah menjadi coklat tua, berputar cepat, dan menakutkan.
Air bah dari hulu bisa datang tiba-tiba. Sudah beberapa kali terdengar kabar air naik tanpa peringatan.
Karena itu, orang tua melarang anak-anak mandi di sungai.
*****
Selama berhari-hari, Rofiki, Damin, dan Eca hanya tinggal di rumah. Angin lembab masuk dari celah-celah pintu, dan suara hujan mengetuk genteng tanpa henti.
Rofiki paling tidak betah. Ia duduk di teras sambil mengayun-ayunkan kakinya.
"Aduh, bosan nian…" keluhnya. (Rofiki menggerutu sambil menatap langit yang kelabu)
Di rumahnya, Damin juga mengeluh hal yang sama. Ia bahkan menggambar sungai di buku gambarnya, lengkap dengan batu besar dan pohon beringin di dekat tikungan.
Sementara itu, Eca menatap dari jendela kamar. Rambutnya yang digerai jatuh menutupi sebagian wajah.
"Main di rumah terus capek… Andai bisa mandi hujan saja," gumamnya kecil. (Eca bicara lirih sendiri)
Dan hari itu, keinginan mereka terkabul, meski bukan dengan cara yang sepenuhnya aman.
*****
Siang itu hujan turun tidak terlalu deras. Lebih seperti gerimis tebal yang membasahi tanah dengan lembut. Langit memang masih abu-abu, tapi kali ini tanpa petir.
Rofiki langsung keluar rumah.
"Aku mau mandi hujan sedikit saja," katanya pada ibunya.
"Jangan jauh-jauh! Di depan rumah saja!"
"Iya, Bu!" (Rofiki menjawab sambil tersenyum nakal)
Di tempat berbeda, Damin juga keluar rumah tanpa payung. Ia berlari kecil, menikmati dinginnya air.
"Seger e…" (Damin berceloteh sambil mendongakkan kepala)
Eca pun keluar sambil membawa jaket agar tidak dimarahi ibunya kalau ketahuan baju basah. Tapi baru beberapa langkah, ia melepas jaket itu dan menari kecil di bawah hujan.
Tak lama kemudian, ketiganya bertemu di lapangan voli yang berada di tengah kampung.
"Eh, Eca!"
"Damin! Kamu keluar juga?"
"Lho, Rofiki! Kirain kamu juga di rumah." (ketiganya saling memanggil terkejut)
Mereka tertawa, senang karena bisa menghirup udara bebas lagi.
"Apa kita main ke sungai sebentar?" bisik Rofiki sambil melirik ke arah jalan setapak yang mengarah ke hulu.
"Ehh… takut bah," jawab Eca ragu.
"Gerimis gini gak bahaya kok. Sungainya pasti gak naik."
"Tapi orang tua kita melarang," kata Damin.
"Hanya sebentar. Kita lihat saja dari jauh. Kalau arus deras, ya pulang." (Rofiki mencoba meyakinkan)
Eca menggigit bibir. Ia paling penurut di antara mereka—atau dulu begitu.
"Baiklah… tapi jangan lama-lama," katanya akhirnya. (Eca mengangguk ragu)
*****
Mereka berjalan di bawah hujan kecil, membiarkan air membasahi rambut dan baju. Aroma tanah basah menguar, menyatu dengan bau rumput dan dedaunan.
Setibanya di tepi sungai, mereka terkejut.
Arus sungai tenang. Tidak seperti beberapa hari sebelumnya.
"Kan betul, aman ini," kata Rofiki sambil melepas sandal.
"Duh… sebentar saja lho!" (Eca memperingatkan keras)
"Siap!" seru Damin.
Mereka mulai bermain air. Pertama hanya melangkahkan kaki, lalu mengguyur muka, lalu tak sadar masuk hingga pinggang.
Tawa mereka kembali menggema.
Namun tak lama setelah itu, seorang kakek muncul dari balik pepohonan.
Ia memakai baju coklat lusuh, topi caping, dan memegang tongkat bambu yang sudah tua. Kulitnya keriput, tapi matanya bening. Sangat bening, seperti bukan mata orang kebanyakan.
"Kalian mandi di saat hujan begini?" katanya sambil tersenyum. (Kakek bicara pelan, suaranya dalam dan tenang)
Rofiki menatapnya. "Iya, Kek. Tapi sebentar saja."
"Kalian anak-anak yang berani," ucap kakek itu.
"Kakek mau ke mana?" tanya Damin.
"Ke tempat yang lebih tinggi. Barangkali kalian mau ikut? Di sana pemandangannya bagus." (kakek mengatakan dengan nada pelan yang menghipnotis)
Anak-anak itu saling pandang. Eca paling bingung.
