Bumi Indonesia Terluka
Sajak-sajak Syaf Anton Wr
Litani Luka yang Tak Kita Baca
Bumi Indonesia bangun suatu pagi
dengan tulang-tulang yang gemeretak.
Ia bertanya pada dirinya sendiri,
“Apakah aku masih rumah,
atau hanya halaman belakang
yang dipakai manusia
untuk membuang keinginan-keinginan yang tak mereka selesaikan?”
Udara menjawab dengan senyap.
Lalu, di hutan yang botaknya seperti kepala rahib putus asa,
sebuah suara kecil—entah Tuhan, entah pohon terakhir—berbisik:
“Sebelum semua ini terbakar,
aku sudah memperingatkan kalian.”
Tapi manusia,
makhluk yang pandai membuat alasan,
mengira alam hanya sedang mengeluh,
bukan meminta disembuhkan.
*****
Di Sumatera Utara, hujan tak turun.
Ia terjatuh.
Seperti seseorang yang kelelahan
dan tak lagi peduli bagaimana ia akan mendarat.
Drainase lupa cara bernapas,
lahan-lahan baru berdiri seperti toko-toko mimpi murahan,
dan hutan yang ditebang
masih mencari kepalanya sendiri di udara.
Di Sumatera Barat, sungai-sungai berjalan terpincang
membawa kaki-kaki sedimen,
menggeret ingatan lama yang tak sempat mereka kubur.
Banjir datang—bukan sebagai musuh,
melainkan sebagai pengingat
bahwa tanah yang dikhianati
selalu menagih janji yang ditinggalkan.
Aceh, oh Aceh,
kau sudah terlalu sering diuji
hingga setiap tetes hujan
seakan membawa pesan rahasia:
“Ini bukan murka.
Ini kenangan yang kembali mencari bentuk.”
Pulau Jawa,
paru-paru yang dipaksa bekerja
dalam tubuh yang sesak dan berdebu,
mengalami banjir yang memanjat trotoar
seperti anak kecil yang menangis mencari ibunya.
Sementara manusia sibuk menatap layar,
tanah sibuk mencari cara
untuk tetap hidup.
*****
Lihatlah:
banjir di Demak, Kudus, Samarinda, Pasuruan,
dan kota-kota yang tak sempat kita hafal namanya
karena berita bergerak lebih cepat dari empati.
Tanah longsor di Luwu, Toraja, Pekalongan—
seakan bumi menunduk terlalu lama
hingga pundaknya patah.
Angin puting beliung menulis puisi acak
di atap rumah Bandung dan Bogor,
membuat huruf-huruf genteng
melayang seperti metafora yang kabur dari kepala penyair.
Di Ruang, Lewotobi, dan Ibu,
gunung-gunung membuka mulutnya
dan melontarkan rahasia yang dipendam ribuan tahun.
“Lava adalah surat cinta,” katanya,
“tetapi kalian tak pernah mau membacanya.”
Di Sumatera, Jawa Timur, Padang Lawas Utara—
hutan terbakar.
Pohon-pohon berdiri seperti lilin panjang
yang dipaksa menyala
untuk doa yang tak pernah dipanjatkan.
Gelombang pasang mencium pantai dengan kasar.
Abrasi menggigiti garis pantai
seperti tikus lapar menggigiti sejarah.
Sementara di wilayah lain,
kekeringan menutup bibir tanah
hingga ia tak bisa lagi berdoa.
*****
Konon kabarnya:
Ratusan nyawa melayang
puluhan jiwa hilang
61 ribu lebih rumah rusak,
ratusan fasilitas publik patah
seperti kuku bumi yang tersobek.
Sawah-sawah menjadi halaman kosong
yang ingin menulis ulang dogmanya sendiri.
Perekonomian tergagap
seperti orang tua yang lupa nama anak-anaknya.
Di pengungsian,
anak-anak menggambar rumah
tanpa pintu.
Sebab, mereka tak lagi yakin
bahwa pulang adalah sesuatu yang pasti.
*****
Kadang aku percaya,
bahwa Tuhan tidak menegur
dengan suara atau petir,
tetapi melalui hal-hal kecil:
pohon yang tumbang,
sungai yang berubah arah,
angin yang bersiul seperti anak panah,
awan yang menebal di tempat
yang sebelumnya tak pernah gelap.
