Negara yang Hidup dari Ikhlas Guru
Aku menuliskan ini pada tanggal 25 November,
hari ketika bangsa tiba-tiba ingat pada guru—
lalu kembali lupa pada tanggal 26.
Di televisi, pejabat naik podium.
Pidatonya manis, bahasanya rapi, suaranya bergetar seperti peduli.
Tetapi aku tahu, guru di ruang-ruang kelas itu
tidak hidup dari pidato.
Mereka hidup dari gaji yang tidak pernah cukup,
dan dari harapan yang tidak pernah sengaja mereka pilih.
Bangsa ini memuji guru dengan kalimat panjang,
lalu menghukumnya dengan kebijakan yang pendek.
Di desa-desa yang ditinggalkan anggaran,
ada guru yang mengajar tiga bulan tanpa honor.
Ada guru yang mengajar dengan honor nol rupiah,
karena sekolah tidak punya uang,
dan negara tidak punya malu.
Namun mereka tetap datang ke kelas.
Bukan karena mereka kebal lapar,
bukan karena mereka tidak punya kebutuhan,
tetapi karena mereka takut
masa depan anak-anak itu runtuh
jika mereka berhenti sehari saja.
Negara pura-pura tidak melihat itu.
Bangsa pura-pura menganggap itu heroik.
Padahal itu bukan heroisme—
itu keputusasaan yang disulap menjadi pengabdian.
Betapa murahnya harga sebuah guru di negeri ini.
Betapa mudahnya hati mereka diperas
dengan satu kata sederhana: ikhlas.
Ikhlas ketika digaji ratusan ribu.
Ikhlas ketika statusnya digantung belasan tahun.
Ikhlas ketika mengajar sambil meminjam motor tetangga.
Ikhlas ketika muridnya lapar,
sedang ia sendiri tidak punya uang untuk sarapan.
“Guru itu tugas mulia,” kata para pejabat,
padahal itu hanya cara halus
untuk mengatakan:
“Kami tidak akan membayar Anda layak.”
Bangsa ini ingin karakter,
tetapi menghancurkan teladan.
Bangsa ini ingin kejujuran,
tetapi mempertontonkan korupsi setiap hari.
Bangsa ini ingin generasi unggul,
tetapi memberi guru status paling rendah
dalam piramida peradaban.
Di layar televisi, moral bangsa diratapi.
Di media sosial, masa depan bangsa dikhawatirkan.
Di seminar-seminar mewah, solusi digembar-gemborkan.
Tapi di ruang kelas yang panas,
guru yang sama tetap menulis di papan tulis
menggunakan spidol yang ia beli dari kantong sendiri.
Mereka bekerja seolah-olah negara benar,
padahal negara terlalu sering salah.
Pemerhati berkata,
masa depan Indonesia kabur, suram, hilang arah.
Tapi siapakah yang diharapkan
untuk menghapus kabut itu?
Guru.
Selalu guru.
Seolah-olah guru adalah penyihir
yang bisa mengubah kualitas manusia
dengan satu lembar RPP dan sebatang kapur.
Seolah-olah guru adalah juru selamat
yang sanggup memperbaiki dosa-dosa kolektif
yang dibuat pejabat dari pusat hingga desa.
Seolah-olah guru tidak punya batas.
Seolah-olah mereka tidak boleh lelah.
Di tengah semua kegelapan ini,
ada satu ironi yang paling pahit:
Bangsa ini berdiri di atas keikhlasan guru,
padahal keikhlasan tidak pernah boleh
menjadi pondasi sebuah negara.
Sebab bila suatu hari nanti
guru berhenti ikhlas,
guru berhenti sabar,
guru berhenti menjadi perisai terakhir
yang menahan robohnya bangsa,
maka Indonesia benar-benar akan jatuh
ke titik yang paling gelap.
Dan saat itu terjadi,
kita tidak bisa lagi menyalahkan siapa-siapa
kecuali diri sendiri.
Negara ini dibangun oleh guru,
tapi masa depan mereka tidak pernah dibangun kembali.
Negara ini hidup dari ilmu guru,
tapi menutup mata pada hidup mereka.
Maka Hari Guru Nasional
bukan perayaan.
Ini peringatan keras,
bahwa kita telah menunda keadilan terlalu lama.
Jika bangsa ini ingin selamat,
maka mulailah dari satu hal sederhana:
bayar guru dengan layak,
perlakukan mereka sebagai manusia penuh,
dan berhenti menjadikan pengabdian
sebagai alasan untuk membiarkan mereka menderita.
Sebab guru bukan malaikat,
guru adalah manusia yang menjaga masa depan.
Dan masa depan itu akan gelap
jika cahaya mereka padam.
Dan aku menutup puisi esai ini
dengan satu kalimat yang seharusnya
menjadi cermin bagi kita semua:
Bila guru jatuh, tidak ada lagi yang berdiri
untuk menyelamatkan bangsa ini.
Selamat memaknai Hari Guru. Semoga tulisan Anda mengetuk hati yang perlu ditegur
(Rulis)
Pilihan