"Tempat tinggi?"
"Ya. Ada bukit kecil di belakang sana. Dari atas, kalian bisa lihat hujan menyelimuti kampung. Indah sekali." (kakek menunjuk ke arah hutan kecil)
Rofiki spontan mengangguk. "Ayo!"
"Kita bilang ke orang tua dulu?" tanya Eca.
"Cuma sebentar," jawab Damin.
"Kakek tahu jalan aman," ujar sang kakek.
Entah mengapa, anak-anak merasa tenang dekat kakek itu. Seolah ada sesuatu yang membuat mereka percaya.
Tanpa banyak berpikir, mereka mengikuti langkah sang kakek.
*****
Perjalanan ke bukit ternyata tidak sependek yang mereka bayangkan. Mereka berjalan melewati semak-semak, akar pohon, dan tanah licin.
"Kek, masih jauh?" tanya Rofiki.
"Sebentar lagi. Kalian kuat, kan?" (kakek tersenyum lembut)
Hujan makin tipis, lebih seperti kabut air.
Namun saat mereka mencapai sebuah bukit kecil, yang tampak bukan pemandangan indah… melainkan hutan yang sangat asing. Tidak ada tanah lapang. Tidak ada kampung. Tidak ada sungai.
"Ini bukan bukit belakang kampung…" gumam Damin.
Kakek itu berhenti. Ia menatap mereka satu per satu.
"Kalian sungguh berani. Tapi ingat… jangan selalu mengikuti arus. Baik arus sungai maupun arus keinginan." kata kakek sambil menancapkan tongkat ke tanah.
"Apa maksudnya, Kek?" tanya Eca.
Namun saat mereka berkedip, kakek itu hilang.
Menghilang begitu saja.
Seperti ditelan udara.
"Kek? Kek?!" Rofiki memanggil.
Tak ada jawaban.
Dan tiba-tiba mereka sadar: mereka tidak mengenali tempat itu sama sekali.
"Rofiki… kita nyasar…" suara Eca mulai bergetar.
"Tenang… tenang… kita cari jalan pulang," kata Rofiki walau wajahnya juga pucat.
"Aku tak lihat sungai. Tak lihat kampung."
"Ini ke arah mana?" tanya Damin.
Hutan itu sunyi. Hanya suara tetesan air dari daun-daun besar. Tanahnya lembek. Bau lumut menusuk.
Mereka mulai berjalan ke satu arah, tapi setiap kali mereka merasa menemukan jalan keluar, yang tampak justru pepohonan raksasa lainnya.
"Rofiki… kita tak bisa pulang," kata Eca sambil menangis.
"Jangan nangis! Kita pasti bisa!" (Rofiki mencoba menenangkan meski suaranya sendiri goyah)
*****
Sementara itu, hari mulai sore.
Hujan berhenti. Matahari muncul sebentar, memantulkan cahaya ke atap kampung.
Namun Rofiki, Damin, dan Eca tak kunjung pulang.
Ibunya Rofiki berkeliling rumah tetangga.
"Bu, apakah Rofiki ke sini?"
"Enggak, Bu."
"Apa anak-anak kalian lihat Damin?"
"Enggak, Bu."
"Eca tadi keluar hujan-hujanan, tapi setelah itu hilang…" kata ibu-ibu lainnya.
Rasa gelisah menjalar ke seluruh kampung.
Akhirnya, para orang tua berkumpul di balai desa.
"Kita cari ke semua arah!" ujar Pak RT.
"Ke sungai dulu!" seru warga lain.
"Iya, mereka sering main ke sana!"
Mereka berlarian ke tepi sungai. Namun di sana, hanya terlihat jejak-jejak kecil yang sudah hampir hilang tersapu air.
"Bisa jadi… mereka terhanyut," kata salah satu bapak dengan suara gemetar.
"Jangan berpikir buruk dulu!" sahut yang lain.
"Kita cari ke hulu!"
"Cari ke ladang juga!"
"Cari sampai ketemu!"
*****
Di hutan itu, hari sudah mulai gelap lebih cepat. Kabut tipis membuat pandangan makin terbatas.
"Aku takut…" kata Eca sambil memegang tangan Rofiki.
"Aku juga," jawab Damin jujur.
"Kita… cari tempat istirahat dulu. Biar gak semakin tersesat." (Rofiki memutuskan dengan suara mantap)
Mereka menemukan batu besar yang sedikit kering di bawah pohon rindang. Di sana mereka duduk.
"Waktu kakek itu ajak kita… kenapa kita ikut, ya?" tanya Damin.
"Entahlah. Rasanya seperti… ada yang narik dari dalam hati," jawab Eca.
"Aku rasa… kakek itu bukan orang biasa," bisik Rofiki.