Namun manusia,
dengan ambisi yang lebih tinggi dari gunung,
mengira semua itu hanyalah cuaca.
Betapa absurd cara kita memahami dunia.
*****
Kita diminta berjaga.
Tapi kita sibuk menghitung layar,
bukannya awan.
Diminta menyiapkan jalur evakuasi,
tapi yang kita siapkan adalah alasan.
Diminta menanam pohon,
tapi tangan kita lebih suka menanam bangunan.
Bumi hanya meminta satu hal:
“Hiduplah dengan hormat.”
Tapi kita memilih hidup dengan tergesa.
*****
Pada akhirnya, Indonesia adalah tubuh besar
yang terus merintih
namun tetap menampung kita
dalam hangatnya.
Ia tidak menyuruh kita pergi—
ia hanya meminta kita berhenti
menyakitinya.
Dalam absurditas bencana ini,
terselip amanat yang lebih tua dari peradaban:
bahwa air tidak akan berhenti mencari rendah,
bahwa tanah tidak akan berhenti bergerak,
bahwa manusia tidak akan berhenti salah
kecuali ia mau belajar
dari setiap reruntuhan
yang menyusun sejarahnya sendiri.
Dan jika suatu hari nanti
bumi berbicara lagi
dengan bahasa angin, api, air,
maka semoga kita tak lagi menjawab:
“Ini musibah.”
Tapi berkata:
“Ini pelajaran.”
Karena bumi yang berluka
bukan musuh kita—
ia hanya cermin
yang akhirnya pecah
agar kita dapat menatap diri sendiri.
2025
Tuntutan yang Tak Pernah Selesai
Di lorong sunyi yang tumbuh dari ingatan retak,
aku berjalan membawa potensi—
sebuah cahaya ringkih
yang dicetak dari sisa-sisa harapan yang pernah diremehkan.
Kadang ia berkedip seperti lilin di ruangan lembab,
kadang ia meraung seperti binatang
yang baru sadar:
dirinya diciptakan bukan untuk dikurung.
Namun dunia—
dengan segala suara yang tak pernah diam—
terlalu sibuk menakar tubuhku seperti komoditas,
menghitamkan langkahku dengan standar
yang tak pernah kutahu siapa penciptanya.
Aku menuntut diriku sendiri:
bangun dari tidur yang diwariskan,
robek kebiasaan yang numpang hidup di dada,
dan bertarung dengan rasa takut
yang selalu merayap seperti lumut
di batu lembap masa lalu.
Aku menuntut lingkunganku:
hentikan merayakan kepalsuan,
berhentilah mengurung manusia
dalam kotak-kotak yang rapuh,
yang mudah pecah ketika mimpi tumbuh terlalu cepat.
Sebab betapa sering kita lahir menjadi potensi,
namun mati sebagai kompromi.
Dan di atas tanah yang kadang terlalu keras
untuk menumbuhkan apa pun,
aku berdiri—
menggigil oleh bayangan yang lebih jujur daripada cahaya.
Aku menuntut pada dunia:
lihatlah manusia bukan dari apa yang ia punya,
tapi dari apa yang ia perjuangkan
meski tak ada yang menjanjikan kemenangan.
Di tengah keheningan yang menggema seperti ruang kosong,
aku menyimpan satu doa gelap:
semoga kita tak lagi mengubur potensi sendiri
dengan tangan yang kita pakai untuk menyalahkan orang lain.
Sebab jika ada yang paling tragis dari menjadi manusia,
itu adalah ketika cahaya di dada
pelan-pelan padam—
bukan karena badai,
tapi karena tak pernah kita jaga.
Dan ketika malam menutupi semuanya,
aku mendengar suara itu lagi—
suara yang sudah lama kucoba matikan:
“Bangun.
Dunia tidak akan menunggu.
Potensimu adalah pintu yang hanya kamu yang tahu cara membukanya.”
2025
Museum Sunyi di Dalam Diri
Aku memasuki diriku sendiri
seperti memasuki museum yang tak pernah selesai dibangun.
Lantainya berdebu,
lampunya menggantung rendah,
dan di setiap dinding
terdapat lukisan yang belum selesai disentuh oleh waktu.
