Guru di Negeri yang Lupa Berterima Kasih


Setiap tanggal 25 November, negeri ini tiba-tiba menjadi begitu ramah kepada guru. Media sosial penuh ucapan manis, pejabat berdiri di mimbar dengan suara lembut, sekolah-sekolah memasang spanduk, dan murid-murid membawa bunga plastik berwarna ceria.
Sehari itu, guru seperti mendapat panggung kehormatan.

Lalu esoknya, semuanya kembali seperti semula.
Guru kembali ke ruang kelas yang sesak.
Kembali pada gaji yang membuat napas pendek.
Kembali kepada tugas administrasi yang tak masuk akal.
Kembali kepada sistem yang tak pernah betul-betul berpihak pada mereka.

Hari Guru Nasional menjadi seperti festival tahunan yang dirayakan dengan meriah, tetapi tidak pernah melahirkan perubahan. Kita memuji guru dengan kata-kata, namun menjerat mereka dengan kenyataan yang pahit.

Guru dihormati dalam simbol, tapi diabaikan dalam kebijakan.

Guru: Pundak Terkuat yang Justru Paling Sering Dikorbankan

Ketika bangsa ini bicara soal masa depan, nama guru selalu disebut. Ketika kita bicara soal karakter bangsa, guru kembali disebut. Ketika moral generasi hancur, guru dituding kurang mengawasi. Ketika hasil pendidikan menurun, guru dianggap kurang kreatif. Ketika anak terlibat kekerasan, guru disalahkan karena tidak kuat membina.

Guru seperti penyerap kesalahan nasional—segala masalah negara jatuh ke pundak mereka.

Padahal pundak itu semakin rapuh. Terlalu banyak beban dipikul, sementara penghargaan yang diterima tidak sepadan.

Kita ingin guru menjadi pahlawan,
tetapi kita memperlakukan mereka seperti pekerja pelengkap.

Kita ingin guru membangun moral anak,
tetapi kita membiarkan moral pejabat publik runtuh setiap hari di televisi.

Kita ingin guru mengajarkan integritas,
tetapi kita membiarkan korupsi tumbuh seperti tanaman liar.

Kita ingin guru membentuk generasi unggul,
tetapi kita tidak menyediakan alat, fasilitas, atau bahkan kehidupan layak untuk mereka.

Guru dipaksa menambal kegagalan negara.

Ketika Pengabdian Guru Dijadikan Legitimasi untuk Tidak Membayar Mereka dengan Layak

Tak ada ironi yang lebih menyakitkan daripada kenyataan bahwa banyak guru di negeri ini mengajar dengan gaji yang tidak cukup untuk hidup satu minggu.

Ada guru yang digaji 150 ribu.
Ada guru yang digaji 300 ribu.
Ada yang 500 ribu dan dianggap “lumayan”.
Ada yang tidak dibayar sama sekali.

Tetapi kita menutupi kenyataan itu dengan sebuah kalimat klise yang terdengar indah tapi beracun:
“Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa.”

Ungkapan itu mungkin lahir dari niat mulia.
Tetapi hari ini, kalimat itu menjadi pembenaran untuk membiarkan guru hidup dalam ketidakpastian.

Ketika seseorang disebut pahlawan, kita merasa tidak perlu membayar mereka dengan layak.
Ketika seseorang dianggap pengabdi, kita merasa tidak perlu menyediakan fasilitas.

Kita memuji mereka untuk menutupi kelalaian kita.

Jika negara gagal memberikan kehidupan layak kepada guru, itu bukan kelemahan kebijakan semata—
itu adalah penghinaan terhadap profesi yang paling penting dalam peradaban.

Politik Lokal yang Menyandera Dunia Pendidikan

Salah satu penyakit terbesar pendidikan Indonesia adalah campur tangan politik yang terlalu dalam, terlalu kotor, dan terlalu lama dibiarkan.

Mutasi guru sering berdasarkan loyalitas, bukan kualitas.
Kepala sekolah dipilih berdasarkan kedekatan, bukan kompetensi.
Guru honorer diangkat berdasarkan “siapa yang mengantar proposal”, bukan siapa yang telah mengabdi bertahun-tahun.
Anggaran pendidikan bocor di banyak titik, dan guru hanya mendapat sisa-sisanya.

Ketika seorang guru kritis, dia dipindahkan.
Ketika seorang guru jujur, dia dimusuhi.
Ketika seorang guru menjaga integritas, justru itu yang mengancam posisinya.

Bagaimana mungkin guru membangun karakter bangsa
jika sistem yang menaunginya dipenuhi permainan gelap?

Bangsa ini seperti mengatakan:
“Tolong didik anak-anak kami menjadi jujur, tapi jangan ajari pejabat kami hal yang sama.”

Sekolah di Kota Seperti Hotel, Sekolah di Desa Seperti Gudang Tua

Indonesia menyimpan jurang pendidikan yang menganga lebar.
Sekolah-sekolah megah di kota dilengkapi AC, komputer, internet cepat, ruang perpustakaan nyaman, laboratorium modern.
Tetapi di pelosok, seorang guru berdiri di ruang kelas dengan lantai tanah, atap bocor, papan tulis retak, dan bangku patah.

Ada sekolah yang bahkan tidak punya toilet layak.
Ada yang tidak punya listrik stabil.
Ada guru yang harus jalan kaki 7–10 kilometer hanya untuk sampai ke sekolah, tetapi tetap digaji jauh di bawah standar.