Suasana hening.
Hanya terdengar suara serangga.
Lalu tiba-tiba terdengar krakkk … krakk … seperti ranting patah.
"Ada apa itu?"
"Mungkin… hewan?"
"Ehh… jangan-jangan kakek tadi?" kata Eca sambil memeluk lutut.
Tapi ternyata itu hanya burung besar yang terbang rendah. Mereka menghela napas lega.
"Kita harus pulang. Orang tua pasti cemas," kata Rofiki.
"Bagaimana caranya? Kita tak tahu jalan."
"Kita cari sungai! Dari sungai kita bisa ikut aliran balik ke kampung," kata Damin.
Ide itu masuk akal.
Mereka bangkit, mencoba mendengar suara air. Mungkin ada aliran kecil di antara pepohonan.
*****
Saat mereka hendak melangkah, tiba-tiba dari kejauhan terlihat cahaya kecil berkelip. Cahaya itu bergerak perlahan.
"Itu apa?"
"Obor?"
"Siapa yang bawa obor di hutan?" tanya Eca.
Rofiki menggeleng. "Kita dekati saja."
Saat mereka semakin dekat, cahaya itu berubah menjadi dua lampu senter. Suara langkah terdengar. Dan suara seseorang berteriak:
"ROFIKIII!!!"
"DAMIIIIN!!!"
"ECAAAA!!!"
Itu suara orang-orang kampung.
"Pak RT!" seru Rofiki.
"Itu suara orang kampung!" teriak Damin.
"Kita selamat!" Eca menangis lega.
Mereka segera berlari ke arah suara. Para orang tua menyambut mereka dengan wajah campuran marah, lega, dan syukur.
"Aduh Nak… kalian ke mana saja?!" ujar ibu Rofiki sambil memeluknya erat.
"Kami kira kalian hanyut!" kata bapaknya Damin.
"Syukur kalian selamat, Nak…" ibu Eca menangis sambil jatuh berlutut.
Semua orang menarik napas panjang.
"Kenapa kalian bisa sampai masuk hutan?" tanya Pak RT.
Rofiki saling pandang dengan teman-temannya. Mereka ragu-ragu untuk bercerita tentang kakek misterius itu.
Akhirnya Rofiki menjawab jujur.
"Ada… kakek yang ajak kami, Pak… katanya mau lihat pemandangan indah…"
"Kakek? Kakek siapa?"
"Kami tidak kenal, Pak…"
"Dia menghilang tiba-tiba…" tambah Eca dengan suara kecil.
Orang-orang kampung terdiam.
"Lain kali… jangan pernah ikut orang tak dikenal," kata Pak RT lembut namun tegas.
"Iya, Pak…"
"Maafkan kami…"
"Kami hanya ikut… tapi ternyata salah."
Para orang tua tak marah. Mereka terlalu bersyukur anak-anak itu selamat.
*****
Setelah itu mereka kembali ke kampung. Malam itu seluruh rumah menyalakan lampu terang. Banyak warga datang memastikan anak-anak baik-baik saja.
Di rumah, ibu Rofiki memeluknya sambil berkata lirih:
"Jangan ulangi lagi, Nak…"
"Iya, Bu… maaf…" (Rofiki menunduk)
Di rumah Damin, ayahnya hanya mengusap kepalanya.
"Anak laki-laki memang suka petualangan, tapi ingat… keberanian juga harus tahu batas."
"Iya, Ayah…" (Damin menahan tangis)
Eca yang paling lembut, tidur sambil memeluk ibunya.
"Ibu takut sekali kehilangan kamu…"
"Maaf, Bu… Eca tak akan pergi tanpa izin lagi…" katanya.
Malam itu semua anak tertidur lebih cepat dari biasanya. Petualangan mereka terasa seperti mimpi yang aneh—mimpi yang menakutkan tapi juga penuh pelajaran.
Sementara itu, di pinggir sungai, di bawah cahaya bulan yang samar, entah dari mana seorang kakek ber-caping muncul lagi.
Ia duduk di batu besar sambil menatap aliran sungai yang kembali tenang.
Ia tersenyum kecil.
"Lain kali… bermainlah dengan bijak, anak-anak," gumamnya sebelum perlahan-lahan menghilang dalam kabut.
*****
Pesan Cerita
Dari petualangan Rofiki, Damin, dan Eca, anak-anak bisa belajar bahwa:
- Mengikuti kata hati boleh, tapi harus tetap hati-hati.
- Jangan pernah ikut orang yang tak dikenal.
- Alam bisa indah, tapi juga bisa berbahaya jika tak dihargai.
- Dan yang terpenting: Orang tua selalu cemas saat kita hilang dari pandangan.
Pilihan