Di salah satu ruangan,
aku menemukan bayanganku duduk di kursi kosong,
menatapku seolah ia sudah lebih dulu tahu
alasan kedatanganku.
“Potensimu menunggu di ruang paling belakang,” katanya.
“Sebelum kau tiba, ia bertanya apakah kau akan benar-benar datang,
atau hanya berjanji lalu pulang.”
Aku ingin marah,
tapi bagaimana mungkin aku marah pada sesuatu
yang juga diciptakan oleh pikiranku sendiri?
Aku berjalan mengikuti lorong—
panjang, gelap, seperti perut malam.
Di setiap sudut
ada simbol-simbol yang tak bisa kubaca:
- pohon yang tumbuh dari jam rusak,
- kursi yang terbakar tapi tak habis,
- jendela yang memperlihatkan masa depan yang kabur,
- dan sepatu-sepatu kosong
yang bergerak sendiri seperti tengah mencari pemiliknya.
“Ini semua potensi yang pernah kau tinggalkan,”
gumam bayanganku di belakang,
“yang kau biarkan kelaparan oleh penundaan
dan mati perlahan oleh keraguan.”
Aku menunduk.
Di lantai, ada peta yang berubah-ubah bentuknya,
setiap kali aku berkedip.
Seolah jalan hidupku sendiri pun
tidak yakin ingin mengarah ke mana.
Di ruangan berikutnya,
aku menemukan benih-benih cahaya,
terkurung dalam toples kaca.
Mereka menyala redup,
seperti anak-anak kecil yang ketakutan.
Aku menyentuh satu toples.
Cahayanya berguncang,
seolah mengenal namaku.
“Ini potensimu yang pertama,”
kata suara lain—
aku tidak tahu dari mana datangnya.
“Mimpi yang dulu kau kubur,
karena seseorang mengatakan dunia tak membutuhkannya.”
Aku menelan udara yang terasa seperti debu.
Ternyata, potensi tak pernah mati,
ia hanya menyepi
di tempat-tempat yang kita pura-pura tak dapat temukan.
Lalu aku sampai di ruang terakhir—
ruang yang disebut bayanganku tadi.
Ruangnya kosong.
Benar-benar kosong.
Hanya ada sebuah pintu yang menghadap ke dalam,
bukan ke luar.
Pintu itu berbisik:
“Bukalah.
Aku akan menunjukkan bukan siapa kau,
tapi siapa yang bisa kau pilih untuk menjadi.”
Aku menggenggam gagangnya.
Tapi ia terasa berat—
bukan berat kayu,
tapi berat dari semua keraguan yang pernah kukumpulkan.
Lalu aku mendengar suara-suara dari masa lalu:
suara orang-orang yang berkata aku terlalu ini,
terlalu itu,
tidak cukup begini,
tidak pantas begitu.
Ternyata, pintu ini bukan cuma pintu.
Ia adalah pertarungan.
Aku, melawan dunia yang pernah membentukku.
Aku, melawan diriku yang pernah menyerah.
Aku, melawan ketakutan yang selalu duduk di pangkuanku
seperti anak kecil yang manja.
Aku menuntut diriku:
“Buka. Jangan ulangi semua luka.”
Aku menuntut lingkungan:
“Jika kalian tak bisa mengerti, setidaknya jangan menghalangi.”
Aku menuntut dunia:
“Biarkan manusia tumbuh,
bahkan jika pertumbuhannya tidak sesuai peta yang kalian buat.”
Saat akhirnya pintu itu terbuka,
bukan cahaya yang keluar.
Melainkan angin gelap
yang membawa suara—
suara yang tidak menakutkan,
hanya terlalu jujur.
“Potensi bukan tentang terang,” katanya,
“tapi tentang keberanian menatap ruang yang belum kau pahami.”
Di sana,
di ruang yang bahkan tidak punya bentuk,
aku melihat sesuatu—
bukan cahaya, bukan bayangan,
tapi kemungkinan.
Kemungkinan yang ingin hidup.
Kemungkinan yang menuntut aku untuk hidup.
Dan dengan napas yang gemetar,
aku akhirnya berkata:
“Baik.
Aku akan menyalakan diriku.
Meski dunia tidak siap melihatnya.”
2025
Pilihan