Dan ketika ranking pendidikan rendah, kita menyalahkan guru.
Padahal kita lupa bahwa sebagian besar guru berjuang dalam kondisi yang bahkan tidak masuk akal bagi sebuah negara yang bangga menyebut dirinya “maju”.

Jika negara membiarkan ketimpangan sebesar ini, itu bukan sekadar ketidaksengajaan—
itu adalah pengabaian terhadap hak setiap anak Indonesia untuk mendapatkan pendidikan bermartabat.

Negeri Ini Tidak Benar-Benar Menghormati Guru — Ia Hanya Mengatakan “Hormatilah Guru”

Kita hidup dalam budaya yang penuh slogan.
Slogan tentang guru tersebar di mana-mana:

“Guru adalah pelita bangsa.”
“Guru adalah ujung tombak pendidikan.”
“Guru adalah pahlawan peradaban.”

Tapi ketika guru menuntut gaji layak, kita menyuruh mereka bersabar.
Ketika guru menuntut fasilitas, kita menyuruh mereka kreatif.
Ketika guru menuntut keadilan, kita menyuruh mereka ikhlas.

Seolah-olah menjadi guru berarti harus siap menjadi korban.

Bangsa ini ingin guru yang sempurna,
tapi tidak pernah ingin membangun sistem yang sempurna untuk guru.

Guru Bukan Hanya Profesi — Guru Adalah Fondasi Bangsa

Di banyak negara maju, guru ditempatkan dalam posisi terhormat.
Gaji tinggi, pelatihan intensif, fasilitas lengkap, status sosial terjaga.
Seleksi menjadi guru sangat ketat karena profesi itu dianggap elite.

Di Indonesia?
Siapa pun bisa jadi guru—asal ada sekolah yang mau menerima, berapa pun gajinya.

Bagaimana bangsa ini bisa bersaing
jika profesi yang menentukan masa depan dibiarkan setengah hidup?

Guru adalah penentu kualitas manusia.
Dan kualitas manusia adalah penentu kualitas bangsa.

Jika guru diabaikan, masa depan bangsa ditulis dengan tinta yang pudar.

Solusi: Mengangkat Guru Bukan dengan Kata-kata, tetapi dengan Kebijakan yang Berani

Jika kita ingin pendidikan Indonesia tidak hanya menjadi slogan, maka kita harus melakukan perubahan struktural, bukan seremonial.

  1. Standarisasi gaji nasional untuk semua guru

Tidak boleh ada guru digaji di bawah upah layak.
Tidak peduli negeri atau swasta, kota atau desa — guru wajib mendapat gaji manusiawi.

  1. Pendidikan harus dibebaskan dari permainan politik lokal

Jabatan strategis harus dipilih berdasarkan profesionalisme.
Bukan kekuasaan, bukan kedekatan.

  1. Hapus administrasi yang membunuh waktu mengajar

Guru harus fokus mengajar, bukan menjadi pegawai administrasi.

  1. Pemerataan fasilitas pendidikan wajib menjadi agenda nasional

Anak di desa berhak atas fasilitas sama baiknya seperti anak di kota.

  1. Program perlindungan hukum dan kesehatan mental untuk guru

Guru semakin sering menjadi korban kriminalisasi dan tekanan sosial.
Negara wajib hadir melindungi mereka.

  1. Libatkan guru dalam penyusunan kebijakan pendidikan

Guru bukan pelaksana; guru adalah pemikir pendidikan.

  1. Ubah paradigma: guru bukan pahlawan tanpa tanda jasa, melainkan profesi strategis

Kita harus berhenti memuja mereka dengan kata-kata dan mulai menghormati mereka dengan tindakan.

Guru Tidak Membutuhkan Puisi — Mereka Membutuhkan Keadilan

Hari Guru Nasional seharusnya bukan hari untuk merayakan guru,
tetapi hari untuk merenungkan kegagalan kita memperlakukan guru dengan adil.

Guru bukan boneka perayaan.
Guru bukan dekorasi spanduk.
Guru bukan objek pidato pejabat.

Guru adalah fondasi bangsa.
Guru adalah penjaga masa depan.
Guru adalah penentu arah peradaban.

Jika bangsa ini ingin bangkit,
bangkitkan dulu martabat gurunya.

Jika bangsa ini ingin maju,
majukan dulu kehidupan gurunya.

Jika bangsa ini ingin dihormati,
hormatilah gurunya bukan dengan bunga plastik,
bukan dengan pidato manis,
tetapi dengan keberanian memperjuangkan hak mereka.

Karena tanpa guru yang kuat,
tidak ada bangsa yang kuat.
Tanpa guru yang sejahtera,
tidak ada masa depan yang sejahtera.

Dan tanpa perubahan nyata,
Hari Guru hanya menjadi hari ketika bangsa ini pura-pura peduli.

 (Rulis, dari beberapa sumber)

 

SELAMAT HARI GURU NASIONAL 2025
25 NOVERMBER 2025 

 

Pilihan

Tulisan terkait

Utama 680647524057216320

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Daftar Isi


 

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Banner untuk Anda

Banner untuk Anda
Anda punya rencana kegiatan yang mau dipublikasikan dalam bentuk banner? Kegiatan apapun, silakan kirim lewat email penulisrulis@gmail.com, dan akan kami terbitkan di halaman ini. Gratis

Workshop Baca Puisi Bagi Guru

Workshop Baca Puisi Bagi Guru
Selengkapnya klik gambar

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >

Relaksasi


 


 

Jadwal Sholat

item
close